Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Malam itu, saat Amira telah benar-benar tertidur di pelukan Arif, ponsel di atas malas Arif bergetar pelan. Arif membuka matanya, menahan napas, berusaha bergerak sebaik mungkin agar tidak membangunkan Amira yang masih memeluknya erat.
Dengan perlahan, dan dengan hati-hati, ia mulai meraih ponsel itu. Layarnya menyala menampilkan satu nama: Livia.
Arif menatap nama itu dengan perasaan rumit. Jemarinya sempat ragu, namun akhirnya ia hanya menekan tombol silent, membiarkan ponsel itu berhenti bergetar. Ia tidak ingin merusak ketenangan malam itu, apalagi ketenangan yang baru saja mulai dirasakan Amira.
Namun ternyata, tidak hanya berhenti sampai di situ.
Keesokan paginya, saat Arif baru saja selesai sarapan, sebuah pesan masuk.
"Mas Arif, aku ingin bicara, tolong hubungi aku saat Amira tidak ada."
Arif mematung di meja makan, Ia membaca pesan itu dengan berulang-ulang, merasa seolah ada beban berat yang menindih dadanya. Ia tahu, jika ia membiarkan Livia terus masuk ke kehidupannya, kebahagiaannya dengan Amira bisa runtuh kapan saja.
Dari dapur, Amira muncul sambil tersenyum, menggendong Maira yang baru bangun.
"Mas, kamu kenapa bengong?" tanya Amira sambil tersenyum lembut.
Arif cepat-cepat menyimpan ponselnya ke dalam saku, berusaha menutupi kegelisahannya dengan senyum tipis. "Nggak, cuma baca berita aja," bohongnya.
Padahal, hatinya tidak tenang sama sekali.
Dalam diam, Arif tahu cepat atau lambat, ia harus memilih: tetap jujur pada Amira, atau membiarkan Livia perlahan menghancurkan apa yang dengan susah payah ia bangun bersama Amira.
Namun, Arif sama sekali tidak menghubungi Iivia, karena dia takut Amira akan mengetahuinya.
******************************
Livia, yang tiba-tiba mencegat Arif di jalan, tampak gugup namun penuh tekad. Arif, yang sedang berjalan pulang setelah selesai bekerja, terkejut saat mendapati Livia berdiri di depan mobilnya, memblokir jalan. Dengan wajah serius, Livia berusaha menahan napas.
"Arif, kita perlu bicara," ucapnya, suaranya bergetar.
Arif menurunkan kaca mobilnya, memandang Livia dengan penuh kebingung. "Ada apa, Livia? Kenapa kamu mencegat aku seperti ini?"
Livia menatap Arif, matanya penuh dengan kecemasan. "Aku tahu tentang Amira," katanya, kemudian terdiam sejenak, seolah menunggu reaksi dari Arif.
Arif terkejut, dan untuk sesaat, wajahnya berubah serius. "Apa maksudmu?"
Livia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku tahu kamu sudah mulai dekat dengan Amira. Dan aku ingin memberitahumu, bahwa aku tidak akan membiarkan apa pun merusak rencanaku."
Arif semakin bingung, tetapi ia bisa merasakan ketegangan di udara. "Rencanamu? Apa yang kamu maksud?"
Livia menyeringai tipis, namun senyumnya terasa dingin. "Aku hanya ingin kamu tahu, Arif. Amira bukanlah orang yang bisa kamu percayai begitu saja."
Arif terdiam, hatinya mulai terasa berat. Livia melangkah mundur sedikit, memberi ruang baginya untuk melanjutkan perjalanannya. "Berhati-hatilah, Arif. Kadang-kadang, kita terlalu mudah tertipu."
Dengan itu, Livia berbalik dan berjalan menjauh. Arif memandangi punggungnya dengan perasaan campur aduk, semakin bingung dan terkejut dengan kata-kata Livia
Arif memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Kata-kata Livia berputar-putar di kepalanya, menimbulkan kegelisahan yang tak bisa ia abaikan. Namun nalurinya berkata, ada sesuatu yang tidak beres bukan pada Amira, tapi pada Livia.
Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya malam itu. Mesin mobil dinyalakan kembali, dan Arif melajukan kendaraannya perlahan, meninggalkan tempat itu. Namun jauh di dalam hatinya, ada keresahan kecil yang mulai tumbuh.
