Rara hanyalah seorang gadis biasa yang hidupnya berubah sejak diadopsi oleh pasangan kaya, Nadine dan Damar. Di usianya yang masih 15 tahun, ia merasa mendapat kesempatan kedua dalam hidup-tempat tinggal yang nyaman, kasih sayang, dan harapan baru. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Rara diangkat bukan hanya sebagai anak, tapi juga disiapkan untuk satu tujuan: menjadi ibu pengganti bagi anak pasangan itu.
Sebagai bentuk balas budi, Rara menerima takdirnya. Ia ingin membalas kebaikan mereka dengan keikhlasan, tanpa berharap apa-apa. Tapi takdir memiliki caranya sendiri untuk menghancurkan segalanya.
Di malam ulang tahun temannya, sebuah kesalahan tak termaafkan terjadi. Dalam keadaan mabuk dan tak sadar, Rara dan Damar menghabiskan malam bersama-tanpa cinta, tanpa kesengajaan, hanya kekeliruan yang tak bisa dihapus. Beberapa minggu kemudian, saat prosedur inseminasi kembali direncanakan, Damar menghentikannya. Ia tahu... Rara mungkin sudah hamil. Dan yang tumbuh di dalam rahim itu adalah anaknya-bukan dari hasil inseminasi, melainkan dari peristiwa yang disangkal dan ditutupi.
Sementara Nadine, yang begitu bahagia dengan kehadiran janin dalam rahim Rara, tak menyadari bahwa anak itu bukanlah hasil inseminasi seperti yang ia yakini. Sampai akhirnya, perhatian berlebih Damar pada Rara membongkar semuanya.
Kehancuran pun menyusul. Nadine merasa dikhianati, kebenaran -tentang janin yang dikandung Rara, dan tentang hubungan terlarang yang tak pernah Rara inginkan.
Diusir.
Dihina.
Dibuang.
Rara kehilangan segalanya-termasuk harga dirinya. Tapi ia memilih pergi... karena ia tahu, dirinya bukan pelaku... tetapi korban dari cinta beracun yang seharusnya tak pernah tumbuh, karena cinta dari pria seegois Damar bukan sesuatu yang bisa dihindari-itu adalah jerat.
Dan Damar sendiri,terjebak antara dua perempuan yang sama-sama mengisi ruang berbeda dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Gedung kantor yang tinggi itu tampak tenang dari luar, tapi di dalam ruangannya yang berada di lantai paling atas, Damar sudah duduk di balik meja kerjanya. Jasnya dilepas, tinggal kemeja biru yang kini sedikit tergulung di bagian lengan. Tangannya mengetuk pelan permukaan meja sambil menatap layar laptop, namun jelas pikirannya tidak sepenuhnya ada di angka-angka yang terpampang di depannya.
Pintu diketuk, lalu terbuka perlahan. Awan, asistennya, masuk dengan ekspresi waspada.
"Sudah ada kabar?" tanya Damar tanpa menoleh.
"Baru saja, Pak. Ibu Nadine terlihat berhenti di salah satu gedung ruko di daerah Kemang."
"Apa itu butik milik dia?"
"Sepertinya bukan, Pak. Saya cek data properti, tempat itu milik seseorang bernama—"
Damar mengangkat tangan pelan, menghentikan ucapan Awan. Ia masih menatap layar, tapi kini matanya mengarah pada ponselnya yang baru saja menyala. Ada notifikasi baru—bukan dari Nadine.
"Bukan butik, tapi dia bilang ke sana karena ada klien," gumam Damar pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Siapa pemilik tempat itu?"
"Ada nama Bima Ardiansyah tercatat sebagai penyewa tetap di gedung itu. Sepertinya ruang pribadi, bukan kantor umum."
Damar mengangkat kepalanya. Pandangannya tajam menembus wajah Awan.
"Pastikan. Dan kirim seseorang ke sana. Jangan sampai mereka tahu sedang dipantau. Rekam jika perlu."
"Siap, Pak."
