Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Pertemuan Rahasia
Kamar Claudia sore itu tercium seperti wangi bunga mati. Terlalu manis, terlalu menusuk. Aromanya menyesakkan seperti niat buruk yang sedang dirancang perlahan tapi pasti.
Claudia berdiri di depan jendela mansion-nya, mengenakan gaun merah darah. Di tangannya ada segelas wine yang ia putar-putar pelan. Di depannya, sebuah layar monitor menampilkan wajah Paijo dari berita terbaru:
Joe Gregorius menyatakan hiatus dari dunia hiburan. Aktor muda yang baru naik daun ini memutuskan menghilang demi alasan pribadi.
Klik.
Claudia mematikan layar itu. Ia meletakkan gelasnya dengan pelan, namun tangannya gemetar hebat.
"Dia benar-benar melakukannya," gumamnya.
“Paijo benar-benar pergi.”
Di meja ruang tamu, Claudia duduk sendirian. Tapi pikirannya penuh suara—suara-suara dari masa lalu, dari malam-malam yang ia habiskan bersama Paijo, dari waktu ketika pria itu masih jadi miliknya. Waktu Claudia masih bisa menyentuh Alvarez tanpa ada perasaan yang menolak.
Sekarang?
Claudia bahkan tak bisa menjinakkan pandangannya lagi. Paijo tak lagi memuja, tak lagi patuh. Ia ingin bebas.
Dan kebebasan pria itu adalah kematian bagi Claudia.
Karena Claudia menyimpan rahasia paling berbahaya—rahasia yang jika bocor, bukan hanya menghancurkan Paijo, tapi juga dirinya sendiri.
Termasuk siapa Claudia sebenarnya, dan apa hubungan masa lalunya dengan Andy Wicaksana, serta… anak perempuan yang selama ini ia sembunyikan dari dunia.
Claudia menyalakan rokok, asapnya berputar seperti pusaran dendam.
Ia mengambil ponsel dan menelepon seseorang.
“Ya, Bu?”
Suaranya berat. Seorang pria.
“Mulai awasi semua orang yang pernah dekat dengan Paijo. Termasuk Mbak Dita, produser lamanya, bahkan Paiman di kampung itu. Kalau ada yang buka mulut tentang siapa dia sebenarnya…”
“Dihilangkan, Madam?”
Claudia mengangguk, meski pria di seberang tidak bisa melihatnya.
“Dihilangkan dengan bersih. Tapi buat seolah-olah itu kecelakaan. Tidak boleh ada satu pun orang tahu kebenaran.”
“Termasuk wanita itu… Suzy?”
Claudia terdiam.
Lama.
“Belum. Biarkan dia jadi kartu terakhirku.”
“Baik, Bu.”
Telepon ditutup. Claudia menatap pantulan wajahnya di kaca.
"Aku membangkitkan kamu, Paijo. Dari pecundang, jadi raja. Tapi kalau kamu berani mengkhianati ratu yang menciptakanmu..." Ia tersenyum tipis, menyeringai seperti srigala betina yang baru mencium darah.
"Aku juga bisa menguburmu lagi."
Di tempat lain, Paijo sedang termenung di kamar apartemen sewaan barunya. Bukan penthouse mewah seperti dulu. Tapi setidaknya, ia merasa lebih damai di sini.
Namun ketenangan itu hanya bertahan sampai ia membuka pesan WhatsApp.
Mas Joe, hati-hati. Aku dengar Claudia mulai menanyakan semua orang dekatmu. Bahkan orang kampung. Jaga diri.
– Mbak Dita
Paijo menggenggam ponselnya erat-erat. Matanya menatap lurus ke jendela.
"Apa Claudia benar-benar akan sejauh itu?"
Ia tahu Claudia ambisius. Tahu Claudia posesif. Tapi... pembunuhan?
Itu di luar dugaan.
Dan sekarang, ia berada di tengah pusaran rahasia, cinta, dan kekuasaan. Pihak-pihak yang tak ingin kebenaran muncul. Termasuk tentang dirinya—Jovano Gregorius Wicaksana—anak dari seorang pria besar yang tak pernah ia kenal, dan dari seorang wanita yang mati menyelamatkannya.
Dan Claudia? Bukan hanya pemilik nafsu dan kekuasaan. Tapi juga kunci dari seluruh teka-teki identitas Paijo.
Sementara itu, Claudia kembali menelusuri dokumen lama. Di ruang bawah tanah mansion-nya, ia membuka lemari besi yang selama bertahun-tahun tidak disentuh.
Di dalamnya ada dokumen bersegel merah:
"Surat Wasiat – Nyonya Andhara Lestari (alm.)"
Dan... sebuah amplop kecil yang belum pernah dibuka.
Claudia menatap amplop itu. Bibirnya gemetar.
“Aku tidak akan biarkan kamu tahu semua ini, Paijo. Kamu harus tetap jadi boneka. Karena kalau kamu tahu... dunia akan berubah. Dan aku bisa kehilangan semuanya.”
Termasuk Suzy.
Dan Claudia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Hari itu langit Jakarta tampak muram. Awan mendung menggantung seperti firasat buruk yang enggan pergi. Paijo berdiri di balkon apartemennya, menatap kota dari lantai 25. Di tangannya, dua ponsel.
Satu untuk menelepon Pak Ardian.
Satu lagi untuk Pak Jatmiko.
Dan keduanya…
Tak terhubung. Tak berdering. Tak ada jawaban. Seperti menghilang dari peta.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif…”
“Nomor tidak dapat dihubungi…”
Berulang-ulang.
Paijo menyandarkan kepalanya ke dinding.
"Jangan bilang... Claudia mulai bergerak..." gumamnya pelan.
