NovelToon NovelToon
Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.

Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 3

Malam itu, angin berhembus lembut dari sela-sela tirai panjang yang menjuntai di depan jendela besar. Cahaya bulan menerobos masuk, menerangi sebagian ruangan mewah yang kini menjadi tempat tinggal Liana dan Maria.

Mansion milik Claudia berdiri megah di atas tanah luas, dikelilingi pagar tinggi dan kamera pengawas di setiap sudut. Penjagaan begitu ketat, seolah tempat itu menyembunyikan rahasia besar yang tak boleh diketahui siapa pun. Bahkan untuk sekedar menghirup udara malam di teras depan, Liana dan Maria harus meminta izin.

Maria sibuk di dapur. Matanya mengamati setiap sudut ruangan, lemari, dan rak yang penuh bahan makanan. Ia membuka kulkas besar berwarna perak mengkilap, mendapati daging segar, susu, sayuran, dan buah-buahan tertata rapi. Semua tersedia. Terlalu lengkap. Terlalu sempurna—untuk sebuah rumah yang menyimpan rencana busuk.

Sementara itu, Liana melangkah pelan ke dalam kamarnya. Saat pintu terbuka, ia tertegun.

Ruangan itu seperti milik putri kerajaan. Tempat tidur besar berlapis sutra putih, tirai tebal berwarna krem keemasan menggantung anggun, dan furnitur bergaya klasik dengan ukiran detail menghiasi setiap sudut. Cermin tinggi berdiri megah di sisi kanan, menghadap lemari pakaian yang entah berisi apa. Di sudut, ada meja rias dengan lampu-lampu kecil mengelilingi cermin bundarnya.

Liana melangkah mendekati tempat tidur, menyentuh selimut halusnya dengan ragu. Sesaat, ada rasa nyaman, rasa damai… tapi segera berganti menjadi takut. Ia tahu kemewahan ini bukan untuk membuatnya bahagia. Ini hanyalah panggung bagi peran yang harus ia jalani—peran sebagai wadah, sebagai penghasil darah baru untuk keluarga yang bahkan tak menganggapnya manusia.

Liana duduk di pinggir ranjang, menatap lantai kayu mengkilap di bawah kakinya. Ia menatap cermin besar di seberangnya. Refleksi dirinya tampak rapuh, begitu asing.

Tak lama, Maria masuk dengan langkah pelan. Ia membawa segelas susu hangat untuk Liana.

"Minumlah ini, kau butuh tenaga," ucap Maria lembut, meletakkan gelas di meja samping tempat tidur.

Liana menggeleng pelan, air matanya mulai mengalir. "Maria… kenapa semua ini terjadi padaku? Aku belum pernah mencintai siapa pun. Bahkan aku belum sempat bermimpi besar…"

Maria duduk di sampingnya, memeluk gadis muda itu dengan erat.

"Aku tak tahu, lia… dunia memang kejam untuk orang-orang baik sepertimu. Tapi dengarkan aku, Liana. Selama aku masih di sisimu, aku akan melindungimu. Kita akan cari jalan keluar, apapun caranya."

Liana mengangguk pelan di pelukan Maria, air matanya jatuh membasahi bahu wanita  yang telah menjadi satu-satunya tempatnya bergantung kini.

Setelah Liana meneguk susu hangat dan mencoba menenangkan diri, Maria mengajaknya untuk memeriksa seisi kamar. Ia ingin memastikan bahwa tempat itu benar-benar aman dan nyaman, setidaknya untuk malam ini.

Dengan langkah pelan, Maria membuka satu per satu laci meja, memeriksa kamar mandi, hingga akhirnya berdiri di depan sebuah lemari pakaian besar berwarna coklat tua dengan ukiran mewah. Maria membuka pintunya perlahan.

Tiba-tiba, matanya terbelalak. Tangannya gemetar saat menyibak gantungan pakaian satu demi satu. Wajahnya berubah pucat.

"Ya Tuhan..." desahnya pelan.

