Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MESIN CUCI
"Wah, sudah selesai nih masa cutinya," ledek Melda saat aku pertama kali masuk setelah cuti menikah. Biasanya aku naik motor matic sendiri, sekarang antar jemput cuy. Aku hanya tersenyum saja mendengar ledekan sahabatku ini. Selama seminggu menjadi istri Mas Akbar, ternyata rasanya seperti pacaran, bedanya cuma sekamar saja. Tak ada rasa yang menggebu sebagai pengantin baru, atau salah tingkah saat digoda jalannya berbeda, aku hanya tersenyum saja. Entahlah, rasanya hambar saja. Bahkan setelah melakukan hubungan suami istri yang kata orang bikin nagih, ternyata gak juga.
Kita menggebu selama tiga hari di awal pernikahan, selebihnya tak ada lagi minat untuk mengulang, ditambah sering kali perdebatan muncul. Mungkin itulah yang membuat minat kita berhubungan turun drastis. Ya gimana gak aku debat, selama seminggu aku tinggal di rumah Mas Akbar, tapi saat aku ingin mengunjungi orang tuaku, Mas Akbar gak mau ikut.
"Berangkat saja sendiri, motor kamu sudah di sini kan." Aku melongo ketika Mas Akbar menolak untuk mengantarku, hello ini belum seminggu menikah loh. Tapi dia sudah malas ke rumah mertuanya. Kalau aku menuruti jelas gak mungkin lah, kita pengantin baru ya kali pulang ke rumah sendiri aja. Apa kata tetangga. Agak miring sepertinya Akbar ini. Introvert sih introvert, tapi gak gini juga kali. Alhasil aku pun berangkat sendiri ke rumah ibu.
Begitu aku balik ke rumah Mas Akbar sembari membawa dua bungkus rujak, ibu mertua tiba-tiba bilang belinya kok cuma dua? Lah aku harus beli berapa sedangkan keluarga Mas Akbar saja jarang keluar kamar. Apa iya aku harus ketok pintu dulu. Menawarkan rujak. Ya ampun ribet amat sih hidup sama mertua.
"Maaf, Bu. Saya pikir Ibu belum pulang dari pasar."
"Iya gak pa-pa, sudah dinikmati saja sama Akbar," ucap beliau kemudian masuk kamar lagi. Sumpah, aku merasa gak enak hati. Aku bukan pelit, hanya saja aku tak tahu kalau ibu sudah pulang dari pasar.
"Mas, kalau kita beli jajan di luar, ingatkan aku beli untuk keluarga kamu juga," kataku saat kita sudah membuka bungkusan rujak.
"Ngapain?"
"Ya kan gak enak kita beli sendiri tapi gak bawa buat mereka."
"Sekali lagi jangan sama kan dengan keluarga kamu. Keluargaku beda. Individualnya tinggi, gak perlu beli buat mereka, toh mereka juga sibuk di kamar."
"Ya kan gak enak. Ini tadi aja ibu sempat bilang kok beli cuma dua, gitu. Aku khawatir ibu menganggap aku gak peduli sama keluarga kamu."
"Gak masalah. Anggap saja angin lalu."
"Mas kamu kok gitu sih."
"Gak usah bawel, nurut saja apa kata suami. Aku juga gak suka kalau kamu terlalu royal sama keluarga kamu."
Jelas aku melongo, royal dari mana. Ini hanya sekedar jajan loh. Masa' iya gak boleh kasih. Gak sampai 50 ribu padahal. Kok kebangetan sekali Mas Akbar ini.
"Jajan gak sampai 50ribu saja kamu ribet banget sih. Anggap saja sedekah, toh gak setiap hari."
"Masih miskin gak usah terlalu banyak sedekah, dihemat."
"Kamu juga gak pernah sedekah tetap saja miskin," aku terpancing dengan dia. Ya gak setuju saja kalau pelit sama keluarga, apalagi soal makanan. Memang mereka gak minta, tapi ya Allah seperhitungan itu suamiku. Kesal sekali di minggu awal pernikahan. Saat pacaran memang dia tidak terlalu terlihat perhitungan, karena aku sering dijatah makan. Tapi lihatlah sikapnya menolak keras kalau berurusan dengan memberi keluarga.