Salah satu ponselnya memunculkan sebuah pesan dari seseorang yang bernama Rio. Pria yang menghubunginya tempo hari.
Sebuah pesan mengenai pertemuan malam ini. Klien yang menginginkan Alvarez, namun entah kenapa ia merasa itu bukanlah klien biasa. Firasatnya berbicara seperti itu.
Hotel tempat pertemuan Paijo dengan seorang klien itu bukan hotel biasa. Mewah, tapi misterius. Seperti tempat persembunyian penjahat seperti di film-film James Bond versi Indonesia.
Rio mengantar Paijo sampai lantai 17. Sebuah suite besar.
Di sana, pintu terbuka sendiri—seperti sudah ditunggu.
Dan di baliknya…
Berdiri seorang wanita paruh baya, elegan dalam balutan gaun malam hitam sederhana. Wajahnya tidak asing. Tapi Paijo tidak bisa mengingat siapa dia.
Senyumnya hangat, tapi matanya menyimpan kenangan luka yang panjang.
"Masuklah, Jovan," katanya pelan.
Deg.
Paijo melangkah masuk dengan ragu.
"Nama saya...?" tanyanya, bingung.
Wanita itu menghela napas.
"Aku sahabat ibumu, Paijo. Aku salah satu dari sedikit orang yang tahu kenapa kamu harus disembunyikan sejak kecil."
Paijo berdiri mematung. Hening.
“Aku... diundang Claudia juga?” tanyanya. “Atau... kamu dari pihak yang sama?”
Wanita itu tersenyum pahit.
“Tidak. Aku datang... untuk memperbaiki yang rusak. Sebelum semua kebohongan jadi batu nisan.”
Wanita itu bernama Lastri Nirmala. Seorang mantan sekretaris pribadi Andhara Lestari—ibu kandung Paijo. Dan juga sahabat rahasia di masa mudanya.
"Aku ikut di saat Andhara melahirkanmu. Aku yang mengantar dia kabur dari rumah besar keluarga Wicaksana ketika Claudia, wanita simpanan suaminya, mulai mengancam akan membunuhmu."
Paijo perlahan duduk di sofa, tidak sanggup berdiri lagi.
"Ayah kandungmu… adalah Andy Wicaksana."
Nama itu menusuk dadanya.
“Dan Claudia… Claudia adalah—"
"—wanita simpanan Andy waktu itu," potong Lastri pelan.
"Dia tahu keberadaanmu. Dan dia... takut kamu akan jadi pewaris sah satu-satunya. Karena kamu anak dari istri sah."
Paijo menunduk, napasnya mulai berat.
"Kenapa... kenapa Mbok Sarni gak pernah cerita?"
“Karena dia diminta langsung oleh Andhara untuk tidak membuka mulut. Bahkan saat beliau meninggal.”
Mata Lastri berkaca-kaca.
“Aku... aku ingin menemui kamu sejak lama. Tapi Claudia punya orang di mana-mana. Aku bahkan sempat ditangkap dan diinterogasi. Tapi Jatmiko dan Ardian menyelamatkanku.”
Paijo mendongak.
“Jatmiko dan Ardian? Mereka... hilang. Gak bisa dihubungi.”
Lastri terdiam, lalu mengangguk.
“Aku tahu. Itu sebabnya aku menemui kamu sekarang. Mereka... mungkin sudah...”
Suasana menjadi senyap. Sangat senyap.
Seolah ruangan itu tidak hanya menyimpan rahasia, tapi juga kesedihan yang dalam.
"Aku tahu kamu gak percaya. Tapi lihat ini."
Lastri meraih sebuah folder dari koper kecil.
"Akte kelahiranmu. Nama di sana: Jovano Gregorius Wicaksana."
Paijo gemetar. Ia tahu kalau itu akte kelahiran yang sama yang diperlihatkan Pak Jatmiko padanya.
"Dan ini..."
Lastri mengeluarkan sehelai kain batik kecil.
“Dulu dijahit oleh ibumu sendiri. Di belakangnya, nama kamu disulam dengan tangan: Anakku Jovano.”
Air mata Paijo tumpah begitu saja.
Dadanya terasa pecah. Tangannya menggenggam kain itu seperti anak kecil yang kehilangan arah.
Lastri bangkit dari duduknya.
“Aku tahu kamu hidup dalam dunia kelam. Tapi itu bukan pilihanmu. Itu karena kamu dipaksa bertahan.”
Paijo menatap Lastri, berusaha mengatur napas.
“Aku... aku cuma pengen hidup tenang, Bu.”
Lastri menunduk.
“Aku hanya ingin kamu tahu... kebenaran itu. Pilihan ada di kamu. Tapi Claudia gak akan tinggal diam.”
Paijo berdiri.
"Aku gak peduli dia siapa. Aku... cuma pengen jujur. Minimal... sama satu orang."
Lastri menatapnya.
"Kalau kamu ingin jujur... sekarang saatnya."
Saat Paijo keluar dari hotel itu, dunia terasa berbeda. Beban di punggungnya masih ada. Tapi kini ada sesuatu yang tumbuh: keberanian.
Namun, di balik jendela suite lantai 18, seseorang mengintip dari balik tirai—merekam seluruh percakapan.
Dan laporan itu... dikirim pada Claudia.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
Tak apa jika kebenarannya tidak terungkap skrg. Cukup kenali dirimu sndiri dan berdamai dgn diri sndiri dlu ya dan obati luka yg sepertinya masih tersayat dlm batinmu, nnti kebenarannya akan mnemukan jalannya sndiri
Mangat Jo kmu bener² berberda skrg, beda pas awal yg klo celetuk lucu😭🤌
brarti stengah lgi cintanya kemana Jo😭🏃♀️🏃♀️