Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mentari Hangat
Mentari pagi menyusup lembut lewat celah tirai rumah ibu, menciptakan bayangan keemasan di lantai kayu yang berdecit ringan ketika diinjak. Aroma teh manis dan pisang goreng buatan ibu menguar dari dapur, menyelimuti rumah kecil itu dengan kehangatan yang tak bisa dibeli waktu.
Alisya sedang membantu membereskan kamar sambil memandikan Rasya. Rendi, yang sudah lebih dulu rapi, duduk di ruang tengah sambil menikmati secangkir teh yang disuguhkan ibu. Di luar, suara burung dan gemerisik dedaunan bersahutan pelan, seperti musik latar dari hari yang penuh rasa tenang.
Ibu duduk di samping Rendi, menyandarkan punggung pada sandaran kursi tua yang pernah memperdengarkan begitu banyak percakapan diam-diam. Sekilas ia melirik ke arah kamar, memastikan Alisya belum keluar.
“Aku tahu Alisya kelihatan kuat, Rendi…” ujar Ibu pelan, matanya lurus menatap ke luar jendela. “Tapi kadang kekuatan itu muncul karena dia terlalu sering merasa sendiri.”
Rendi menoleh perlahan, mendengarkan penuh perhatian.
“Sejak ayahnya pergi waktu dia umur tujuh tahun, dia seperti belajar sendiri caranya bertahan. Ia tidak menangis keras, tidak mengeluh, tapi sejak hari itu... ia tak pernah benar-benar percaya kalau seseorang bisa benar-benar tinggal.”
Ibu menghela napas, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Setiap malam, ia duduk di depan pintu, menunggu. Ia menaruh sandal ayahnya di depan rumah... berharap suatu pagi, ayahnya akan kembali memakainya.”
Rendi menunduk, tenggorokannya tercekat.
“Saya tahu sedikit tentang itu, Bu... Alisya pernah cerita, tapi waktu itu dia tidak banyak bicara. Hanya diam. Seperti... takut kenangannya sendiri bisa menyakitinya lagi.”
Ibu mengangguk.
“Dan itu sebabnya aku ingin kamu tahu... bukan hanya tentang masa lalunya, tapi tentang bagaimana kamu ada di masa kini dan mungkin... satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan luka yang tak pernah sembuh itu.”
Rendi memandang gelas tehnya, lalu menatap Ibu penuh kesungguhan.
“Saya akan terus tinggal, Bu. Saya tahu rasa ditinggalkan itu membekas seumur hidup. Tapi saya akan jadi alasan kenapa Alisya bisa percaya lagi... bahwa tidak semua yang mencintai, akan pergi.”
Ibu tersenyum, matanya berkaca-kaca tapi penuh syukur.
“Itu saja sudah cukup, Ren. Lebih dari cukup.”
Langkah kaki kecil terdengar mendekat. Rasya muncul dari kamar dengan rambut setengah kering dan pipi yang masih merah karena digosok handuk. Alisya menyusul dari belakang, membawa tas kecil.
“Kita siap, Ayah " Ucap Rasya sambil tersenyum.
Rendi berdiri, lalu menatap Ibu sebentar, seperti ingin mengucapkan sesuatu yang tak perlu dijelaskan. Ibu membalas tatapannya dengan anggukan kecil—restu tanpa suara.
Sebelum melangkah keluar, Rendi menggandeng tangan Alisya, mengecup puncak kepala Rasya, lalu menoleh sekali lagi ke rumah yang telah menyimpan begitu banyak cerita.
Hari ini mereka pulang. Tapi lebih dari itu—hari ini, mereka juga membawa pulang sebuah keteguhan: bahwa cinta yang tinggal, bisa menyembuhkan jejak yang pernah ditinggalkan.
...****************...
Mobil putih itu perlahan melaju meninggalkan halaman kecil yang tadi pagi riuh oleh suara tawa dan langkah kaki kecil. Kini hanya ada debu halus yang mengambang di udara, dan seorang perempuan tua berdiri di ambang pintu, memeluk kedua tangannya sendiri seperti sedang menahan angin yang tak benar-benar dingin.
Ibu menatap ke kejauhan, ke arah di mana mobil itu makin lama makin kecil, lalu hilang di tikungan jalan.
Ia menghela napas pelan. Udara siang menyentuh kulit wajahnya, lembut tapi penuh rasa kosong yang aneh.
“Setiap kali kalian pulang, rumah ini hidup kembali…
Tapi setiap kali kalian pergi, aku harus belajar melepaskan lagi.”
