“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Sorot matahari pagi mulai merangkak pelan — menyusup masuk, melalui celah gorden berwarna abu-abu. Kayuna menggeliat lembut di atas ranjang asing, kelopak matanya terbuka samar saat cahaya surya menerpa wajahnya.
Tatapannya menyipit, menelusuri seluruh ruangan. Ia terlonjak setelah sadar ini bukanlah kamarnya.
Wanita muda itu mengedarkan pandangannya. “Ah, benar aku di rumah Adrian.”
Ia mengusap pelan wajahnya, bersamaan dengan itu ia pun teringat akan sesuatu. “Ibuku? Kakakku? Iblis itu … pasti akan menemui mereka, ‘kan? Gawat!”
Dia buru-buru turun dari kasur, langkahnya tergesa nyaris membuatnya terjerembap. “Adrian, gawat! Tolong—”
Begitu keluar kamar, mulutnya menganga lebar kala melihat pemandangan yang memanjakan mata. Adrian berdiri hanya dengan balutan handuk yang menutupi perut hingga lututnya, sementara bagian lainnya dibiarkan terbuka.
Kayuna semakin mendelik saat Adrian menoleh — memperlihatkan dada bidangnya.
“Ada apa?” Wajah Adrian tampak cemas.
Kayuna tersentak, kedua tangannya spontan terangkat menutupi wajahnya. Tapi, netra beningnya sedikit mengintip dari celah jemarinya yang tak sepenuhnya merapat.
“Ada masalah?” Adrian kembali melontarkan tanya.
“Adrian … kamu—”
“Ah, benar.” Adrian baru sadar sejak tadi dirinya bertelanjang dada. “Tunggu, aku ambil baju dulu.”
Pria itu kemudian masuk ke kamar dan menutup pintu.
Kayuan melirik, lalu menghembuskan napas lega. “Bisa-bisanya, pagi begini liat pemandangan gituan.”
Tatapannya mendadak terpaku pada seisi ruangan yang menarik perhatiannya. Ia baru menyadari karena semalam terlalu lelah untuk mengamati.
Tak ada banyak properti di sana, hanya ada sofa berwarna gelap, satu televisi besar menempel di dinding dengan sentuhan cat warna abu-abu. Beberapa koleksi figure dan aksesoris yang terpajang, memberikan sedikit kesan hidup.
Bagian dapur yang berada di satu ruangan tanpa pembatas pun hanya memperlihatkan sedikit barang.
Satu buah akuarium berukuran sedikit besar berada di sudut ruangan, uniknya, hanya ada satu ikan di sana entah apa jenisnya, yang jelas ia berwarna orange kemerahan. Kayuna terus memicingkan mata — menelusuri ruangan yang terasa hampa dan kosong itu. Tapi anehnya, cukup memberinya rasa nyaman.
“Dia memang orang yang simple, tak nggak nyangka dia akan hidup sesimple ini,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala.
Tak lama, Adrian keluar dari kamar. “Ada apa? Kenapa pagi-pagi udah panik?” tanyanya.
Kayuna sedikit tersentak, lalu kembali menatap Adrian. “Ibuku … kamu bisa tolong mengantarku ke sana? Aku takut Niko akan nekat mendatangi keluargaku.”
Adrian yang sejak tadi memasang wajah khawatir pun kini menghela napas lega. “Kupikir ada apa,” jawabnya.
Kayuna tampak bingung, tak paham dengan respon Adrian barusan.
“Kamu nggak perlu cemas tentang Ibu dan Kakakmu,” ujar Adrian.
“Apa maksudmu?” Kayuna menatap penuh selidik.
“Mereka sudah aman, aku sudah membawa mereka ke tempat yang aman.”
***
Brak!
Niko menggulingkan sebuah guci besar, berukuran kurang lebih satu meter tingginya. Benda itu tadinya berdiam di sudut ruangan, kini ia pecah berserakan di lantai.
“Sialan!” hardiknya tajam. “Kemana Wanita Jalang itu bersembunyi?!”
Netra legam pria itu tampak mendidih, kala dirinya tak dapat menemukan sosok yang ia cari. “Geledah seluruh ruangan! Periksa lantai atas!” titahnya tegas.
“Baik, Bos.” Dua pria berkulit sawo matang dan bertubuh tinggi, dengan balutan kemeja sedikit kusut, langsung bergerak cepat menelusuri setiap sudut bangunan.
