"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ³² - the only girl in the world
Britney membuka kotak kecil itu dengan hati yang hampir meledak. Mata cokelatnya membesar, bibirnya terbuka, dan tangannya bergetar ketika melihat sepasang cincin sederhana namun indah itu.
“Clay…” bisiknya, hampir tidak bersuara. “Kamu beneran…?”
Clay hanya mengangguk kecil. “Aku janji kan? Suatu hari aku bakal bawain cincin beneran. Yah… dunia berantakan, tapi janji tetap janji.”
Britney menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya langsung mengalir tanpa bisa ditahan. “Clay… aku nggak percaya kamu ngelakuin ini.”
Clay meraih tangannya. “Kita nggak tahu hari esok. Tapi hari ini… aku pilih kamu. Aku pilih keluarga kita.”
Britney langsung memeluknya erat, wajahnya tenggelam di bahu Clay. “Aku bahagia. Aku bahagia banget…”
Clay membuka cincin pertama dan menyelipkannya ke jari manis Britney. Lalu Britney mengambil cincin lainnya dan memasangkannya ke jari Clay, bibirnya tersenyum penuh arti.
“Kita resmi ya sekarang,” ujar Britney dengan mata berbinar.
Clay mengangguk sembari memegangi wajahnya. “Resmi atau nggak… dari awal kamu udah jadi milikku.”
Britney tertawa sambil mendorong dadanya pelan. “Cih… sok romantis.”
“Cuma buat istriku,” jawab Clay santai.
Dan di tengah matahari senja yang menembus jendela besar itu, Clay mencium Britney dengan lembut, hangat, dan penuh rasa memiliki. Tidak lama, ciuman itu berubah semakin dalam. Britney menarik kerah jaket Clay, tubuhnya melekat erat. Mereka tenggelam dalam momen singkat yang penuh cinta dan gairah, menegaskan janji mereka tanpa perlu kata-kata panjang.
Mereka bercinta dengan pelan, penuh kehangatan, hanya memastikan bahwa di dunia yang hancur ini, mereka masih bisa merasakan sesuatu yang manusiawi. Tidak ada terburu-buru. Tidak ada ketakutan. Hanya dua orang yang saling menemukan.
Beberapa hari kemudian, Britney bangun pagi-pagi dengan senyum aneh.
Clay mengernyitkan dahi. “Kenapa liatin aku kayak aku kue cokelat?”
Britney memeluk bantal. “Karena aku lagi pengen kue bolu.”
“…Apa?”
“Kue bolu lembut… yang manis… yang dipotong-potong…” Britney berdeham. “Aku ngidam, Clay. Ngidam. Harus dituruti dong suami.”
Clay memijat pelipisnya. “Britney… kita di tengah kiamat. Bahan kue—”
Britney langsung meraih wajahnya dengan kedua tangan. “Tolong…”
Clay langsung luluh. “Aduh. Oke. Oke. Kita cari toko bahan kue.”
Britney bersorak pelan. “Yes!”
Namun sebelum Clay sempat bangkit, Britney berkata sesuatu yang membuatnya menoleh cepat.
“Dan… sekalian kita cari zombie lagi.”
Clay melotot. “Britney.”
“Apa? Kita harus coba lagi. Kalau Jennifer bener-bener sembuh, berarti kita punya harapan buat nyelamatin orang lain!” Britney menatapnya penuh keyakinan. “Kita bisa bantu dunia lagi, Clay.”
Clay ingin membantah, tapi melihat semangat Britney, tekadnya, matanya yang berbinar meski sedang hamil, ia tahu ia tidak bisa menghentikan wanita itu.
“Baik,” katanya akhirnya. “Tapi kamu nggak boleh terlalu capek.”
“Deal,” jawab Britney sambil mengecupnya.
Toko bahan kue berada di area yang relatif aman. Jalannya kosong, hanya beberapa mobil terbalik dan kaca pecah berserakan. Clay memimpin sambil membawa pedang anggarnya, Britney berjalan di belakangnya, sesekali memegang perutnya sambil tersenyum.
