Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
Kata-kata itu bergema di kepala Nala sepanjang malam. "Kurang ajar." Bukan karena ia tak terbiasa dengan hinaan, tapi karena kali ini yang mengucapkannya adalah salah satu guru favoritnya. Pak Tegar. Guru yang selama ini ia pikir berbeda. Guru yang ia harapkan bisa mengerti.
Pagi itu, sekolah seperti medan perang. Tatapan aneh menyambut Nala dan Raka saat mereka melangkah ke halaman sekolah. Beberapa siswa hanya diam, beberapa bisik-bisik, dan beberapa lainnya langsung menjauh seolah mereka pembawa wabah.
"Jangan pedulikan," bisik Raka pelan sambil melangkah di samping Nala. Tapi raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sama gelisahnya.
Di kelas, suasana lebih mencekam. Saat Pak Tegar masuk untuk mengajar Sosiologi, seluruh kelas mendadak diam. Semua menunggu bagaimana reaksinya setelah video potongan podcast mereka viral dan disebut-sebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap sistem pendidikan.
Pak Tegar menatap Nala dan Raka lama sekali. Lalu ia menghela napas, membuka bukunya, dan tanpa memperhatikan mereka berkata, "Kita mulai dari halaman 117."
Tak ada sapaan. Tak ada sarkasme. Tapi hening itu lebih menyakitkan.
Selepas jam pelajaran, Nala memberanikan diri menghampiri Pak Tegar di ruang guru. Raka ingin ikut, tapi Nala menggeleng. "Biar aku sendiri."
Pak Tegar tengah duduk sambil menulis sesuatu ketika Nala mengetuk pelan pintu.
"Pak, boleh bicara sebentar?"
Pak Tegar menoleh. Pandangannya datar. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Nala?"
"Saya hanya ingin... menjelaskan. Atau mungkin, minta maaf kalau apa yang kami sampaikan kemarin dianggap... keterlaluan."
Pak Tegar tertawa singkat. Bukan tawa geli, tapi getir. "Keterlaluan? Kalian bilang sekolah ini penjara. Kalian bilang kami tak pernah mendengar. Kamu tahu berapa banyak orang tua yang menelepon sekolah kemarin? Berapa banyak guru yang dipanggil kepala sekolah karena podcast kalian?"
"Tapi yang kami sampaikan itu nyata, Pak. Itu keresahan kami, bukan kebohongan."
Pak Tegar berdiri, membungkuk sedikit ke arah Nala. Suaranya ditahan agar tidak terdengar guru lain, tapi jelas penuh emosi. "Dunia ini tidak sekadar tentang keresahanmu, Nala. Dunia ini tentang kompromi. Tentang tahu tempat."
"Tapi kalau kita terus diam, siapa yang akan bicara, Pak?"
Pak Tegar memejamkan mata sejenak. "Kamu terlalu idealis. Dan dalam dunia nyata, idealisme itu mahal. Kalian pikir kalian sedang berjuang? Tidak. Kalian sedang membakar jembatan."
Nala menatapnya lekat. "Kalau jembatannya membawa kami ke jurang, lebih baik dibakar, Pak."
Pak Tegar menatap Nala tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk kembali, mengambil bukunya, dan berkata, "Kamu boleh pergi."
Nala keluar dengan dada bergemuruh. Ia ingin marah, ingin menangis, tapi juga bangga karena tak mundur.
Di lorong, ia bertemu Juno.
"Kamu oke?" tanya Juno.
Nala mengangguk. "Enggak, tapi aku akan baik-baik saja."
Malam harinya, mereka mengadakan pertemuan podcast lagi. Kali ini dengan seluruh kru hadir: Raka, Nala, Dita, Juno, dan bahkan beberapa teman lain yang mulai mendukung diam-diam.
"Mereka sebut kita kurang ajar," kata Raka membuka diskusi.
"Karena mereka tidak siap mendengar kenyataan," balas Dita.
"Tapi jujur aja, aku juga takut. Takut kalau semua ini malah bikin kita dikeluarkan," ujar Juno.
"Mungkin itu harga dari kebenaran," kata Nala lirih.
Raka mengangguk. "Tapi aku rasa, kita harus terus. Kali ini bukan cuma soal sekolah. Tapi soal siapa kita sebenarnya."
Mereka memutuskan untuk membuat episode spesial. Judulnya: Mereka Bilang Kita Kurang Ajar.
Isinya adalah kumpulan testimoni anonim dari siswa-siswa lain yang mengirimkan keresahan mereka lewat pesan pribadi. Nala membacakannya satu per satu, diselingi suara musik pelan dan sunyi.
Ada yang bercerita tentang tekanan nilai, kekerasan verbal dari guru, perundungan yang diabaikan, hingga rasa lelah tak dianggap manusia.
Saat episode itu tayang, dampaknya lebih besar dari sebelumnya. Banyak siswa mulai membagikan podcast itu secara diam-diam. Beberapa guru mulai bertanya. Bahkan ada satu guru muda yang mendatangi mereka dan berkata, "Saya dengar podcast kalian. Terima kasih sudah berani bicara."
Tapi bersamaan dengan itu, tekanan juga semakin besar. Surat peringatan resmi turun. Kepala sekolah memanggil orang tua mereka. Pihak dinas mulai mencampuri. Dan kata-kata itu kurang ajar mulai menjadi label yang menempel kuat pada nama mereka.
Namun, di balik segala tekanan itu, satu hal menjadi jelas: mereka sedang membuat sejarah kecil. Bukan karena mereka ingin dikenal, tapi karena mereka tak lagi tahan menjadi generasi yang gagal paham.
Dan mungkin, memang sudah waktunya sekolah tidak lagi hanya tentang diam dan patuh. Tapi tentang suara. Tentang keberanian. Tentang tahu apa yang benar, dan memilih untuk tidak pura-pura.
Karena jika memperjuangkan kejujuran disebut kurang ajar, maka mereka akan menerimanya dengan kepala tegak.