para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Sebelum meninggalkan tempat itu, Pak Parno dan Pak Budi menguak semua kebenaran kepada warga desa yang berkumpul. Tangisan histeris pecah di antara mereka. Rasa sakit dan kehilangan mengguncang hati warga desa saat mereka mengetahui anak-anak mereka menjadi korban tumbal keji Pak Prabu.
Polisi kemudian membawa Pak Parno dan Pak Budi ke dalam mobil patroli, mengantarkan mereka menuju balai polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan keji mereka.
Queen, Daffa, dan Wati mencari istirahat di rumah nenek tua yang baik hati. Mereka duduk di ruang tamu sederhana, dilingkupi kursi dan meja kayu tua. Kehangatan rumah itu terasa memberikan kenyamanan setelah mereka melewati pengalaman traumatis.
"Makan dulu, ya?" Nenek menawarkan beberapa roti dan cemilan, wajahnya penuh kasih sayang. "Kalian pasti lapar setelah sekian lama terjebak di sana."
"Lama? Kami baru masuk ke alam itu tadi malam, Nek," sahut Queen, mengambil sepotong roti dan melahapnya dengan lahap.
Wati dan Daffa juga menikmati makanan yang disediakan nenek. "Iya, Nek. Yang dikatakan Queen benar. Kami baru masuk ke gapura itu tadi malam," ungkap Daffa.
Nenek menggeleng pelan, duduk di kursi di depan mereka. "Kalian hilang selama empat belas hari, Nak! Kami mencari kalian selama itu. Kami tidak menyangka Pak Prabu dalang di balik semua ini. Dialah yang mengatakan kalian hilang dan tersesat di alam gaib."
Ketiga remaja itu ternganga, terkejut mendengar penjelasan nenek. Rasanya baru semalam mereka terperangkap, namun waktu berjalan berbeda di alam gaib itu. Air mata haru mengalir di pipi mereka, merasa lega dan bersyukur karena mereka akhirnya selamat dari maut.
Perjuangan mereka berakhir dengan kemenangan yang indah.
Setelah cukup beristirahat, rasa lelah dan trauma masih membayangi mereka. Queen, Daffa, dan Wati memutuskan untuk pulang. Mereka tak ingin berlama-lama di desa itu, bayangan kejadian mengerikan masih berputar di kepala mereka. Mobil polisi mengantar mereka pulang, sebagai saksi kejadian mengerikan yang telah terjadi.
Sebelum meninggalkan desa, mereka berdiri di depan rumah joglo tua yang pernah mereka tempati, sebuah tempat yang kini dipenuhi dengan kenangan pahit maupun indah. Mereka memandang rumah itu dengan tatapan yang dalam, mengingat kebersamaan dengan teman-teman mereka. Air mata kembali mengalir di pipi mereka, campuran rasa sedih dan rindu.
Daffa memeluk Queen dan Wati, memberikan semangat dan dukungan. Pelukan itu penuh dengan haru sekaligus kepedihan. Mereka bertiga bersatu dalam kesedihan, tapi juga dalam kekuatan yang telah mereka temukan bersama. Desa itu akan tetap berada dalam ingatan mereka selamanya.
Mobil sudah menunggu. Queen, Daffa, dan Wati masuk satu per satu, Queen di pinggir, Wati di tengah, dan Daffa di samping jendela. Angin malam menerpa rambut Queen saat ia menyandarkan kepala ke kaca mobil, sementara Wati termenung, lesu bersandar pada sandaran kursi.
"Sepi, ya," bisik Queen, suaranya bergetar. "Aku sangat merindukan mereka."
Wati menegakkan tubuh, tangannya lembut mengusap punggung Queen. Air mata membasahi pipinya. "Maafkan aku, Mbak… semua ini gara-gara aku. Seandainya aku tak ikut…" suaranya teredam oleh isakan.
Daffa dan Queen menatap Wati dengan tatapan penuh pengertian. Queen menggenggam tangan Wati.
"Jangan bicara seperti itu, Wat. Kami yang memaksamu ikut. Kamu bagian dari keluarga kami, tanggung jawab kami."
Daffa mengangguk setuju, "Kita hadapi semua ini bersama." Ia mengusap pundak Wati lembut.
Keheningan sejenak menyelimuti mereka, diiringi hanya oleh desiran angin dan deru mesin mobil yang membelah kegelapan malam. Setelah beberapa saat mereka keluar dari desa itu. Jalanan ramai dan aspal kini telah menyambut mereka. Mereka akan menuju kantor polisi sebelum pulang ke keluarga masing-masing.
.
.
BERSAMBUNG...
lanjut
💪💪💪💪