Di dunia yang penuh gemerlap kemewahan, Nayla Azzahra, pewaris tunggal keluarga konglomerat, selalu hidup dalam limpahan harta. Apa pun yang ia inginkan bisa didapat hanya dengan satu panggilan. Namun, di balik segala kemudahan itu, Nayla merasa terkurung dalam ekspektasi dan aturan keluarganya.
Di sisi lain, Ardian Pratama hanyalah pemuda biasa yang hidup pas-pasan. Ia bekerja keras siang dan malam untuk membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Baginya, cinta hanyalah dongeng yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Takdir mempertemukan mereka dalam situasi tak terduga, sebuah insiden konyol yang berujung pada hubungan yang tak pernah mereka bayangkan. Nayla yang terbiasa dengan kemewahan merasa tertarik pada kehidupan sederhana Ardian. Sementara Ardian, yang selalu skeptis terhadap orang kaya, mulai menyadari bahwa Nayla berbeda dari gadis manja lainnya.
dan pada akhirnya mereka saling jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Asila27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulai jatuh cinta
Ardi dan Nayla berada di dalam mobil, saling diam. Namun, tiba-tiba Nayla membuka suara lebih dulu.
"Mas, saya boleh nanya nggak?" tanya Nayla tiba-tiba.
"Emang mau nanya apa, Mbak?" sahut Ardi.
"Iya, tapi boleh nggak saya nanya?" Nayla malah balik bertanya.
"Boleh, Mbak! Silakan aja."
"Mas udah punya pacar belum?" tanya Nayla tiba-tiba.
Ardi yang mendengar pertanyaan itu langsung bingung. Dia ragu harus menjawab bagaimana. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia berkata, "Belum, Mbak. Emang kenapa ya, kok nanya itu?"
"Nggak apa-apa kok, Mas, cuma nanya aja," sahut Nayla beralasan.
"Emang Mas nggak ada suka sama perempuan? Kok belum punya pacar?" tanya Nayla lagi.
Ardi terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab pelan, "Ada sih, Mbak, suka sama perempuan."
Nayla yang mendengar jawaban itu langsung merasa sedih dan menunduk. Dia tidak tahu bahwa perempuan yang Ardi maksud sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ardi memang tidak pernah menunjukkan perasaannya secara jelas, sehingga Nayla tidak menyadarinya.
Dengan suara pelan, Nayla bertanya lagi, "Emang siapa, Mas, yang Mas suka? Apa satu kampus sama kita?"
"Ada lah, Mbak, pokoknya. Tapi sayangnya saya nggak tahu perasaannya. Lagian, nggak mungkin juga kami bersatu. Beda kasta, Mbak. Apalagi papanya curiga sama saya. Dan dia satu kampus sama kita," jawab Ardi.
Nayla yang mendengar jawaban itu agak lega karena mengira bahwa mereka memang tidak mungkin bisa bersama, apalagi jika ayahnya tidak menyukai Ardi.
"Emang siapa, Mas, perempuan itu?" tanya Nayla lagi.
"Ada lah, Mbak, pokoknya. Loh, Mbak kok malah bahas tentang saya sih?" Ardi malah balik bertanya.
"Lah, emang kenapa, Mas? Saya kan penasaran sama cewek yang berhasil bikin Mas suka," ucap Nayla.
"Eh, Mbak, kita udah sampai nih. Saya bukain pintunya dulu ya," kata Ardi, berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Eh, nggak usah, Mas. Saya bisa sendiri kok," sahut Nayla.
Setelah Nayla turun dari mobil, ia bertanya, "Mas Ar, nanti keluar kelas jam berapa?"
"Jam satu, Mbak. Kenapa emangnya?"
"Oh, nggak apa-apa, Mas. Mas sudah sidang ke berapa?" tanya Nayla lagi.
"Hari ini yang terakhir, Mbak."
"Oh, mudah-mudahan lulus ya, Mas."
"Iya, Mbak, amin."
