- 𝗨𝗽𝗱𝗮𝘁𝗲 𝗦𝗲𝘁𝗶𝗮𝗽 𝗛𝗮𝗿𝗶 -
Ria merupakan seorang mahasiswi yang dulunya pernah memiliki kedekatan dengan seorang pria bernama Ryan di dunia maya. Hubungan mereka awalnya mulus dan baik-baik saja, tapi tanpa ada tanda-tanda keretakan berakhir dengan menghilang satu sama lain. Sampai Ryan menghubungi kembali dan ingin memulai hubungan yang nyata.
Akankah Ria menerima atau menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nelki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang ke Rumah
Keesokan paginya, Fina berangkat pulang ke rumahnya dengan motor kesayangannya. Aku mengamati kepergian, makin jauh dan tak terlihat lagi. Agak sedih sih ditinggal temen, tapi aku sendiri juga mau pulang hari ini. Aku masuk ke kost dan berbaring di tempat tidur. Entah apa yang terjadi kantuk pun datang. Aku mungkin tidak akan bangun sampai suara ponsel membangunkanku.
"Ryan?" kataku sambil mengernyitkan dahi setelah membaca nama pemanggil.
Aku mengangkatnya dengan keadaan belum sadar sepenuhnya. Suara dari seberang memintaku untuk ke luar. Aku hanya mengiyakan dan bergegas ke depan. Benar saja di depan terparkir mobilnya. Kaca jendela diturunkan, Ryan melambaikan tangan ke arahku. Sontak aku terkejut dan bertanya, "Ada apa kok ke sini?"
"Katanya mau dianterin pulang," jawabnya.
Aku mulai sadar dan berteriak dengan panik, "Tunggu! Tunggu bentar aku ambil tas sama kunci pintu dulu!"
Ryan yang melihat tingkahku tertawa dan mematikan ponsel. Teriakkan itu cukup keras membuat telinganya berdengung sebentar. Dia memerhatikanku yang membawa keluar sebuah tas besar dan kecil. Dia turun dari mobil menghampiri diriku yang tengah mengunci pintu. Dengan sigap tanpa diminta olehku dia membawa tas besar itu ke bagasi. Padahal itu cukup berat.
Ryan mengisyaratkan padaku untuk segera masuk ke mobil. Dia membuka salah satu pintu mobil dan naik di kursi kemudi. Aku segera menyusulnya memasuki mobil. Segera setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Ryan segera melajukan mobilnya. Jalanan terlihat cukup ramai, mobil motor berlalu-lalang bahkan saling menyalip.
"Kamu tadi ngapain kok aku telpon ga diangkat?" tanya Ryan.
"Maaf, tadi pagi temen sebelah dah balik. Jadi karena ga ada temen yang diajak ngobrol aku ke kamar terus ketiduran," jelasku.
"Oh... " tanggapan Ryan yang tak menunjukkan masalah.
Ryan yang menanggapi dengan kata oh panjang pasti sedang tidak senang. Kali ini giliranku mencoba memberikan kompensasi padanya.
"Kamu mau gimana?" tayaku.
"Maksud kamu apa?" katanya yang belum menyadari apa yang sedang dibicarakan.
"Emangnya kamu ga marah?"
Ryan tampak berpikir sebentar karena aku sebelumnya memintanya berpendapat. Setelah paham alurnya, dia dengan cepat merubah ekspresi dan nada suaranya.
"Aku marah pake banget," katanya dengan pura-pura.
"Ya, gimana mau maafin aku?"
"Kenalin aku ke ortu kamu aja gimana," katanya mengambil kesempatan untuk dekat dengan orang tuaku.
Aku menghela napas berat lalu mengiyakan permintaannya. Dia tampat senang bukan kepalang. Hal itu membuatku sedikit jengkel. Apa aku baru saja masuk ke jebakan batman?
"Tapi sebagai teman ya," kataku kemudian.
Bukan Ryan namanya kalau belum bisa mendapatkan apa yang di mau. Karena kali ini yang diinginkan adalah orang, dia mencoba bersabar. Segera dia memamerkan senyumnya pada diriku seolah tidak masalah dengan pengaturanku. Melihatnya bertingkah begitu aku makin yakin ada tujuan tersembunyi dari mengenal orang tuaku.
"Jadi karena mau ketemu orang tuamu, meskipun aku sekarang ini cuma sebagai temenmu. Apa yang perlu aku bawa buat kunjungan pertama ini?"
"Terserah kamu itu urusanmu," kataku cuek.
Lampu merah menyala, kendaraan berhenti bergerak termasuk mobil yang dinaiki olehku. Selang waktu sebelum lampu lalu lintas berganti warna, Ryan tampak mengetik di pencarian google. Di sana dia mengetik apa yang harus di bawa untuk kunjungan pertama ke rumah orang tua lawan jenis?
Aku membelalakkan mata. Aku tak salah baca kan? Pikiranku kacau. Bagaimana bisa Ryan yang dianggap seorang teman mencari petunjuk menjadi menantu yang baik di google.
"Kalo kamu ngetiknya begitu nanti yang muncul malah kunjungan sebagai calon menantu bukan temen," kataku dengan ketus.
"Ga papa, ga jadi masalah juga kan mau itu kunjungan pertama sebagai calon menantu ataupun teman?" Ryan mengatakan dengan percaya diri.
Aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa lagi tentang dia yang kukuh dengan pemikiran itu. Deretan tulisan di ponselnya, dibaca dengan penuh penghayatan seolah takut melakukan sedikit saja kesalahan. "Ini hanya kunjungan bukan ujian," pikirku yang mulai resah dengan apa yang akan terjadi nanti.