Ia melangkah pelan ke ujung teras, tempat sandal kecil Rasya tadi pagi sempat tersusun miring. Ia membetulkannya, entah kenapa. Mungkin karena ia tak pernah bisa membiarkan sesuatu yang manis jadi terlihat berantakan.
"Alisya… kau selalu kuat di depan mataku.
Tapi aku tahu, anakku, ada bagian dalam dirimu yang masih menunggu.
Masih mengintip dari jendela hati, bertanya apakah orang yang kau cinta akan tetap tinggal.”
Ibu menoleh sebentar ke langit yang cerah, lalu menunduk lagi.
"Aku pernah takut melepaskanmu, takut kau jatuh pada cinta yang hanya singgah.
Tapi hari ini… setelah melihat cara Rendi menggandeng tanganmu, menatap Rasya seolah dunia tak lebih penting daripada keluarganya
Aku tahu, kau akhirnya menemukan tempat pulang yang tak lagi semu.”
Suara angin menggeser daun-daun kering di sudut halaman. Ibu menutup matanya sesaat, lalu membukanya lagi dengan pandangan yang lebih tenang.
“Aku hanya seorang ibu…
Yang pernah gagal menjelaskan pada putrinya,
bahwa kadang, cinta bisa pergi tanpa alasan.
Tapi kini aku tak perlu lagi memberi jawaban palsu.
Karena kau sudah menemukan jawabannya sendiri.”
Ia membalikkan badan, melangkah masuk ke dalam rumah yang kembali sunyi.
Dan meski tak ada lagi suara tawa di pagi hari, atau tangis kecil Rasya yang minta disuapi, Ibu tahu Keheningan kali ini bukan kehilangan.Melainkan kepastian bahwa cinta akhirnya memilih untuk menetap
......................
Mobil melaju perlahan menyusuri jalanan. Di kaca spion, rumah kecil Ibu sudah tak terlihat. Hanya jejak-jejak hangat yang masih tertinggal di hati mereka bertiga.
Alisya duduk diam di kursi depan, jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Sesekali ia melirik Rendi yang menyetir dengan tenang, lalu kembali menatap jalanan kosong di depan mereka.
Suasana hening, sampai akhirnya Alisya bersuara, nyaris seperti bisikan.
“ Mas , Sayangku ..."
Rendi menoleh cepat, lembut. “Iya sayang?"
Alisya menatap ke luar, lalu kembali pada Rendi. Suaranya bergetar, matanya mulai memerah , ia teringat kembali pada awal Mereka bersama
“Makasih Karena kamu nggak ninggalin aku pas aku nggak baik-baik aja Karena kamu tinggal… bahkan ketika aku diam Bahkan ketika aku nggak bisa banyak cerita.”
Rendi tak menjawab langsung. Ia memelankan laju mobil, membiarkan momen itu hidup tanpa tergesa-gesa.
"Kamu ngerti isi hati yang bahkan aku sendiri nggak paham kadang.” Ucap Alisya .
Alisya tersenyum lirih, mata berkaca. “Makasih… karena kamu jadi rumah.”
Rendi menghela napas pelan, lalu menoleh sebentar, matanya juga mulai hangat. Ia mengulurkan tangan kirinya dan menggenggam tangan Alisya yang ada di pangkuan.
“Sayang…” ucapnya pelan. “Aku cuma ingin kamu merasa cukup apa adanya kamu, dengan segala luka dan bahagianya.”
Ia menggenggam lebih erat.
"Aku tinggal bukan karena kamu butuh diselamatkan. Tapi karena aku tahu kamu layak untuk diperjuangkan.”
Rendi melanjutkan ucapnnya
“Dan kalau suatu hari kamu jatuh lagi, aku tetap di sini. Nggak ke mana-mana.”
Alisya tak bisa lagi menahan senyum bercampur air mata kecil yang jatuh. Ia memalingkan wajah, menyeka pipinya dengan ujung jari.
Dari belakang, Rasya memecah keheningan dengan ceria, “Bun, Ayah! Rasya udah nggak sabar makan ayam kecap! Harus ada telurnya juga yaa!”
Mereka tertawa. Haru berubah jadi tawa. Luka berubah jadi jalan untuk saling memahami.
Rendi mengangguk ke kaca spion, “Siap, Bos kecil. Ayam kecap dengan telur spesial buat Rasya.”
Alisya menghela napas pelan, lalu bersandar ke kursi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya terasa ringan.
Ia tahu: cinta yang ia miliki sekarang… bukan cinta yang datang untuk singgah. Tapi cinta yang memilih untuk tetap tinggal.