El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jovanka si Gadis Gila
...Bagian 1:...
...Jovanka si Gadis Gila...
...💫💫💫💫💫...
Setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk menyembuhkan patah hati. Ada yang memilih untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan, ada yang mulai mencari hobi baru, ada pula yang malah berkeliaran ke kelab malam sambil tebar pesona pada setiap pengunjung yang datang--berharap salah satu di antaranya bisa menjadi pengganti, atau sekadar teman untuk memuaskan kesepian di dalam diri.
Dari sekian banyak cara, Karel memilih yang terakhir. Berhubung dia adalah Gemini sejati, yang mana kata orang berjiwa petualang dan social butterfly garis keras, Karel mengunjungi satu demi satu kelab malam di kotanya untuk memperbanyak relasi. Sudah enam tahun berlalu, kalau dikumpulkan menjadi satu, kenalan yang dia dapat sejauh ini mungkin bisa membentuk satu kota baru.
Namun, dari sekian banyak orang yang Karel temui selama masa petualangan, ada satu manusia yang paling lelaki itu sesali kehadirannya. Dia adalah El Gracia Jovanka, gadis setengah gila berusia 20 tahun yang kini sedang asyik berlenggak-lenggok di lantai dansa, dengan Hot Chick 100 dari Christian Louboutin yang membalut kaki jenjangnya, membuat penampilannya semakin cetar membahana. Dia menjelma peran utama di Six Club malam ini, semua mata tertuju padanya, meski dance floor sudah serupa lautan manusia.
"Damn, she's so fucking sexy!" seru seorang lelaki di samping kiri Karel, berambut cepak, beralis tebal, dan berotot kekar.
Seperti yang sudah-sudah, Karel akan selalu refleks menoleh kepada siapa pun yang sedang memuji Jovanka, melayangkan tatapan tajam seakan bisa merobek-robek mulut yang telah lancang mengomentari lekuk tubuh gadis itu yang aduhai.
"Perlu duit berapa kira-kira biar bisa tidur sama dia?" celetuk lelaki lain di samping lelaki yang pertama, kepalanya licin, hidung tinggi, dan bertindik palsu di sudut bibir kanan.
Mendadak, rahang Karel mengeras. Seperti ada yang meledak-ledak di dadanya, menimbulkan gejolak kuat untuk melayangkan tinju ke wajah laki-laki sialan yang gampang sekali bicara sembarangan tentang perempuan.
Karel memang membenci Jovanka, benci sekali. Tetapi, kalau ada yang bicara buruk tentang gadis itu, dia juga tidak bisa diam saja. Tolong catat, ini karena hati nuraninya yang tidak bisa melihat perempuan direndahkan oleh sesama manusia, bukan karena dia memiliki niat terselubung di dalam hatinya.
"Kayaknya dia nggak butuh duit. Liat gerak-gerik dia yang suka jadi pusat perhatian, kayaknya dia cuma butuh hujan kasih sayang," timpal lelaki yang pertama, lalu kedua laki-laki berengsek itu kompak tertawa.
Karel tidak tahan. Kupingnya serasa mau meledak mendengar gelegar tawa tidak sopan para lelaki bajingan itu. Dengan kesal, dia meraih gelas tequila miliknya, menenggak isinya hingga tandas lalu meletakkannya kembali ke meja bar dengan gerakan membanting.
"Bacot," dengusnya, sambil bangkit dari stool bar dan bersiap untuk menggelandang Jovanka menjauhi lantai dansa.
Sebelum pergi meninggalkan posisinya, Karel sempat melemparkan tatapan tajam kepada dua lelaki tadi, yang disambut raut kebingungan oleh keduanya, seolah mereka tidak mengerti mengapa laki-laki berjaket abu-abu itu menatap mereka sebegitu tajamnya.
Dengusan kasar kembali mengudara, bersamaan dengan langkah Karel yang terayun lebar meninggalkan spot ternyamannya, bergegas membelah lautan manusia.
Di dance floor, Jovanka masih asyik berjoget. Semakin banyak pasang mata yang memperhatikan, semakin kencang teriakan memberi semangat yang dia dapatkan, semakin gila-gilaan pula gadis itu menggerakkan badan. Tidak ada yang namanya malu. Di sini, Jovanka sepenuhnya menanggalkan sisi dirinya yang lain. Hanya agar dirinya diakui. Hanya agar dirinya dicintai.