Liana yang berada di belakang Maria ikut mendekat. Saat ia melihat isi lemari itu, jantungnya seperti berhenti berdetak. Pakaian-pakaian di dalam lemari itu… bukan pakaian biasa. Bukan pakaian untuk wanita yang hendak hidup normal.

Semua pakaian di sana tipis, menerawang, seksi, dan menggoda. Gaun malam dengan belahan dada rendah. Lingerie dari renda hitam dan merah. Bahkan ada beberapa yang terlalu vulgar untuk dikenakan. Tak ada satupun pakaian kasual. Tidak ada celana panjang, tidak ada kaos sederhana. Hanya pakaian yang... jelas bukan untuk kenyamanan.

“Apa… apa maksud semua ini…?” bisik Liana, suaranya tercekat, gemetar.

Maria menutup pintu lemari dengan cepat dan menatap Liana, mencoba menyembunyikan kegelisahannya, namun raut wajahnya sudah cukup menjelaskan.

“Mereka tidak membawamu ke sini untuk tinggal sebagai manusia biasa, Liana...” ucap Maria lirih. “Mereka memperlakukanmu hanya sebagai alat… tempat untuk melahirkan darah baru… bukan wanita, bukan anak, bukan manusia.”

Liana memeluk dirinya sendiri, tubuhnya menggigil. Semua ketakutan yang ia tahan sejak dipisahkan dari ayahnya kini pecah menjadi tangis.

"Aku ingin pulang… aku ingin ayahku… aku bukan seperti ini, Maria… aku hanya ingin hidup biasa…kuliah , kerja, bahagia bersama ayah ku … kenapa dunia begitu kejam padaku?”

Maria memeluknya erat. Ia tahu Liana masih terlalu muda untuk menanggung beban seberat ini. Seharusnya gadis itu sedang berada di kampus, mengenakan seragam rapi, tertawa bersama teman-temannya. Bukan di ruangan seperti ini, mengenakan pakaian seperti itu, menunggu perintah untuk... menyerah.

“Tenang, Liana . Kita akan cari cara. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkanmu.”

Namun jauh di dalam hati Maria, ia tahu... mereka takkan membiarkan Liana pergi semudah itu. Claudia dan orang-orangnya terlalu kuat, terlalu kaya, dan terlalu licik.

Tapi satu hal yang Maria yakini, selama darahnya masih mengalir, ia akan melindungi Liana.  Entah apa yang membuat maria sangat menyayangi Liana.tapi yang ia tahu Ia tidak akan membiarkan gadis muda itu menjadi boneka di rumah megah ini. Walu usia mereka terpaut tak terlalu jauh.

Malam itu, Liana membersihkan diri dan bersiap untuk tidur, ia membuka lemari berharap menemukan pakaian yang lebih sopan. Tapi tak ada pilihan lain—semua isi lemari hanya berisi pakaian tipis dan menggoda. Dengan berat hati, ia memilih mengenakan jubah mandi berbahan satin yang menggantung di balik pintu kamar mandi.dan itu lebih tertutup dibandingkan baju yang ada di lemari.

Jubah itu lembut dan dingin di kulitnya. Panjangnya hanya sebatas paha, dengan tali pinggang kecil yang diikat erat di perutnya. Meski bagian dada dan bahu tertutup, Liana merasa tubuhnya seolah tetap terlihat. Ia menatap cermin, merapikan rambut yang masih setengah basah, lalu menghela nafas panjang.

Ketukan terdengar di pintu.

" Nona Liana." Suara berat dan dalam itu milik Darvel. "Tuan Kenzo ingin bertemu denganmu. Sekarang."

Liana tersentak, menatap pintu dengan panik. Ia merapatkan jubahnya lebih erat dan melangkah pelan ke arah pintu. Tangan kirinya masih berusaha menutup bagian leher jubah yang sedikit merenggang.

“Aku belum berpakaian pantas…” bisiknya gugup dari balik pintu.