Saat mereka memasuki area ruko kecil, suara langkah lain terdengar.
Clay langsung mengangkat pedangnya. “Ada orang.”
Tidak lama kemudian, tiga pria muncul dari balik dinding sebuah toko. Mereka lusuh, berpakaian seadanya, namun bersenjata.
Clay menaruh tubuhnya di depan Britney.
“Apa maumu?” tanya Clay tajam.
Salah satu pria, berambut panjang dan berjanggut, mungkin masih awal 30-an, mengangkat tangannya tanda damai. “Tenang. Kami bukan perampok.”
Pria kedua memandang Britney lama sekali. Matanya membesar, terpana. “Gila… perempuan.”
Britney memegang lengan Clay erat.
Pria ketiga, yang terlihat paling muda, mengangguk hormat. “Kami sudah lama nggak lihat perempuan hidup. Setidaknya sejak semua kekacauan ini terjadi…”
Clay menatap mereka curiga. “Jangan macam-macam.”
“Kami nggak berniat jahat,” jawab pria berambut panjang itu lagi. “Kami cuma… terkejut. Selama ini kami hanya ketemu penyintas lelaki.”
Pria muda itu mengangguk cepat. “Iya, iya. Serius, kami pikir semua perempuan udah punah.”
Britney menelan ludah. “Aku masih hidup, seperti yang kalian lihat.”
Dan ketiga pria itu benar-benar terpana. Ada kekaguman, ada harapan yang muncul dari mata mereka.
“Kami dari sebuah komunitas kecil,” jelas pria berjanggut. “Isinya semua lelaki. Belasan orang. Kami kira dunia ini cuma tinggal kami.”
Clay menegang. “Komunitas?”
“Iya. Kamu dan wanita ini… kalian harusnya ikut kami,” kata pria itu pelan.
Clay langsung mengangkat pedangnya sedikit. “Kita tidak ikut siapa-siapa.”
Pria itu mengangkat tangan lagi. “Baik, baik. Santai. Tapi dengarkan dulu. Ada banyak penyintas lain di luar sana. Kami tahu karena beberapa dari kami melakukan patroli. Kami menemukan rumah-rumah yang masih dirawat, tempat aman, jejak baru…”
Britney menoleh ke Clay.
“Clay… mungkin ini kesempatan.”
Clay tidak menjawab.
Pria muda itu menatap Britney dengan tulus. “Kalian bukan satu-satunya yang tersisa. Dunia mungkin hancur… tapi manusia masih ada.”
Hening sejenak.
Hanya angin dingin yang melewati celah bangunan, mengusik daun-daun yang menutupi jalan.
Britney menggenggam tangan Clay, keras. “Clay… kita harus tahu lebih banyak.”
Clay menatap Britney, lalu menatap perutnya. Dalam hatinya, dia tahu, ia ingin tempat yang lebih aman untuk keluarganya. Ia ingin anaknya tumbuh tanpa selalu mendengar suara zombie di kejauhan. Ia ingin masa depan yang lebih dari sekadar bertahan.
Tapi mempercayai orang asing?
Dalam dunia seperti ini?
Clay tidak yakin.
“Dimana tempat kalian?” tanya Clay akhirnya, suaranya pelan tapi tegas.
Pria berjanggut itu tersenyum lega. “Ikuti kami. Tidak jauh dari sini. Dan… kami bisa melindungi kalian.”
Clay memegang pedangnya lebih erat. Dia memang senang melihat ada manusia yang hidup selain dirinya dan Britney. Namun di sisi lain dirinya merasakan adanya ancaman. Apalagi setelah Clay mendengar kalau mereka tak pernah menemui perempuan selain Britney. Mata ketiga pria itu juga terus melirik ke arah Britney.
semoga ada seoasen ke 2 nya 🥳
🎉🥰💖🤩🎊
Apa yg akan terjadi dengan Joy, mungkinkah berubah jadi zombie...🤔
Akan tetapi seharusnya Joy juga kebal seperti Britney.