Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Pagi itu semakin terang, sinar matahari memantulkan cahaya keemasan di dinding rumah kayu sederhana milik Arga. Angin berhembus lembut, menggoyang dedaunan di halaman. Namun suasana di dalam rumah begitu menegangkan, seolah alam pun ikut menyaksikan drama yang sedang terjadi.
Tere berdiri di ambang pintu, kedua tangannya mengepal menahan gejolak perasaan. Tatapan matanya tegas, namun kalau diperhatikan lebih dekat, ada gurat kesedihan yang coba ia sembunyikan.
“Aku sudah bulat, Ma, Pa. Aku mau pulang. Aku nggak bisa tinggal di sini. Ini bukan hidup yang aku pilih,” ucap Tere, suaranya pelan tapi pasti.
Bu Linda menatap anak gadisnya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya teriris melihat Tere yang begitu keras kepala. Sementara Pak Adrian menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Sayang… kami sudah bicara panjang lebar. Tapi kalau ini keputusan kamu, kami nggak bisa memaksa. Mama cuma minta satu: jangan menyesal nanti. Pernikahan ini sudah sah di mata agama, sudah sah di mata Tuhan. Jangan kamu sia-siakan begitu saja,” kata Bu Linda, lirih.
Tere hanya diam. Ia tak sanggup menjawab. Dalam hatinya ada rasa bersalah, tapi gengsinya menutupi semua. Ia melangkah keluar rumah, menuju mobil yang sudah disiapkan asistennya.
Pak Adrian menoleh pada Arga, yang sedari tadi berdiri dengan kepala tertunduk. Wajah Arga muram, hatinya remuk. Namun ia mencoba tetap tegar.
“Arga…” suara Pak Adrian hangat. “Kamu anak baik. Papa dan Mama percaya itu. Maafkan anak kami kalau dia keras kepala. Ini semua karena dia belum memahami sepenuhnya arti dari pernikahan ini. Kami titip anak kami ya, kalau suatu hari kamu menyusul, rumah kami selalu terbuka. Ini...” Pak Adrian mengeluarkan dompetnya, mengambil satu kartu nama, dan menyerahkannya pada Arga. “Kalau kamu sudah siap, datanglah. Kami akan menyambut kamu seperti anak sendiri.”
Arga menerima kartu itu dengan tangan gemetar. Ia menatap Pak Adrian dan Bu Linda penuh hormat, lalu membungkuk dan mencium tangan mereka satu per satu.
“Terima kasih, Pak… Bu. Maafkan saya kalau saya banyak kekurangan…”
Bu Linda menepuk pundaknya pelan.
“Kamu kuat, Nak. Tuhan pasti tunjukkan jalan-Nya.”
Sementara itu, Tere hanya berdiri di samping mobil, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia tak mau berpamitan. Hatinya terlalu keras, terlalu takut kalau pamitan hanya akan melemahkan tekadnya.
Pak Adrian menggeleng pelan melihat sikap anak gadisnya. Tapi ia tak berkata apa-apa lagi. Ia memilih diam, biarkan waktu yang berbicara.
Sebelum beranjak, Pak Adrian berkata pada Arga, “Kami akan berangkat dulu. Jaga dirimu baik-baik, Arga. Semoga kita bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.”
Arga hanya mengangguk.
“Asisten Bapak sudah saya minta mengurus mobil Tere yang mogok. Mobil itu nanti dibawa ke Jakarta, biar nggak merepotkan Arga di sini,” tambah Bu Linda sebelum masuk ke dalam mobil.
Mobil itu akhirnya melaju pelan meninggalkan halaman rumah Arga. Debu tipis mengepul di jalanan tanah itu. Arga berdiri di depan rumah, menatap mobil yang kian menjauh, membawa serta Tere, perempuan yang kini sah menjadi istrinya, namun menolak kehadirannya.
Angin berhembus pelan, seolah menjadi saksi bisu perpisahan yang begitu menyesakkan dada. Dalam hati Arga berdoa, “Ya Allah… kuatkan aku. Jika ini jalan-Mu, aku akan sabar menjalaninya.”
Sementara di dalam mobil, Tere menatap keluar jendela. Hatinya berkecamuk. Wajah Arga, senyumnya yang tulus, tutur katanya yang sopan, semua terbayang di benaknya. Tapi ia menepis semua itu. Baginya, yang terpenting adalah kembali ke hidupnya, ke Rio, dan ke rencana masa depan yang telah ia susun rapih di kepalanya.
Jakarta semakin dekat, namun hati Tere terasa semakin jauh dari dirinya sendiri.