“Kenakan saja jubahmu. Tuan tak suka menunggu,” jawab Darvel datar.

Dengan langkah ragu, Liana membuka pintu perlahan. Darvel berdiri tegak, menatapnya singkat lalu memberi isyarat untuk mengikutinya.

Di sepanjang lorong mewah itu, Liana berjalan pelan. Ujung jubahnya bergoyang seiring langkah, dan hatinya berdegup semakin kencang. Ia tahu, pertemuan ini bukan pertemuan biasa. Di balik pintu besar di ujung lorong… pria bernama Kenzo Wiratama sedang menantinya.

 Pikirannya terus membayangkan seperti apa pria bernama Kenzo Wiratama yang akan menjadi "tuan" atas dirinya.

Lampu-lampu temaram memberikan suasana suram. Saat tiba di depan sebuah ruangan besar dengan pintu ganda ukiran mewah, Darvel membuka pintu itu dan memberi isyarat padanya untuk masuk.

Liana melangkah pelan, dan di sanalah dia—Kenzo Wiratama.

Pria itu berdiri di depan jendela besar dengan pemandangan taman malam di luar. Tinggi, tegap, mengenakan jas hitam yang disesuaikan sempurna dengan tubuhnya. Rambutnya rapi, wajahnya tegas, namun dingin. Sorot matanya tajam, seakan bisa menembus isi hati siapa pun yang menatapnya.

Saat mendengar langkah Liana, Kenzo perlahan berbalik.

Tatapan mereka bertemu.

Liana menunduk spontan, merasa tubuhnya seolah telanjang di hadapan pria itu meskipun ia masih mengenakan pakaian.

“Namamu Liana, bukan?” suara Kenzo dalam dan datar.

“Iya, Tuan...” jawabnya pelan.

Kenzo mendekat, matanya menyapu tubuh gadis itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Tidak sepenuhnya penuh nafsu, tapi jelas bukan pandangan seorang pria kepada wanita yang ia cintai.

“ Claudia bilang kau sangat sehat dan subur.” ucapnya tanpa ragu.

Liana merasa tenggorokannya tercekat.

“Kau tidak perlu berkata apa-apa malam ini. Aku hanya ingin melihatmu langsung. Aku tidak suka kejutan.”

Ia mengitari Liana, memperhatikannya seperti menilai barang lelang berharga.

“Tubuhmu sesuai dengan yang kulihat di laporan. Wajahmu juga cukup menarik. Tapi kau harus tahu… tugasmu bukan mencintaiku. Tugasmu adalah memberi keturunan untuk keluarga Wiratama. Jika kau bisa melakukannya dalam waktu tiga puluh hari, kau akan hidup tenang. Jika tidak…” Kenzo berhenti, menatap matanya lurus.

“…aku akan kirim ayahmu ke tempat yang sama seperti ibumu .”

**“Ibuku sudah meninggal…” bisik Liana, suara lirih, hampir tak terdengar.

“Berarti disanalah  ayahmu akan di kirim. Pikirkan baik-baik.” Kenzo berbalik, melangkah ke meja dan menekan bel.

Darvel kembali masuk.

“Kembalikan dia ke kamarnya.”

Liana dibawa kembali, namun matanya sudah basah oleh air mata yang ia tahan mati-matian. Setiap langkah terasa seperti menuju neraka yang tak bisa ia hindari.

Di balik dinding, Claudia menyaksikan semuanya lewat kamera tersembunyi, bibirnya tersenyum puas.

“Mainan yang cantik. Tapi berapa lama dia bisa bertahan?”

Malam itu, Liana tidur dengan air mata yang tak kunjung kering.  Setelah Liana di kembalikan ke kamar nya ,darvel memanggil  Maria untuk mengambilkannya minum. Dan betapa terkejutnya maria melihat Liana berurai air tanpa suara .matanya  melihat wajah gadis itu penuh luka , ia tahu… malam pertama belum dimulai, tapi luka Liana sudah sangat dalam.