Di tempat lain, Livia mengamati kepergian mobil Arif dari balik bayang-bayang pohon. Senyum licik mengembang di wajahnya. Ia menggenggam ponsel erat-erat, seolah bersiap untuk langkah berikutnya.
"Aku tidak akan membiarkanmu bahagia dengan mudah, Arif," bisiknya pelan. "Tidak setelah semua yang terjadi."
Sesampainya di rumah, Arif mendapati Amira sedang menyiapkan makan malam bersama Maira. Aroma masakan memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang membuat dada Arif terasa sesak — bukan karena bahagia, melainkan karena rasa bersalah yang samar.
Amira menyambutnya dengan senyuman manis. "Kamu capek, ya? Sini, makan dulu."
Arif hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyuman tipis. Ia menatap Amira, yang kini tampak begitu nyaman di rumah ini, begitu tulus mendekati dirinya dan Maira. Sekilas, kata-kata Livia kembali terngiang — tapi Arif buru-buru mengusirnya.
Aku percaya pada apa yang kulihat, batinnya.
Namun Arif tak tahu, badai kecil yang ditabur Livia malam ini baru permulaan. Rencana licik Livia untuk mengacaukan hubungan Arif dan Amira perlahan mulai berjalan.
Malam itu, suasana rumah terasa begitu tenang. Setelah makan malam sederhana yang penuh canda kecil antara Amira dan Maira, mereka bertiga duduk santai di ruang keluarga. Maira, dengan boneka kecil di pangkuannya, sesekali melirik ke arah Amira, seolah mencari perhatian. Amira tersenyum, lalu mengelus lembut rambut gadis kecil itu.
"Besok mau dibuatkan bekal apa, Maira?" tanya Amira dengan suara hangat.
Maira berpikir sejenak, lalu menjawab polos, "Mau nasi goreng buatan Mama Amira."
Arif, yang mendengarnya, spontan tertawa kecil. Hatinya menghangat melihat kedekatan mereka yang semakin alami. Ia bersandar santai di sofa, membiarkan pemandangan itu memenuhi hatinya Amira yang perlahan menjadi bagian dari hidupnya, tanpa paksaan.
Amira tersenyum manis. "Oke, nanti mama Amira buatkan nasi goreng spesial, ya."
Maira bertepuk tangan kecil, senang.
Arif memandang Amira tanpa sadar, matanya melembut. Untuk sesaat, kekhawatiran yang tadi memenuhi pikirannya menguap begitu saja. Ia tahu, Amira bukan orang yang mudah dipengaruhi oleh fitnah. Hatinya sendiri bisa merasakan ketulusan gadis itu.
Tak lama kemudian, Maira menguap lebar. Amira segera mengangkatnya ke pangkuan, membisikkan, "Ayo, kita tidur, Sayang."
"Papa, mama Amira, bacain dongeng dulu..." pintanya dengan suara mengantuk.
Arif tertawa kecil, berdiri, lalu menggandeng tangan Maira. "Ayo kita bacain. Biar tidurmu makin nyenyak."
Malam itu, di bawah lampu kamar yang temaram, Arif dan Amira membacakan dongeng bersama untuk Maira. Suara mereka bergantian, penuh kehangatan, membuat gadis kecil itu tersenyum dalam kantuknya. Sampai akhirnya Maira tertidur lelap di antara mereka.
Arif dan Amira bertatapan sesaat. Tak ada kata yang terucap, hanya tatapan panjang penuh arti. Seolah tanpa sadar, jarak di antara mereka semakin tipis. Hati mereka berbicara dalam diam perlahan, tapi pasti.
Dalam keheningan malam itu, Arif merasa kembali setelah sekian lama rumah ini benar benar terasa hidup.
Setelah Maira terlelap, Amira dan Arif duduk di teras, ditemani secangkir teh hangat. Hening mengisi ruang di antara mereka, tapi tak ada rasa canggung. Perlahan, Arif bercerita tentang masa kecil Maira, membuat Amira tersenyum. Malam itu, kebersamaan mereka terasa semakin dalam dan akrab. Rona kebahagiaan terpancar dari wajah Amira dan Arif.