"Tinggal di mana kamu, Mir?" tanya Pinkan, salah satu teman kantorku yang baik juga.
"Mertua, Mbak." Kagetnya aku ketika Mbak Pinkan langsung menghadap ke meja kerja, seperti shock saja.
"Hah? Ngapain tinggal di rumah mertua?"
"Hah? Gak boleh kah?" tanyaku polos, meski aku sudah merasa tidak kerasan di rumah mertua. Sepi, tak ada obrolan antar keluarga, mana sinis semua wajahnya. Seminggu menjadi istri Akbar, belum pernah sekalipun disapa kedua kakak ipar, duh bahaya gak sih hubungan keluarga begini. Padahal aku berusaha untuk menyapa mereka dulu, tapi no respon. Gila amat.
"Bukannya gak boleh, tapi kebanyakan makan hati," sahut Melda ikut nimbrung. Aku heran, Melda ini belum menikah, tapi kok pintar banget urusan perasaan dan rumah tangga.
"Saranku sih, lebih baik mengontrak, atau sekalian KPR saja, mengingat cerita kamu tentang Akbar seperti itu, pasti tabiat keluarganya juga sama."
Rasanya aku seperti ditampar oleh ucapan Mbak Pinkan, selama ini memang Akbar tertutup dengan keluarganya, tak pernah bercerita. Berbeda denganku yang selalu cerita kebiasaan di rumah. Ya aku pikir kita kan punya niatan menikah, otomatis kita harus cerita tentang keluarga dong. Namun Akbar tak sedetail itu menceritakan kebiasaan keluarganya sehingga membuatku shock juga tinggal di sana.
"Ya nanti diskusi lagi. Mbak," jawabku singkat.
Sejauh ini memang kelemahannya hanya pada komunikasi antar keluarga. Orang tua Mas Akbar terlalu menuntut aku harus membersihkan rumah atau bagaimana, tapi aku yang sadar diri, apalagi fakta mengejutkannya aku adalah orang pertama yang selalu bangun pagi, dan aku segera menyapu begitu saja. Meski, ibu bilang gak perlu tapi sebagai menantu numpang tetap gak enak dong, begitu juga soal cucian piring, aku heran saja, wastafel tidak pernah ada cucian piring, kata Mas Akbar sesuai kebiasaan setelah makan langsung dibersihkan, anehnya ibu Mas Akbar sudah tidak pernah memasak lagi setelah anak-anak mereka kerja.
Silahkan makan sendiri. Begitu kata Mas Akbar. Sumpah mind blowing banget, kalau tiga kali makan ya bisa boncos keuangan. Aku memberanikan diri untuk bertanya pada ibu saat beliau keluar kamar, semisal aku masak gak pa-pa kan? Tahu gak jawaban beliau.
Masak sendiri sama beli itu sama aja. Belum tenaga, listrik, air bahan baku juga keluar. Gak usah masak.
Bisa apa aku selain menurut, karena itulah aku kadang menahan lapar karena tengah malam setelah digarap Mas Akbar tak ada camilan, tak ada nasi, bahkan mi saja.
Mas gak bisa kayak gini terus. Bisa boncos rumah tangga kita. Kita ngontrak deh atau pulang ke rumahku.
Gak usah ada rencana lain. Sudah terima saja.
Selain urusan masak, aku juga tak bisa berkutik urusan cuci baju. Aku terbiasa pakai mesin cuci tapi di rumah Mas Akbar gak ada. Aku pun berusaha menerima, mengucek baju setelah pulang kerja, alamak capeknya. Mana tanganku langsung mengelupas karena alergi detergen.
Mas beli mesin cuci yuk, aku gak bisa cuci baju setelah kerja, Mas. Aku capek. Biar menghemat tenaga juga.
Kalau pakai uang kamu buat belinya gak masalah.
Asyem.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.