Namun, kesenangan Jovanka harus terhenti ketika Karel tiba di belakang punggungnya hanya dalam waktu kurang dari dua menit. Dengan kekuatan penuh, lelaki itu menyentak tangan Jovanka, membuat gerakan menarinya yang heboh terhenti seketika.
"God!" pekik sang gadis, nyaris keseleo karena heels yang dia kenakan selip akibat tubuhnya yang oleng.
Karel mana mau peduli soal teriakan itu? Tanpa ba-bi-bu, lelaki itu langsung menyeret Jovanka pergi dari sana. Meninggalkan lantai dansa dengan diiringi tatapan kebingungan dari orang-orang yang semula asyik berjoget, dan beberapa yang khidmat menonton tariannya.
"Oh, wait! Pelan-pelan jalannya! I'm wearing a fucking 10cm heels right now!" berontak sang gadis.
Tak ada respons dari Karel. Lelaki itu tetap meneruskan langkahnya, menyeret Jovanka seperti seorang budak yang sudah waktunya pulang untuk mengurusi sang Tuan.
"Azerya, stop! It hurts!" seru Jovanka, berusaha melepaskan cekalan tangan Karel di pergelangan tangan kanannya. Rasanya berdenyut dan nyeri, dia tidak tahan lagi.
"Please..." rengeknya. Namun Karel masih memilih untuk tidak peduli. Langkahnya tetap terayun dengan konsisten, baru berhenti ketika mereka tiba di luar bangunan kelab yang senyap.
Lengan Jovanka diempas, membuat tubuh rampingnya terhuyung hingga nyaris tersungkur dengan menyedihkan ke atas tanah.
Deru napas yang berembus kasar terdengar mengerikan. Lalu, tatapan tajam yang ia terima ketika wajahnya berhadapan dengan Karel membuat Jovanka seketika lupa bagaimana caranya bernapas.
"A-"
"Bagus lo begitu?" cerca Karel sebelum Jovanka selesai bicara. Sorot matanya kian menajam, bagai hendak mencabik-cabik gadis di hadapannya menjadi potongan-potongan kecil menyedihkan.
"Seneng udah jadi pusat perhatian?" Karel maju dua langkah, membuat Jovanka refleks menarik diri sebanyak tiga langkah. "Lo happy, udah bikin banyak pasang mata tertuju ke lo?"
Jovanka terkenal gila. Gadis belia itu hampir tidak takut apa pun di dunia. Tetapi, saat dihadapkan dengan Karel yang begini, dia selalu dibuat tidak berkutik dan kehilangan daya.
"Lo tahu nggak berapa banyak cowok yang sampai halu bisa tidur sama lo? Lo tahu apa yang mereka bilang setiap kali lo lagi nari di dance floor?" Satu langkah lagi Karel ambil, sementara punggung Jovanka sudah mentok di dinding, membuatnya tak bisa kabur lagi.
"Semua perkataan menjijikkan keluar bebas dari mulut mereka, Jov. Gue yang laki-laki aja mual dengernya, apalagi lo yang dijadiin objek fantasi sama mereka?" Tatapan Karel turun, memindai belahan setinggi paha dari gaun biru tua yang Jovanka kenakan.
"Lo seneng dipandang sebagai cewek murahan?"
"I am," sahut Jovanka, mendadak mendapatkan kembali kekuatannya. Kepalanya terangkat, netranya yang mulai berkabut menatap tajam sosok Karel di hadapannya. "Gue seneng dapat perhatian dari mereka semua. Is that matter to you? Bukannya lo antipati banget sama gue? Kenapa sekarang mendadak peduli?"
"Nah, I'm not," kilah Karel. Dia menarik langkah mundur, hanya agar memiliki ruang untuk bisa menelanjangi penampilan Jovanka dengan lebih leluasa. "Do whatever you want, tapi jangan di sekitar gue. It's so disgusting."
Selesai dengan perkataannya yang tidak manusiawi, Karel balik kanan. Mengayunkan langkah lebar meninggalkan bangunan kelab tepat pukul 12 malam.
Sementara Jovanka, gadis itu mematung di tempat, merayakan sakit hatinya yang lagi-lagi datang dari orang yang sama.
"Bajingan!" geramnya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, dan air matanya mulai luruh.
Bersambung.....