Awan keluar dengan cepat, meninggalkan Damar sendiri di ruangan itu.
Damar menyandarkan tubuh ke kursi, melipat kedua tangan di dada. Ia diam cukup lama, hanya suara jam dinding yang terdengar.
"Nadine..." bisiknya lirih, nada suaranya seperti menahan sesuatu. "Kalau memang benar, kenapa kamu mulai berani membohongi aku?"
Ia membuka layar ponsel, menatap foto pernikahan mereka yang dijadikan wallpaper.
Wajahnya datar. Namun sorot matanya menunjukkan badai yang mulai berputar pelan-pelan di dalam kepalanya.
"Kalau kau menyembunyikan sesuatu dariku..." ucapnya pelan, lalu meraih cangkir kopinya, "kau tidak akan pernah bisa menyembunyikannya lama-lama."
Di ruang kerjanya yang ber-AC dingin, Damar menatap tumpukan berkas yang berceceran di meja, layar laptop yang menyala, dan kalender rapat yang terus berdetik mendekati waktu yang telah dijadwalkan. Namun, pandangannya bukan tertuju pada dokumen-dokumen itu. Matanya kosong, melayang jauh, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan.
Dalam keheningan itu, pikirannya terombang-ambing antara dua dunia yang bertabrakan dalam hatinya. Dunia yang selama ini ia jalani dengan penuh kendali mulai goyah oleh keraguan dan kecemasan.
Ia membayangkan Rara, wanita yang sedang berjuang menghadapi segala keterbatasan dan kesakitan. Wanita yang sejak awal telah mencuri perhatian dan akhirnya membuka gerbang hati Damar yang selama ini tertutup rapat. Kini, Rara membawa keajaiban baru—buah hati yang tumbuh di dalam rahimnya. Damar merasakan tanggung jawab besar yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Melindungi Rara, menjaga keamanannya, dan memastikan tidak ada yang menyakiti mereka berdua, menjadi misi utama dalam hidupnya.
Namun di balik itu, bayang-bayang Nadine terus membayang. Istrinya sendiri yang kini menjadi sumber keraguan dan kecemasan. Ada perasaan marah yang tersembunyi, tapi juga keinginan untuk memahami. Damar tahu, jika benar Nadine menyimpan sesuatu, maka akan ada pertarungan besar yang harus ia jalani, bukan hanya untuk hatinya sendiri tapi untuk keluarganya.
Sambil menghela napas, Damar berbisik dalam hati, "Aku harus kuat... Untuk Rara, untuk anak ku, dan untuk diriku sendiri. Aku tak boleh terjatuh dalam kebimbangan ini."
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat dan suara assistennya memecah lamunan itu.
"Pak Damar, rapat akan segera dimulai. Semua sudah menunggu di ruang konferensi," ujar sang asisten dengan nada sopan namun tegas.
Damar tersentak, menyadari betapa lama ia telah melamun. Ia mengangguk pelan, mencoba mengumpulkan fokus dan energi yang tersisa.
"Terima kasih, ayo kita ke sana," jawabnya, suara yang mencoba terdengar tegas.
Di ruang rapat, meskipun sesekali matanya terlihat melamun dan wajahnya menunjukkan ketegangan yang dalam, Damar berhasil mengendalikan dirinya dengan baik. Ia mengatur pembicaraan, memimpin diskusi dengan penuh kewibawaan, dan memastikan semua berjalan sesuai rencana.
Namun, di balik sikap profesional itu, hatinya terus merancang strategi yang lebih besar. Strategi untuk melindungi Rara, wanita yang kini sangat ia cintai dan hormati, yang harus ia perjuangkan dari segala ancaman. Termasuk dari Nadine yang meski belum terbukti, tetap menjadi perhitungan yang tak bisa diabaikan.
"Setelah pulang nanti," gumamnya pelan dalam hati saat melihat agenda yang harus ia jalani, "aku akan mencoba lebih dekat dengan Rara. Aku harus bisa mendapatkan hatinya, membuatnya percaya bahwa aku ada untuknya, sepenuh hati."