Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakak yang penuh misteri ( pov 3 )
Di dalam kamar yang remang dan berdebu, seorang gadis berambut panjang berwarna lavender, terikat dalam ekor kuda, duduk di tepi jendela yang terbuka lebar. Cahaya bulan samar membelai wajahnya yang pucat, menciptakan kilauan lembut di helaian rambut yang berkilau. Sorot matanya menyimpan keindahan sekaligus kesedihan, memantulkan keagungan langit bertabur bintang.
Ia menatap langit dengan hati yang gelisah, seakan bintang-bintang di atas menyimpan jawaban yang selama ini dicarinya. Air mata perlahan menetes, jatuh membasahi jemarinya yang erat menggenggam sebuah topi tentara.
Rindu yang mencengkeram jiwanya bagaikan sembilu, mengiris perlahan hingga menyisakan luka yang hanya bisa sembuh saat ia dapat bertemu kembali dengan sosok yang dirindukannya.
"Lena..." Sebuah suara lembut terdengar dari balik pintu yang terbuka pelan. "Ini sudah larut malam. Kenapa kau masih di sini?"
Lena buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipinya, enggan memperlihatkan kesedihannya pada sang ibu. "Aku cuma ingin melihat bintang di sini, Bu."
Ibunya menghela napas kecil. "Baiklah, tapi jangan begadang. Besok kau harus berangkat pagi ke akademi."
Lena hanya mengangguk, membiarkan kedua matanya kembali larut dalam keindahan langit malam. Di sanalah, dalam keheningan yang menemani, ia kembali membiarkan pikirannya tenggelam dalam rindu yang tak bertepi.
Entah dorongan apa yang menyusup dalam benaknya, ia bangkit dan berjalan ke lemari di sudut ruangan. Tangannya membuka pintu kayu itu, memperlihatkan deretan pakaian yang tergantung rapi. Namun, bukan itu yang dicarinya. Pandangannya terpaku pada satu seragam berwarna hijau tua yang menggantung di sana. Sebuah seragam yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Jari-jarinya menyusuri kain kokoh itu, hingga akhirnya berhenti di sebuah lencana berpangkat kapten yang terjahit rapi di kerah dan lengan.
" Bukankah pangkat terakhir Kakak adalah Sersan Dua? Tapi kenapa di sini pangkatnya Kapten? " gumamnya lirih.
Rasa penasaran menggiringnya untuk menggeledah lebih jauh. Tangannya membuka laci yang tidak pernah ia buka dengan hati-hati, hingga ia menemukan sebuah peti kecil dengan ukiran emas. Kebetulan, kuncinya tergeletak di samping.
Lena memutar kunci itu, lalu membuka penutup peti dengan hati-hati. Detik berikutnya, kedua matanya membelalak.
Sebuah lencana kebangsawanan berkilauan di dalamnya, ditemani selembar surat yang ditulis dengan tinta emas.
" I-ini... lencana kebangsawanan? " bisiknya, kaget sekaligus bingung.
Surat itu mengukuhkan penghargaan kebangsawanan yang diberikan kepada Yoha, atas jasanya kepada Kerajaan Magolia.
Lena terpaku. Rasa heran memenuhi benaknya. Sosok yang selama ini dirindukannya, kakaknya, menyimpan begitu banyak misteri.
Ia ingin bertanya, ingin mendapatkan jawaban. Dengan langkah tergesa, ia berlari menuruni tangga, berniat membangunkan kedua orang tuanya. Namun, saat melihat mereka tertidur pulas, niat itu ia urungkan.
Dengan berat hati, ia kembali ke kamar, mengembalikan barang-barang itu ke tempatnya semula. Namun, tidak dengan seragam dan lencana. Ia memeluk kedua benda itu erat, membiarkan dirinya terlelap dengan harapan dapat menjumpai kakaknya dalam mimpi.
***
Keesokan paginya, Lena berangkat ke akademi. Semenjak penglihatannya pulih, ia melanjutkan studinya di Akademi Kedokteran Magolia. Sebagai gadis yang dikaruniai kecantikan dan kepintaran, ia menjadi sosok yang populer di kalangan siswa akademi. Namun, kepopuleran itu juga mendatangkan kecemburuan dari sebagian orang.
Di kelas, Lena sahabat bernama Erika. Putri seorang perwira. Hari ini, ia berencana meminta bantuan Erika untuk mencari tahu lebih banyak tentang kakaknya.