"Ya udah, Mas, saya masuk dulu. Udah ditunggu Dina soalnya," kata Nayla pamit.
"Iya, Mbak. Silakan," sahut Ardi.
Siang Hari
Jam satu pun tiba. Ardi melihat Nayla menunggu bersama Dina. Ia segera berlari menghampiri mereka.
"Maaf, Mbak, udah nunggu lama ya?" tanya Ardi setelah sampai.
"Nggak juga kok, Mas," sahut Nayla.
"Mas Ar, gimana sidangnya? Soalnya kata Nayla hari ini sidang terakhir Mas," ucap Dina menyela pembicaraan.
"Iya, Mbak, ini yang terakhir. Alhamdulillah lulus, tinggal nunggu wisuda," kata Ardi.
"Syukur deh, Mas, kalau Mas Ardi lulus," sahut Dina dan Nayla bersamaan.
"Mas, ayo kita rayain kelulusan Mas," ajak Nayla tiba-tiba.
Ardi langsung kelabakan. Uangnya sedang menipis.
Dina dan Nayla yang melihat reaksi Ardi pun memahami situasinya.
"Mas, tenang aja. Saya yang traktir kok. Kan niatnya mau ngerayain kelulusan Mas Ar," ucap Nayla.
Ardi merasa tidak enak. "Tapi, Mbak, masa sih Mbak yang traktir? Mending nggak usah deh, takut saya ngerepotin," tolaknya.
"Udah, Mas, supir ganteng, tenang aja. Nayla banyak duit kok. Jadi, nggak apa-apa sekali-sekali dimanfaatin, biar nggak sia-sia duitnya," sela Dina sambil tertawa.
"Mbak bisa aja," sahut Ardi sambil tersenyum.
"Tapi saya tetap nggak bisa, Mbak. Apalagi pakai duit Mbak Nayla," tolak Ardi lagi.
Nayla yang terus ditolak punya ide lain. "Mas, antar saya ke kafe sekarang ya."
"Iya, Mbak, siap!" Ardi langsung masuk mobil.
Setelah di dalam mobil, Dina mulai berceloteh, "Enak betul yang udah ada sopir. Mana sopirnya ganteng lagi. Pasti majikannya betah nih."
Nayla langsung protes, "Apa-apaan sih lo, Din."
"Udah, Mas, nggak usah tanggepin. Dina emang orangnya kayak gini," kata Nayla malu.
"Emang kenyataan kok. Pasti betah lah. Secara, Nayla nggak pernah tuh mau nerima supir. Giliran cowok ganteng aja langsung mau. Kan aneh? Betul nggak, Mas Ar?" kata Dina sambil melirik ke Ardi.
Ardi hanya tersenyum, sementara Nayla langsung mendelik ke Dina.
Saat di tengah perjalanan, Ardi tiba-tiba menghentikan mobil.
"Mbak, maaf ya. Kita berhenti sebentar," kata Ardi.
"Emang mau ngapain, Mas? Kok tiba-tiba berhenti?" sahut Nayla.
"Nggak ngapa-ngapain kok, Mbak. Saya mau turun bentar. Nggak apa-apa kan?"
"Iya, nggak apa-apa kok. Silakan aja, Mas," sahut Nayla.
Ardi turun dan menghampiri seorang kakek yang berjualan kue.
"Kek, jualan apa?" tanya Ardi.
"Jual kue, Mas," jawab si kakek.
"Berapaan satu, Kek?"
"500-an, Mas."
"Oh, ya udah. Saya beli semua boleh, Kek?"
Kakek itu tersenyum bahagia. "Boleh, Mas. Silakan."
Setelah selesai dibungkus, Ardi bertanya, "Berapa semuanya, Kek?"
"110 ribu, Mas."
Ardi memberikan uang 150 ribu. "Ini, Kek, nggak usah dikembaliin. Itu rezeki Kakek."
Si kakek tampak terharu. "Terima kasih ya, Mas."
"Iya, Kek, sama-sama. Oh iya, bisa minta tolong nggak, Kek? Tolong bagi jadi sembilan bungkus."
