Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Keduanya refleks ingin menolong.
Ustadz Fathur sampai melepaskan sepatu, hendak turun.
Tapi sebelum tangan mereka sampai...
Aira sudah bangun sendiri.
Dengan wajah dan pipi belepotan lumpur.
…dan bukannya panik atau menangis, dia malah bengong sebentar.
Lalu... "Hmmm… seger juga ya…"
Ia mengaduk-aduk lumpur dengan tangannya. Bahkan menepuk-tepuk tanah berlumpur itu seperti anak kecil main pasir.
Bu Maryam sampai memukul-mukul paha, tertawa sampai mengeluarkan air mata. “Ya Allah… anakku kok begini banget hidupnya…”
Pak Hadi menutup mata, menghela napas panjang. “Aira… Aira… baru dua hari di kampung sudah begini…”
Ustadz Fathur berdiri di pinggir sawah, memandang Aira dengan ekspresi antara kasihan, syok, dan… menahan tawa yang sangat susah dikendalikan.
“Neng Aira… itu baju…”
Ia menunjuk dress putih yang sekarang sudah kayak kamuflase militer warna lumpur.
Aira mendongak, masih duduk.
“Udah kotor semua, Ustadz… yaudah sekalian aja…”
Dia plak-plak tanah lumpur di tangannya, tampak menikmati teksturnya.
Ibu-ibu serentak menjerit geli. “Astagfirullah, Neng Aira, jadi anak sawah pisan euy!”
Salah satu ibu-ibu yang paling cerewet mendekat sambil mengangkat celananya sedikit agar tidak kena lumpur. “Nah kalau udah turun sekalian, sini Neng… bantuin nanam padi.”
Ia menunjuk area yang masih kosong.
Aira menatapnya, bingung. “Bu… aku tuh lulusan S1 ekonomi…” katanya pelan, setengah minta belas kasihan.
“Teteeep bisa, Neng,” balas ibu itu sambil tertawa. “Yang penting tangan mah ada…”
Pak Hadi menyelipkan tangan ke saku.
“Sekalian belajar, Ra. Papa kan sudah bilang… kamu harus bisa menyesuaikan diri.”
“Papa…” Aira mengerutkan bibir, suara nyaris mau menangis tapi ego menahan.
Bu Maryam mendekat, menepuk pundaknya yang penuh lumpur. “Yang penting niatnya baik, Aira. Bantu orang kampung. Ini juga sawah kita.”
Lalu dengan senyum-senyum iseng, ia menambahkan, “Dan diam-diam Ustadz Fathur juga liatin kamu dari tadi.”
“Ma!” Aira langsung memucat... walau mukanya sudah lumpur semua.
Ustadz Fathur tersipu kecil, tapi tetap menjaga wibawa. “Kalau mau belajar, saya ajarin, Neng. Tapi… bajunya sepertinya kurang tepat.”
Aira memejamkan mata. “Aku pulang aja deh…”
Tapi ibu-ibu sudah menarik tangannya. “Ayo, Neng. Sekalian. Tanganmu udah kotor juga.”
Aira pasrah.
“Ya Allah… hidup apa ini…” gumamnya sambil ikut jongkok, terjebak antara malu, lelah, dan humor pahit.
Dan Ustadz Fathur?
Sedikit berjarak ia mengamati, tangan terlipat di dada, bibirnya terangkat sedikit.
Sepertinya... Hari pertamanya di kampung menjadi sangat... Menarik.
***
Aira berdiri di tengah sawah dengan posisi setengah membungkuk, rambutnya yang sudah dikuncir pun ikut belepotan lumpur. Ibu-ibu sudah siap mengajarinya menanam padi.
Salah satu ibu menjelaskan sambil memegang bibit.
“Neng Aira, tinggal begini ya… tusuk, tanam, rapihin. Gitu wae.”
Aira mengangguk mantap. “Oke Bu… gampang banget ini mah. Kayak nyemilin cimol.”
Ibu-ibu langsung ngakak.
Pak Hadi memijat pelipis. “Air… itu sawah, bukan cemilan.”
Aira mencibir. “Iya tahu Pa, Aira juga bisa. S1 ekonomi mana pernah gagal.”
Semua ibu-ibu berseru, “Wiiih sarjana datang! Beres sawah sawah satu kampung!”
Aira memamerkan senyum percaya diri. “Tenang Bu, lihat aksiku.”
Ia mengambil seikat bibit padi…
Melangkah…
Dan... langsung OLENG ke kiri.
“Astagfirullah Ra! Itu bukan diseret!” seru Pak Hadi panik.
Aira bukannya membenarkan, malah menyeret bibit itu sambil masih berdiri miring. “Ini seni Pa! Seni menanam!”
Bu Maryam sudah jongkok sambil ketawa. “Ya Allah… Aira… bibitnya bukan dipake buat ngepel sawah.”
Ibu-ibu di sekitar langsung cekikikan. “Neng, bukan diusap begitu… tuh, tuh, bibitnya kabur ke air!”
“Ih lucu amat sih Neng Aira!”
Aira memandangi bibit yang hanyut ke lumpur.
“Lho kok berenang sendiri… bibitnya hidup ya Bu?”
“Bukan hidup… leupas!” jawab ibu-ibu sambil terbahak.
Aira mencoba lagi. Kali ini ia menusukkan bibit terlalu dalam.
“Ra! Kedalaman segitu mah kayak bikin liang kubur!” seru Pak Hadi kaget.