Maria menemani Liana yang akhirnya tertidur dengan tenang setelah tangis dan ketakutan yang menghujani malam itu. Wajah gadis muda itu masih menyisakan gurat lelah, namun akhirnya damai dalam tidurnya. Maria menyelimuti tubuh Liana dengan lembut, lalu mematikan lampu kamar dan keluar perlahan.

Saat berjalan menyusuri lorong kembali ke kamarnya, langkah Maria terhenti di depan sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Dari celah sempit itu, terdengar suara percakapan samar-samar.

“Bagaimana, Kenzo? Apa kamu tertarik dengan gadis itu?”

Suara perempuan—tenang, namun tajam dan menuntut. Maria yakin itu suara Nyonya Claudia.

Beberapa detik sunyi. Lalu, terdengar suara laki-laki membalas dengan nada dingin namun mengandung emosi terpendam.

“Dia... berbeda. Tapi tak bisa dibandingkan denganmu, sayang.”

Maria membekap mulutnya sendiri agar tak mengeluarkan suara. Jantungnya berdetak cepat. Kata-kata itu—apa artinya? Siapa perempuan yang disebut ,"Liana ? “Dan mengapa Claudia bertanya soal ketertarikan Kenzo terhadap Liana? Apakah Claudia cemburu pada Liana ?....

“Aku tak peduli seberapa cantik dia. Yang penting dia subur dan patuh. Kau tahu tujuan utamanya, bukan?”

“Ya. Mewarisi darahmu... dan kekuasaan itu, menjadikannya anak kita” balas Claudia pelan.

Maria mundur satu langkah, berusaha menenangkan napasnya. Hatinya langsung terhubung pada Liana—gadis malang yang dijual demi uang dan sekarang terjebak dalam skema yang bahkan belum ia mengerti sepenuhnya.

Tanpa menunggu lebih lama, Maria segera berbalik dan berjalan cepat ke kamarnya. Pikirannya kacau. Ia harus berhati-hati. Dan ia harus mendampingi  Liana... apapun yang terjadi.

Claudia berjalan pelan ke arah jendela besar dalam ruangan itu, membelakangi Kenzo yang masih berdiri tegak di tengah ruangan. Suasana malam di luar sunyi, namun dalam ruang itu, udara dipenuhi ketegangan.

“Dia boleh kau tiduri,” ujar Claudia pelan, suaranya seperti bisikan tajam di antara gemerisik angin dari celah jendela. “Tapi jangan pernah—aku ulangi, jangan pernah kau menyukainya.”

Kenzo menatap punggung istrinya dalam diam. Sorot matanya sulit ditebak. Ia tahu betul Claudia bukan wanita biasa. Perkataan seperti itu bukan sekadar kecemburuan… ada rasa takut di sana. Takut kehilangan kuasa.

Claudia berbalik perlahan, wajahnya tegas tapi ada keretakan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Aku tahu dia cantik,” lanjut Claudia. “Muda, polos, dan tubuhnya... sempurna. Tapi ingat, Kenzo, dia bukan untukmu. Dia alat. Tidak lebih.”

Kenzo mendekat, langkahnya pelan namun pasti. “Kenapa kau takut?” tanyanya akhirnya, dengan nada lembut namun menyentuh luka tersembunyi Claudia. “Takut aku jatuh cinta padanya? Bukankah selama ini kau selalu percaya, aku hanya milikmu?”

Claudia tertawa kecil—tawa getir yang tak membawa kebahagiaan.

“Aku wanita, Kenzo. Dan wanita tahu… betapa mudahnya pria jatuh hati pada sesuatu yang segar, murni, dan... belum ternoda dunia.”

Ia melangkah mendekat, menatap mata suaminya. “Lakukan tugasmu. Buat dia mengandung. Tapi hati dan pikiranmu tetap padaku. Kalau tidak... kau tahu apa yang bisa kulakukan.”

“ Kalau kamu takut aku jatuh cinta dengan gadis itu,kenapa kamu tidak hamil saja Claudia.” Suara tegas Kenzo mengarah pada istrinya.