Sementara itu, di dalam mobil, Dina berkata, "Baik banget ya, Mas Ardi."
Nayla tersenyum. "Iya, baik. Udah ganteng, suka nolong orang lagi. Andai aja..."
Sebelum Nayla selesai bicara, Dina menyela, "Hayo, ketahuan. Lo suka ya sama Mas Ardi?"
Nayla tersipu malu. "Siapa sih yang suka sama Mas Ardi, Din? Ngada-ngada lo."
"Udah, nggak usah ngeles. Gue udah paham sama lo."
Nayla akhirnya mengaku, "Ya, gue cuma kagum aja."
"Kagum sama suka apa bedanya sih?" goda Dina.
Sebelum Nayla sempat menjawab, Ardi masuk ke mobil. "Maaf ya, Mbak, nunggu lama."
"enggak kok mas.!" jawab Nayla.
"Emang mas beli apa sih." tanya dina.
"Ini mbak beli kue. Mbak nya mau." tanya ardi menawari Nayla dan dina.
"Terima kasih mas gak usah. Ya udah jalan lagi mas." suruh Nayla
"Baik mbak."
"Kita ke kafe mana ya mbak jadi nya." tanya Ardi.
"Kafe cinta mas." Sahut Nayla.
"Siap mbak."
Sesampainya di lampu merah ardana pun memanggil anak anak pengamen.
"Dek dek sini dek." panggil Ardi ke anak pengamen.
Anak-anak pengamen yang sedang berdiri di pinggir jalan menoleh ke arah suara Ardi. Awalnya mereka ragu, tapi ketika melihat senyum ramah di wajah Ardi, mereka pun perlahan mendekat. Ada tiga anak kecil, sekitar usia delapan sampai sepuluh tahun, mengenakan pakaian lusuh dan membawa alat musik seadanya sebuah kaleng bekas dan gitar kecil yang senarnya sudah hampir putus.
"Ada apa, Bang?" tanya salah satu anak, suaranya penuh kehati-hatian.
Ardi tersenyum dan mengulurkan bungkusan berisi kue yang tadi ia beli dari kakek penjual. "Ini buat kalian, makan dulu, ya. Jangan lupa bagi sama teman-teman."
Mata anak-anak itu langsung berbinar. "Beneran, Bang? Buat kami?"
"Iya, buat kalian. Ambil aja," kata Ardi.
"Terima kasih, Bang! Semoga rezekinya lancar!" seru salah satu anak dengan wajah penuh kebahagiaan. Mereka membungkuk sedikit sebagai tanda hormat sebelum berlari kecil ke tempat teduh untuk menikmati kue itu.
Di dalam mobil, Nayla memperhatikan semuanya dengan ekspresi sulit ditebak. Ada rasa kagum, tapi juga sedikit perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Ia belum pernah melihat seorang pria dengan kepedulian sebesar ini.
"Mas Ar, kok baik banget sih?" gumam Nayla pelan, hampir tak terdengar.
Ardi menoleh sebentar dan tersenyum. "Saya cuma ngelakuin apa yang bisa saya lakuin, Mbak. Kadang kita gak sadar kalau hal kecil buat kita bisa jadi sesuatu yang besar buat orang lain."
Nayla terdiam, menatap Ardi dengan tatapan yang lebih lembut dari sebelumnya. Sementara itu, Dina di kursi belakang hanya tersenyum penuh arti, menyadari ada sesuatu yang berbeda dalam cara Nayla memandang Ardi.
"Udah, yuk, jalan lagi. Kafe Cinta udah nunggu kita," kata Nayla akhirnya, mengalihkan perhatian.
"Siap, Mbak Nayla," sahut Ardi dengan nada bercanda, lalu kembali fokus mengemudi.
Sepanjang perjalanan, Nayla tak bisa menghilangkan senyum kecil dari wajahnya. Entah kenapa, perasaannya mulai terasa berbeda setiap kali melihat Ardi.