" Pagi... " sapa Lena, melangkah masuk ke dalam kelas.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Erika sudah duduk menunggu.
" Tumben terlambat. Biasanya kau datang paling awal, " ucap Erika dengan nada santai.
" Aku begadang semalam, " jawab Lena, meletakkan tasnya di atas meja.
" Memikirkan kakakmu lagi? " Tebak Erika, melirik sinis. Wajar saja. Hampir setiap satu kelas, Lena membicarakan kakaknya.
Lena tidak membantah. Ia hanya mengangguk pelan lalu berkata, " Aku butuh bantuanmu hari ini. "
" Meminta ayahku mencarikan foto kakakmu? " Erika kembali menebak. Ia lalu mendekatkan kursinya ke Lena. " Sudah kubilang, hanya dengan nama panggilan saja, sulit mencarinya. Magolia punya banyak prajurit. "
" Tidak... " Bantah Lena. Ia merogoh tasnya, lalu mengeluarkan seragam dengan pangkat kapten. " Aku membawa ini. "
Erika yang awalnya tampak bosan kini terlihat lebih tertarik. Ia menatap seragam itu dengan penuh minat. " Baiklah. Kalau ada bukti ini, mungkin ayahku bisa membantu. Pulang sekolah kita ke markas besar militer. "
Mendengar itu, Lena langsung tersenyum lebar. Rasa bahagia terpancar di wajahnya saat ia memeluk Erika erat, berterima kasih dengan tulus.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu hal yang selalu menghantuinya.
Dulu, ia membenci kakaknya. Yoha adalah sosok yang selalu absen dari kehidupannya-melewatkan makan malam dan festival musim semi, tidak menepati janji, bahkan sekarang menghilang.
Namun, semuanya berubah ketika seorang teman kakaknya datang dan membawakan ramuan yang menyembuhkan matanya. Sejak saat itu, kebenciannya luruh.
Kini, semakin ia menggali masa lalu Yoha, semakin banyak misteri yang muncul.
***
Langit sore menyala jingga ketika Lena dan Erika melangkah melewati gerbang megah Markas Besar Angkatan Darat Magolia. Bangunan megah nan kokoh yang menjulang dengan bendera kerajaan berkibar di puncaknya memancarkan wibawa yang tak tergoyahkan.
Di dalamnya, lorong-lorong batu yang dingin dan pencahayaan yang samar menciptakan suasana kaku dan penuh disiplin. Para prajurit berlalu-lalang dengan langkah tegas, membawa serta aura ketegangan yang tak kasatmata.
Bagi seorang gadis seperti Lena, tempat ini terasa begitu asing, seakan-akan ia memasuki dunia yang bukan miliknya.
" Ayahku bekerja di bagian staf khusus. Dia mengurus dokumen-dokumen para perwira. Harusnya kalau ada seragam ini, dia tahu, " ujar Erika sembari membawa sekotak makanan yang sengaja mereka beli sebagai alasan untuk bisa masuk ke dalam markas tanpa kecurigaan.
Sesuai prosedur, mereka diperiksa sebelum diizinkan memasuki ruangan Mayor Liam—ayah Erika, seorang pria bertubuh kekar dengan mata tajam yang mengisyaratkan pengalaman panjang di medan perang.
" Erika? " Mayor Liam mengangkat alisnya saat melihat putrinya datang bersama Lena. " Tumben sekali kau datang membawa teman. "
" Ayah, aku membawakan makanan untukmu. " Jawab Erika riang, meletakkan bungkusan itu di atas meja kayu besar yang dipenuhi tumpukan dokumen.
Mayor Liam tersenyum tipis sebelum mengalihkan pandangannya kepada Lena. " Lena Cooper, ya? Erika sering menceritakan tentangmu dan aku juga kenal ayahmu. Dulu, dialah yang membantu mengeluarkan peluru dari kakiku. "
Lena membungkuk dengan sopan. " Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan Anda, Tuan Mayor. "
" Baiklah, kalian pasti tidak datang hanya untuk membawakan makanan. Apa ada sesuatu yang ingin kalian tanyakan? "
Lena mengangguk, lalu mengeluarkan seragam militer yang ditemukan di lemari kakaknya. " Aku ingin mencari informasi tentang kakakku. Aku dengar kalau markas besar memiliki arsip foto setiap perwira. Jika benar, bisakah Anda membantu menemukan fotonya? "
Mayor Liam mengamati seragam itu dengan saksama. Tatapannya berubah sedikit serius saat melihat lencana berpangkat kapten yang terjahit rapi di sana.