Niko berdiri dengan raut geram. Ia mendatangi cafe milik Anita — kakak Kayuna, dengan tujuan untuk mencari istrinya.
‘Wanita sialan itu pasti bersembunyi di tempat tinggal Kakaknya,’ pikirnya.
Namun, bukannya mendapatkan apa yang dicari, Niko justru disambut dengan keadaan Cafe yang sudah kosong melompong.
Ia pun semakin kesal karena Anita mendadak menghilang entah kemana tanpa bisa dihubungi.
“Di lantai atas juga sudah kosong, Bos. Tidak ada siapapun.” Pria berkepala botak, dengan wajah setengah tua dan kumis yang sedikit tebal itu, menyampaikan dengan suara rendah.
“Brengsek!” desis Niko tajam.
“Kau main-main denganku Adrian?” geramnya sinis. Sorot matanya kian menusuk. “Di mana kau membawa wanita murahan itu?”
Laki-laki berhati iblis itu sudah sangat yakin bahwa ini adalah ulah Adrian, menyembunyikan istrinya, bahkan juga membawa Anita.
Sementara emosinya yang masih belum padam, Kevin menghunginya dan menyampaikan berita yang membuatnya semakin naik pitam.
“Rumah keluarga Nyonya Kayuna sudah kosong, Bos. Ibunya tidak ada di sini, bahkan para tetangga pun tak ada yang tahu, kapan dan di mana beliau pergi,” ucap Kevin melalui sambungan telepon.
Prang!
Niko menghempaskan kuat ponselnya ke arah jendela kaca. Kaca itu pecah dalam sekejap, beriringan dengan dentuman jantungnya yang kian menggebu diterjang amarah.
Aliran darah terasa mengalir lebih cepat, Niko memijat kuat tengkuknya berusaha mengendalikan diri agar tak naik tensi.
Seringai penuh kebencian terulas tipis, Niko terus mengeratkan kepalan tangannya. “Tunggu saja, aku akan menemukanmu dan memberimu pelajaran Kayuna.”
***
Sementara itu, Airin tampak duduk mengantri di sebuah klinik. Ia merapatkan kakinya, bibirnya mengatup, sesekali ia terus mengatur napasnya.
Tangannya menggenggam lembaran kertas rujukan. Awalnya, ia hanya ingin memeriksakan kesehatannya yang kian menurun dan rasa mual yang tak kunjung usai.
Tapi, tepat di depan meja resepsionis, dia kembali termangu. Mengingat ucapan seorang dokter yang menyarankan agar Airin memeriksakan kondisinya lebih lanjut ke dokter spesialis.
“Apa yang kucemaskan benar-benar terjadi?” gumamnya. Akhirnya ia pun menuruti kata sang dokter dan menuju ruang konsultasi.
Bersamaan dengan dirinya yang terus berdebar tak karuan, suara seseorang tampak memanggilnya dari kejauhan.
“Airin!”
Gadis itu sontak menoleh, bibirnya menganga lebar kala melihat Riska—rekan kantornya, melangkah menghampirinya.
“Riska? Dia ….” Airin tampak panik, ia pun bergegas hendak menghindari rekannya itu.
Nasib sial, Riska sudah lebih dulu tiba di dekatnya dan meraih lengannya.
Tak ada pilihan lain, akhirnya Airin pun berbalik badan dan menyapanya. “Hai, Ris.” Bibirnya terangkat samar, senyum palsu melengkung di wajahnya.
“Kamu ngapain di sini? Siapa yang mau periksa—” Riska menahan kalimatnya, bibirnya menyungging heran kala menatap plakat ruang konsultasi di pintu ruangan — tempat Airin duduk mengantri.
“Aku nemenin sepupu!” sergah Airin cepat, tangannya buru-buru meremas lembaran kertas yang digenggamnya, lalu menyelipkannya di saku belakang celana jeansnya.
Riska manggut-manggut seolah paham, meski sebenarnya batinnya masih penuh tanda tanya.
“Aku … duluan ya, Ris. Sepupuku bilang mau dijemput suaminya, jadi aku mau pulang duluan, ada urusan,” dustanya, kemudian Airin berjalan pelan — gugup, ke arah pintu keluar.
Riska memicingkan mata curiga. Ia kembali menoleh pada plakat yang menempel di pintu ruangan. “Airin … nggak mungkin, ‘kan?”
*
*
Bersambung.
Niko Mahendra.