Aira langsung manyun. “Tapi kan biar kuat, Pa…”
“Kalau sedalam itu mah bukan kuat, Ra, malah MD padinya,” timpal Bu Maryam sambil tertawa makin keras.
Ibu-ibu lain mulai member komentar lucu.
“Neng Aira, bibitnya ditanam, bukan dikuburin shalat jenazah.”
“Ayo ulang lagi, ulang… jangan galak sama bibit!”
Aira mendengus kesal tapi mencoba lagi.
Kali ini ia menancap bibitnya dan... Karena posisi terlalu maju, pematang sawahnya patah sedikit.
Dan brug! ...Aira oleng ke depan.
Ustadz Fathur yang sejak tadi hanya memperhatikan dari pinggir sawah spontan melepas sandal dan turun. “Awas Neng!”
Dia menangkap lengan Aira tepat sebelum wajahnya kembali menyatu dengan lumpur.
Aira mematung, bibirnya gemetar.
“Ustadz… saya… saya jatuh lagi ya?”
“Enggak, Neng. Hampir.”
Lalu Ustadz Fathur melihat ke bawah.
Aira melihat juga.
Kaki mereka berdua tenggelam sampai betis di lumpur.
Ustadz Fathur menahan napas.
Aira menutup muka.
Ibu-ibu langsung bersorak.
“WAH USTADZ TURUN JUGA!”
“Cocok euy, sama-sama belepotan!”
“Airaaa, itu namanya jodoh turun sawah bareng!”
“Ustadznya mah niat banget nolong…”
Aira langsung memerah (setengah karena malu, setengah karena panas hati).
“Bu… saya jatuh bukan karena ustadz!”
Pak Hadi menaikkan alis. “Tadi kamu hampir nyium lumpur, Ra.”
Aira menatap ayahnya dengan wajah sedih. “Pa, aku udah kerja keras padahal…”
Bu Maryam mengelus dada sambil menahan tawa. “Kerja keras apanya… kamu baru turun lima menit, Ra…”
Karena stres dan malu, Aira mendadak duduk di lumpur. “Udahlah… biar aku jadi patung sawah aja di sini…”
Ustadz Fathur langsung menahan tawa sambil menatap ibu-ibu. “Biar saya bantu tanam di bagian sini aja, Bu. Biar cepat beres.”
Ibu-ibu langsung kompak, “Eeeeh Ustadznya bela Neng Aira!”
Aira menutup muka lagi. “Mamaaaa… aku mau pulang ke kota aja…”
Bu Maryam mengusap pundaknya yang berlumpur. “Ah, udah bagus begini. Ayo Ra, belajar lagi. Lihat tuh Ustadz Fathur sampai ikut ke sawah gara-gara kamu.”
Aira melirik Ustadz Fathur.
Dan Ustadz Fathur… cuma senyum kalem. “Tidak apa-apa, Neng. Semua orang belajar dari awal.”
Aira tambah malu.
Sementara, ibu-ibu langsung berbisik-bisik, tapi penuh tawa.
"Kasian Ustadz... Baru pagi udah kena lumpur cinya..."
"Cocok banget atu dua orang ini..."
"Udah lah, jodoh mah tinggal nunggu waktu..."
Aira memekik dalam hati."Hari kedua di kampung kenapa begini amat hidup aku?!"
Setelah “peristiwa sawah yang menggetarkan warga”, Aira berjalan pulang dengan langkah berat. Lumpurnya sudah mengering di siku, betis, dan sebagian rambut yang menempel ke pipi.
“Pa… Ma… aku malu banget… sumpah malu banget…”
Aira berjalan seperti zombie menuju kamar mandi luar rumahnya.
Pak Hadi hanya geleng-geleng sambil membawa sandal Aira yang tadi terjebak di sawah. “Makanya kalau orang tua bilang jangan neko-neko, dengerin.”
Aira mendengus. “Papa tuh nggak ngerti… aku tuh kaya artis tadi!”
“Artis lumpur, Ra,” celetuk Bu Maryam.
“Maa!” Aira menjerit sambil ngeloyor ke kamar mandi.
Terdengar suara cekrek-cekrek pintu, lalu air menyala deras.
Tapi dari luar pagar rumah, beberapa ibu lewat sambil membawa sayuran.
“Neng Aiiraa… bersihkeun lumpurna dulu yaaa!”
“Lain kali bajunya jangan buat kondangan lamun ka sawah!”
“Hahaha, Neng Lumpur kita, nih!"
Aira di kamar mandi memukul pintu. “MAAA! Kenapa mereka manggil aku NENG LUMPUR?!”
Bu Maryam terbahal dari dapur. “Biarkan Ra, itu tanda sayang.”
“Tanda penggibahan, Ma! Beda!”
“Airaaa mandi jangan sambil ngobrol!” teriak Pak Hadi.
Aira makin merasa hidupnya teraniaya.
***
Sementara Aira masih berjuang menghilangkan lumpur dari rambutnya…
Di luar rumah, Ustadz Fathur duduk bersama Pak Hadi dan Bu Maryam di bangku bambu sambil minum teh panas.
Ustadz Fathur sudah ganti baju, tapi celana sarungnya masih sedikit kecokelatan di ujungnya.
Dia tampak sedikit kikuk, tapi tetap santai.
Pak Hadi tersenyum minta maaf. “Maaf ya, Ustadz. Aira memang begitu… kalau sudah mau melakukan sesuatu, susah dihentikan.”
Bu Maryam ikut mengangguk. “Dia keras kepala, tapi hatinya lembut. Cuma… kadang otaknya suka loncat duluan.”
"Hah?"
Bersambung