" Kapten, ya? " Gumamnya, sebelum beranjak ke rak besar di sudut ruangan.
Ia menarik keluar sebuah buku tebal berisi daftar foto para perwira lalu menyodorkan pada Lena.
" Jika dia seorang kapten, harusnya namanya ada di sini. "
Lena dengan penuh harapan membolak-balik halaman demi halaman. Namun, semakin lama ia mencari, semakin dalam rasa frustrasinya. Hingga lembar terakhir, nama Yoha tak juga ditemukan.
" Kenapa... tidak ada? " Bisiknya, wajahnya memucat.
" Apakah kau yakin pangkat terakhirnya kapten? " Tanya Mayor Liam.
Lena menelan ludah. " Ibuku bilang sebelumnya dia berpangkat Sersan Dua. "
Kata-kata itu membuat Mayor Liam dan Erika saling bertukar pandang. Ada sesuatu yang terasa ganjil di sana.
" Sersan Dua tidak mungkin melompat langsung ke pangkat Kapten, " ujar Mayor Liam dengan nada serius. " Itu bukan jalur kenaikan pangkat yang normal. "
" Tapi ini seragamnya! " Lena bersikeras, menunjukkan bukti di tangannya.
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan sebelum akhirnya Lena kembali merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah peti kecil berukiran emas. Ia membuka penutupnya dan memperlihatkan sebuah lencana kebangsawanan yang berkilauan.
Saat melihatnya, ekspresi Mayor Liam berubah drastis.
" Lencana kebangsawanan? " Suaranya terdengar berat, nyaris berbisik.
Erika ikut terkejut. " Kakakmu mendapat lencana itu? "
" Penghargaan ini diberikan kepada kakakku atas jasanya kepada Kerajaan Magolia, " Lena membaca isi surat bertinta emas yang menyertai lencana itu. " Tuan Mayor, apakah Anda tahu sesuatu tentang ini? "
Mayor Liam menarik napas dalam. Ia berjalan ke arah rak lainnya dan mengeluarkan buku yang lebih tipis.
" Awal musim dingin lalu, istana memberikan gelar kehormatan kepada lima prajurit, " katanya sambil membalik halaman. " Mereka bukan prajurit biasa. Mereka adalah anggota pasukan khusus yang berada langsung di bawah perintah Baginda Ratu. Tapi harusnya warna pangkat di seragam yang kau berwarna ungu sebagai pangkat kehormatan bukan merah. "
Lena menegang. " Jadi... kakakku adalah salah satu dari mereka? "
" Mungkin dan bisa saja seragam yang kau bawa bisa dibilang seragam sementara tapi pangkatnya memang adalah kapten. " Jawab Mayor Liam. " Jika benar, maka ia bukan hanya sekadar prajurit biasa. Dari sekian banyak pasukan khusus di Magolia, ada sebelas unit yang berbeda, dan hanya lima yang benar-benar memiliki otoritas tinggi. "
Erika menatap ayahnya dengan penuh selidik. " Kalau begitu, kenapa ayah ragu? "
Mayor Liam menghela napas panjang, lalu berjalan ke lemari besi di pojok ruangan. Setelah membuka kunci dengan hati-hati, ia mengeluarkan buku lain yang lebih tua dan tebal.
" Jika kakakmu memang bagian dari pasukan khusus, maka ia pasti ada dalam arsip rahasia ini. "
Ia membuka lembar demi lembar dengan teliti, hingga akhirnya menarik keluar selembar foto. Namun, saat Lena menerimanya, hatinya mencelos. Semua wajah dalam foto hitam putih itu buram.
" Kenapa... wajah mereka tidak terlihat? " Tanya Lena, bingung.
" Karena identitas mereka dirahasiakan, " jawab Mayor Liam pelan. " Tapi, kalau kau melihat lebih jeli, mungkin bisa mengenali sesuatu."
Lena mengamati foto itu lebih dekat. Matanya melebar saat melihat seragam dengan nama " Yoha " tertera jelas di dadanya.
" Ini kakakku! " Serunya, meskipun ia tak bisa benar-benar melihat wajahnya.