Lampu merah telah berganti warna hijau, kendaraan kembali bergerak menuju tujuan masing-masing. Ryan juga melajukan mobilnya kembali melintasi kerumunan kendaraan di jalan besar. Ngomong-ngomong dia sudah membaca garis besar apa yang bisa dibawa ke kunjungan rumahku. Sesekali dia melihat kiri kanan dan kembali menatap depan. Tidak ada satu hal yang bisa menarik minatnya. Akhirnya dia bertanya padaku mengenai makanan.
"Orang tuamu suka makanan apa?" tanyanya.
"Orang tuaku dah tua jangan yang terlalu manis," kataku.
"Kalo gitu bagusnya beli apa nih?" tanyanya meminta arahan.
"Antara buah-buahan sama sembako. Pilih aja sendiri," kataku memberikan pilihan.
"Aku ga bisa milih salah satunya. Kalo dua-duanya nanti jadi masalah ga?" tanyanya polos.
"Kamu pernah punya temen cewek kan. Biasanya kalo dateng bawain apa?" kataku.
"Aku? Temenku banyak, tapi cowok semua. Adapun kalo cewek emang ada, tapi karena mereka dah punya pacar makanya ga pernah main ke rumahnya. Bisa sih ke sana, tapi harus rame-rame."
Penjelasan yang begitu panjang. Semakin lama aku semakin malas menanggapi orang satu ini. Apakah seorang jenius benar-benar kekuatan emosinya? Bahkan hal bersosialisasi saja dengan sederhana seperti kenalan masa ga bisa.
Sejujurnya di dalam hati Ryan sangat khawatir. Dia takut merusak citra pertamanya bertemu orang tuaku. Jika kali ini gagal mungkin dia udah ga bisa deketin aku lagi. Konsekuensi sebesar ini mana mungkin dia tak hati-hati. Akhirnya dia berencana mencari aman dengan membeli buah dan sembako dalam perjalanan ke tempatku.
...****************...
Melewati gapura desa menandakan rumahku semakin dekat, tapi seketika aku menyadari kesalahanku.
"Kamu tau rumahku di mana?" tanyaku hati-hati.
"Iya," jawabnya singkat dan santai.
Aku kaget dong. Masa iya aku baru sadar kalo dari tadi dia ga nanya alamat rumahku di mana? Bahkan tanpa perlu navigasi dari google maps dia sudah bisa sampai sini. Aku semakin curiga dengannya.
"Kamu tau dari siapa?" tanyaku dengan serius.
"Aku cari tau sendiri. Aku masih inget dulu kamu pernah bilang dari Gunungkidul. Jadi aku tinggal cari aja kamu," terangnya.
"Temenku banyak dan tanpa diduga ada yang sadar kalo kamu pernah upload foto keluarga ada akun mereka. Nah dari situ aku mulai telusuri beberapa lokasi di foto satu-satu. Sampai akhirnya ketemu deh, tapi belum pernah berkunjung," katanya panjang lebar.
Aku terkejut bukan main. Berapa banyak waktu yang digunakan untuk menemukan lokasi rumahku? Kalau dipikirkan tentu tidak singkat.
"Berapa lama nyarinya?"
"Ga lama kok setelah aku lulus," jawabnya sambil cengengesan.
Aku mulai curiga dengan cerita yang baru saja dikarang dengan baik. Hampir saja aku jatuh dalam cerita palsu.
"Jujur sekarang! Gimana kamu nemuin rumahku?" kataku sambil berteriak.
Ryan melihat diriku marah yang menandakan aku tidak percaya. Dia pun berkata jujur, "Dari foto yang kamu di media sosial aku cari hacker buat nemuin lokasinya."
"Apa?" pekikku.
"Maaf ya keliatan banget ga sopannya," katanya mengakui kesalahan.
Aku meredam amarahku karena aku sudah sampai di rumah. Aku turun lebih dahulu saat mobil berhenti. Ryan juga turun dan membuka bagasi mengeluarkan barang. Saat dia hendak mengambil tas besarku aku menampik tangannya dan berkata tegas, "Aku bawa barangku sendiri. Kamu juga."
Aku membawa tas besar itu masuk ke rumah setelah mengucapkan salam. Ibuku bergegas ke pintu depan begitu mendengar salamku. Aku berpapasan dengannya. Aku mencium punggung tangannya. Aku berlalu meninggalkannya menuju kamar untuk meletakkan tas. Ibuku masih berdiri di posisi. Dia menjawab salam yang disuarakan oleh Ryan. Ryan berjalan mendekati ibuku dengan kedua tangan menenteng buah dan sembako yang dibelinya. Dia dengan sopan berkata, "Ibu saya temennya ini ada sedikit untuk ibu."
"Ibu ini berat. Saya aja ya yang bawa masuk. Mau taruh di mana mohon ibu bimbing?"
Ibu yang merasa pemuda di depannya sangat sopan dan pengertian pada orang tua. Dia tidak ragu mengikuti apa yang dikatakannya. Segera ibu membimbing Ryan ke dapur dan memintanya meletakkan di meja.
"Mau minum dulu?" tanya Ibuku ramah.
"Boleh bu," jawab Ryan.
"Ya, udah ke ruang tamu dulu ya nanti minumannya dianter ke depan kok," kata ibuku.
Ryan segera menurut apa yang dikatakan ibuku. Dia ke ruang tamu dan duduk dengan tenang di sana. Keliatan biasa saja tampangnya, tapi dalamnya benar-benar khawatir. Keringatnya saja sampai membasahi telapak tangannya. Duh harap maklum kan ketemu sama camer.