“ Kau tau alasan ku Kenzo”. Suara Claudia tegas.

Kenzo tak menjawab. Ia hanya menatap Claudia dengan mata yang kini mulai gelap, seolah menyimpan badai. Ia sangat mencintai Claudia melebihi apapun. Tapi cinta itu kini jadi bumerang sendiri untuknya. Tuntutan keluarga besar ia harus punya keturunan darah dagingnya kalau tidak ia akan kehilangan kekuasan di Kerajaan bisnis keluarganya.

Claudia berbalik lagi. “Besok malam. Aku akan kirim Maria keluar dari mansion. Pastikan kau tahu tugasmu.”

Kenzo tetap diam. Tapi dalam diamnya, ada sesuatu yang mulai berubah.

Malam telah benar-benar larut ketika suara mobil Claudia menghilang dari pelataran mansion. Kenzo masih berdiri lama di balkon, memandangi langit yang gelap. Di tangannya, segelas anggur yang tak sempat disentuh. Pikirannya kalut. Kata-kata Claudia terus terngiang di telinganya: “Dia boleh kau tiduri, tapi jangan pernah menyukainya.”

Seolah Claudia sedang menanam jebakan, dan dia adalah pion yang dipaksa memilih.

Dengan langkah tenang, namun dalam hati bergemuruh, Kenzo menyusuri lorong menuju kamar Liana.

Ia membuka pintu kamar Liana perlahan, tanpa suara. Di dalam, lampu tidur temaram menerangi wajah gadis muda itu yang terlelap di tempat tidur besar berhias kelambu tipis. Wajah Liana damai, tapi garis luka batin tergambar jelas di sana—seolah tidur pun tak bisa sepenuhnya membebaskannya dari kenyataan.

Kenzo berdiri disisi tempat tidur, memandangnya lama. Ia tahu seharusnya ini hanya tentang tugas. Claudia sudah memperingatkan. Tapi entah kenapa, di hadapan Liana, hatinya tidak bisa sekeras biasanya.

Perlahan, ia menaiki sisi tempat tidur dan berbaring di samping  gadis itu. Ia hanya ingin terbiasa dengan gadis itu, setidaknya untuk malam ini. Tapi tiba-tiba, Liana menggeliat pelan dalam tidurnya, dan tanpa sadar ia membalik tubuh… langsung memeluk tubuh Kenzo erat.

Tangannya melingkar erat di pinggang pria itu, wajahnya menggesek perlahan ke dada Kenzo seolah mencari kehangatan yang tak pernah ia miliki selama ini.

Tubuh Kenzo menegang.

Ia bisa merasakan nafas Liana di dadanya. hangat dan teratur. Aroma vanila dari rambut dan kulit gadis itu menyergapnya—lembut, manis, dan membuat pikirannya melayang.

Ia tak menyangka pelukan itu bisa membuatnya merasa… lemah dan nyaman.

Seharusnya ia melepaskan. Berdiri. Menjauh.Tapi ia tak bisa.

Kenzo tetap diam. Dalam hening malam itu, hanya detak jantung mereka yang terdengar. Dan mencoba untuk tidur.

1
watashi tantides
Nyesel ya pak gara gara nikah lagi😔 Kasian nasib Liana anak kandungnu pak😭
watashi tantides
Sakit banget💔😭 Liana 🫂
watashi tantides
Semoga Kenzo jatuh cinta ke Liana🥰 maaf Claudia istri sah itu semua karna kamu yang mepersatukan Kenzo dan Liana dan yang terlalu tega ke mereka😔
watashi tantides
Sakit banget💔😭
watashi tantides
Please ini mengandung bawang😭
watashi tantides
Mulai tumbuh benih sayang Kenzo ke Liana🥹🤍
Mira j: trimakasih KK dah singgah 🙏🏻💞
total 1 replies
watashi tantides
Liana😭❤️‍🩹
watashi tantides
Liana😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!