Namun, sebelum Lena bisa berkata lebih banyak, Mayor Liam mengeluarkan foto lain. Kali ini, gambarnya lebih jelas. Di dalamnya, seorang pria bertubuh tegap berdiri di tengah-tengah sekelompok prajurit. Wajahnya keras dan penuh wibawa.
" Siapa orang ini? " tanya Erika, menunjuk pria di tengah.
" Kapten Alvar, " sahut Mayor Liam. " Dia salah satu anggota pasukan khusus, gugur dalam pertempuran dan menerima Bintang Cakra sebagai penghargaan tertinggi. "
Lena menatap foto itu lebih lama. Lalu, ia menunjuk seorang pemuda yang berdiri tepat di samping Kapten Alvar, dirangkul dengan erat seakan seorang mentor yang melindungi muridnya.
" Apa Anda memiliki foto orang ini? " Tanyanya pelan.
Mayor Liam kembali mencari. Setelah beberapa saat, ia menarik satu foto terakhir. Namun, kali ini, tangannya sedikit gemetar saat menyerahkannya.
" Lena, " katanya dengan suara berat, " jika kau ingin melihatnya, kau harus berjanji untuk tidak membicarakan hal ini kepada siapa pun. "
Lena mengangguk tanpa ragu.
Ketika foto itu akhirnya sampai di tangannya, air matanya tumpah. Sebuah potret hitam putih, memperlihatkan seorang pemuda berparas tampan dengan rambut pendek rapi. Di dadanya, nama itu tertera jelas.
Yoha...
" Kakak... " Bisiknya, memeluk foto itu seakan itu adalah satu-satunya bagian dari Yoha yang bisa ia miliki saat ini.
Namun, di sisi lain ruangan, Mayor Liam menunduk, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Erika menyadari perubahan sikap ayahnya. " Ayah... kenapa kau terlihat ketakutan? "
Mayor Liam menghela napas panjang, menyadari bahwa tak ada lagi ruang untuk menghindar. Dengan suara rendah namun penuh ketegasan, ia akhirnya berkata,
" Kakak Lena... sosok penting bagi Baginda Ratu. Informasi tentangnya bukanlah sesuatu yang bisa diumbar begitu saja. Aku bisa memberitahumu satu hal—Yoha adalah salah satu anggota pasukan khusus paling berpengaruh saat ini. "
Lena menatapnya dengan harapan yang samar, namun jawaban berikutnya langsung meruntuhkan harapannya.
" Tapi... " Mayor Liam menambahkan dengan nada berat, " identitasnya begitu rahasia hingga aku tidak bisa memberikan foto itu kepadamu. Jika aku melakukannya, bukan hanya jabatanku yang terancam, tetapi juga nyawaku. Anggota pasukan khusus dibawah Baginda Ratu adalah rahasia negara dan sangat berbahaya kalau smapai bocor ke orang awam. "
Senyuman Lena yang tadinya berbinar perlahan memudar. Kedua tangannya mengepal erat di atas pahanya, seolah ingin menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya.
Dengan hati berat, ia meraih foto itu dan, dengan penuh kesadaran, mengembalikannya pada Mayor Liam.
Kecewa. Itu perasaan yang tak bisa ia hindari. Namun, lebih dari itu, ia tidak ingin membahayakan nyawa seseorang hanya demi keingintahuannya.
Ia mengemasi barang-barangnya dengan gerakan lamban, seakan menata kembali kepingan hatinya yang telah tergores kenyataan.
Sebelum bangkit dari kursinya, ia menatap Mayor Liam sekali lagi. Ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di benaknya. " Maaf, Tuan Mayor, bolehkah aku bertanya satu hal sebelum aku pergi? "
Mayor Liam menatapnya dalam, lalu mengangguk. " Tanyakanlah... "
Lena menelan ludah sebelum akhirnya mengutarakan kegelisahan yang sedari tadi menghantuinya.
" Sebagai anggota pasukan khusus... apakah dia pernah membunuh orang tak bersalah? "
Ruangan itu mendadak terasa lebih sunyi.
Mayor Liam tidak langsung menjawab. Ia mengembuskan napas sejenak, lalu menatap Lena dengan sorot mata yang sukar diartikan.
