Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 – Jirat di Ladang Sunyi
Hujan turun semalaman. Embun pagi belum sempat kering ketika warga Kampuang Binuang digegerkan oleh penemuan sebuah jirat batu di tengah ladang jagung milik Pak Satimo. Jirat itu berdiri sendiri, dengan batu nisan kayu yang baru. Kayu masih basah, namun tak seorang pun mengaku meletakkannya.
Pak Satimo bersumpah ia tidak pernah menanam nisan itu. Bahkan malam sebelumnya, ladangnya kosong. Tapi pagi ini, selain jirat itu, tanaman jagungnya seolah merunduk, seakan memberi jalan bagi sang tamu misterius.
Reno dan Ajo menjadi orang pertama yang datang ke lokasi. Mereka berdiri mematung di hadapan jirat.
“Aku ngerasa tempat ini... nahan napas,” gumam Reno.
“Kayak baru dilewatin sesuatu besar tadi malam,” sahut Ajo sambil meremas-remas tangan.
Bahri menyusul dengan membawa sirih, garam, dan air bunga. Ia menatap nisan itu lekat-lekat.
“Ini bukan batu nisan biasa. Ini... panggilan.”
Ucup mendatangi mereka dari belakang sambil membawa tikar dan kendi air. “Mak Tundun bilang tempat ini bekas pekuburan tua yang dipindah, tapi beberapa kubur tak sempat digali. Bisa jadi ini salah satunya.”
Saat mereka hendak memulai doa, angin tiba-tiba berhenti. Udara menjadi sangat tenang hingga suara napas terdengar jelas. Ajo menoleh ke kiri.
“Lihat itu!”
Dari sela batang jagung, muncul sepasang kaki yang melayang. Perlahan, tubuh lengkap menyusul. Seorang pria tua berpakaian serba putih, wajahnya buram seperti dilapisi kabut tipis.
Ia menunjuk nisan itu. “Jangan pindahkan aku lagi. Aku sudah lelah mencari rumah.”
Bahri maju perlahan. “Kami tidak akan mengganggu. Tapi tolong beri tahu... siapa engkau?”
Sosok itu menunduk. “Aku Datuak Basiran. Dahulu aku pemimpin dusun kecil ini. Tapi ketika kolera melanda, aku dikubur diam-diam karena warga takut menular. Anakku pergi merantau. Tak ada yang mendoakan.”
Ucup tercekat. “Berarti... dia ini pemimpin kita yang dilupakan?”
Sosok itu mengangguk pelan. “Aku hanya ingin... diterima kembali.”
Bahri lalu mulai membaca doa. Ajo dan Reno menabur bunga di sekeliling nisan. Perlahan, tanah di bawah jirat itu bergetar. Aroma harum menyeruak. Sosok Datuak Basiran tersenyum, lalu menghilang bersama embun pagi.
Di surau, malam itu, warga mengadakan doa bersama. Pak Satimo menangis saat membacakan yasin.
“Aku menanam jagung di tanah bekas jasa. Astaghfirullah, aku benar-benar lupa kalau dulu di sini pernah berdiri surau lama.”
Mak Tundun menimpali dengan tenang, “Lupa itu sifat manusia. Tapi mengingat dan menebus, itu jalan orang yang insaf.”
Bahri menambahkan, “Kita sudah bantu banyak roh, tapi aku yakin... Palasik belum benar-benar menunjukkan bentuknya. Ia... masih menunggu.”
Reno berdiri, menatap ke luar jendela. “Tiap malam makin dingin. Aku yakin... waktu kita semakin sempit.”
Embun belum benar-benar sirna ketika kabar datang dari arah Bukik Lubuak. Seorang warga tua, Mak Darmi, mengatakan ia melihat sosok anak kecil berdiri di tepi jalan tanah menuju bukit itu, tepat di bawah pohon jambu biji besar yang sudah tua. Anak itu tak bicara, hanya menatap. Lalu menghilang ke semak.
“Aku kira cucu kawan, tapi wajahnya pucat. Bajunya lusuh, kayak dari zaman dulu,” kata Mak Darmi dengan suara parau.
Berita ini membuat Bahri dan kawan-kawan bergerak cepat. Mereka tahu, Bukik Lubuak adalah tempat terakhir yang tercatat dalam buku tua warisan kakek Bahri. Tempat itu pernah menjadi jalur perdagangan kecil, namun kini hanya jalur setapak yang ditumbuhi ilalang.
“Aku bawa kain kafan bekas yang belum dipakai. Kalau anak itu memang korban, kita harus beri kain ini agar ia tenang,” ujar Bahri.
“Dan ini... mainan kayu,” kata Ucup sambil mengeluarkan gasing tua dari tas kecilnya. “Barangkali... dia masih anak-anak yang ingin bermain.”
Ajo memandang Reno. “Kau bawa apaan?”
Reno mengangkat sebatang lilin kecil. “Kita nyalakan kalau gelap. Atau kalau ia takut sendiri.”
Mereka berjalan menuju Bukik Lubuak, menyusuri jalan setapak yang mulai tertutup akar dan rerumputan liar. Angin berembus lembab. Di pertigaan kecil yang dibatasi batu cadas, mereka menemukan bekas tapak kaki kecil.
Bahri berlutut, menyentuh tanah. “Basahnya beda. Ini bukan karena hujan. Tapi... baru saja dilewati.”
Semakin naik, suasana semakin sunyi. Tak ada burung, tak ada serangga. Bahkan angin pun seperti ditahan oleh dinding tak kasatmata.
Mereka sampai di bawah pohon jambu biji tua. Di sana, duduk sosok kecil. Seorang anak laki-laki, usia sekitar enam tahun. Wajahnya tirus, matanya besar, dan kulitnya pucat keabuan. Ia menatap mereka tanpa berkedip.
“Aku... tertinggal,” katanya pelan.
Bahri maju pelan. “Siapa namamu, Nak?”
“Aku... Dafa. Aku ikut rombongan dagang dari kampung. Tapi aku sakit. Mereka tinggal aku di sini. Katanya... nanti dijemput.”
Air mata menetes dari mata pucatnya. “Tapi tak ada yang datang. Aku tunggu. Hari demi hari. Lalu gelap... lalu hening.”
Ucup berjongkok dan memberikan gasing. “Kalau kau mau, mainlah. Kita temanmu sekarang.”
Anak itu memegang gasing itu perlahan. Tangannya gemetar. Lalu ia tersenyum kecil.
“Kalau aku pulang... boleh?”
Bahri menggeleng. “Pulangmu bukan ke rumah. Tapi ke tenang. Kami bantu doakan.”
Mereka menggelar tikar kecil, menyalakan lilin, dan mulai membaca doa. Reno meletakkan kain kafan di dekat akar pohon. Anak itu duduk diam, lalu perlahan tubuhnya memudar seperti kabut pagi.
Sebelum hilang, ia sempat berkata, “Terima kasih... aku sudah dijemput.”
Dalam perjalanan turun dari bukit, suasana terasa lebih ringan. Burung mulai bersuara, angin berembus pelan.
Di tengah jalan, Ucup berhenti.
“Kalian lihat nggak? Itu... gasingnya muter sendiri.”
Ajo menoleh. Di atas batu, gasing kayu itu berputar pelan, lalu berhenti.
Mereka tersenyum. Entah bagaimana, mereka tahu... anak itu telah pulang.
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...