" Itulah tugas mereka nona... " Jawabnya akhirnya, dengan suara berat seolah membawa beban yang tak terlihat. " Sebagai pasukan khusus, bukan rahasia lagi kalau mereka pasti melakukan kejahatan perang termasuk membunuh orang tak bersalah demi keberhasilan misi. "
Jawaban itu menampar Lena lebih keras daripada yang ia kira. Tangannya yang mengepal semakin erat, sementara matanya mulai berkaca-kaca.
Ia menundukkan kepala, berusaha menguasai emosinya. " Terima kasih tuan Mayor... Terima kasih juga Erika untuk bantuannya. "
Tanpa berkata lebih banyak, ia berbalik dan melangkah keluar ruangan.
Erika hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, sementara gadis itu sesekali mengusap air mata yang hampir jatuh. Mayor Liam menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi muram. Ia melirik Erika, seakan meminta jawaban atas perubahan sikap Lena yang begitu drastis.
Erika menghela napas panjang, menyamankan posisinya di kursi sebelum akhirnya berkata,
" Lena adalah calon dokter umum yang sudah didoktrin untuk membenci militer. "
Dahi Mayor Liam berkerut. " Kenapa begitu? "
" Bagi para siswa di jurusan itu, tentara adalah tangan yang mengakhiri kehidupan, sedangkan dokter adalah tangan yang memberi kehidupan kedua. Jalan mereka dianggap bertentangan, mustahil untuk berdampingan. " Jelas Erika.
Mayor Liam mengangguk paham. Dalam hati, ia bersyukur bahwa Erika memilih sebagai dokter militer, yang meski keras, tetap berada dalam naungan markas militer.
Di Magolia, dua cabang kedokteran memiliki perbedaan yang jelas. Para dokter umum akan ditempatkan di rumah sakit yang tersebar di setiap kota dan pelosok negeri. Sementara dokter militer akan berada rumah sakit khusus militer atau di garis belakang medan perang, bertugas merawat para prajurit yang terluka di tengah konflik. Beberapa juga menjadi bagian dari kompi pasukan.
Dulu, Lena sempat memilih kedokteran militer. Namun, karena desakan orang tuanya, ia berpindah ke jurusan dokter umum. Kini, tanpa disadarinya, ia telah menyerap ajaran yang menanamkan kebencian terhadap militer.
Dan sumber doktrin itu bukan orang sembarangan.
Jian—mantan dokter militer yang kini menjadi pengajar di akademi kedokteran sekaligus dokter kepala di rumah sakit utama kota Ventbert.
Seorang wanita yang telah menyaksikan sendiri kengerian perang.
Bukan hanya luka yang terlihat di permukaan, tetapi juga kejahatan yang sering dilakukan tentara Magolia terhadap tawanan perang dari Varaya dan para pemberontak.
Pengalaman itu membuat Jian menyebarkan ajaran kebenciannya kepada para muridnya, menanamkan pemikiran bahwa tentara adalah algojo tanpa hati, sedangkan dokter adalah satu-satunya harapan bagi dunia yang porak-poranda.
Ratu tidak bisa menekan doktrin itu. Bukan karena dia setuju dengan ajaran Jian, melainkan karena di tengah situasi saat ini, peran para dokter terlalu penting untuk diganggu.
Mayor Liam menutup matanya sejenak, lalu kembali menatap Erika.
" Jian, ya... " gumamnya. " Tak heran kalau Lena bereaksi seperti itu. "
Erika mengangguk. " Lena masih polos. Dia menerima mentah-mentah pemikiran bahwa militer adalah musuh utama kehidupan."
***
Keheningan kembali mengisi ruangan. Di luar sana, di lorong markas yang panjang dan dingin, Lena berjalan dengan langkah gontai.
Hatinya terasa berat, pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa ia jawab.
Kakak yang selama ini ia rindukan ternyata bukan hanya seorang prajurit biasa.
Dia adalah bagian dari pasukan khusus yang bekerja langsung di bawah perintah ratu. Seorang pria yang namanya terukir dalam rahasia kerajaan.
Dan lebih dari itu...
Ia telah menumpahkan darah.
Lena mengeratkan genggamannya di dada, seolah berusaha menenangkan gejolak di dalam hatinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia bertanya-tanya.
Apakah ia benar-benar mengenal kakaknya?
Ataukah Yoha yang ia rindukan selama ini hanyalah bayangan semu dari seseorang yang mungkin sekarang disuatu tempat sedang mengakhiri hidup manusia tak berdosa?
^^^To be continued^^^