NovelToon NovelToon
Suamiku Ternyata Konglomerat

Suamiku Ternyata Konglomerat

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / CEO
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Indriani_LeeJeeAe

Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.

“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”

Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 > Murkanya Seorang Varendra

Langit di luar jendela rumah sakit terbelah oleh kilat. Dentuman guntur menyusul, seolah alam pun ikut mengakui bahwa malam ini bukan malam biasa. Malam ini adalah awal dari sesuatu yang tidak bisa ditarik kembali. Serene terbaring di atas ranjang dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangannya mencengkeram seprai begitu kuat hingga kuku-kuku jarinya memutih.

“Raiden…” suaranya serak, nyaris tak terdengar.

Raiden Varendra berdiri di sisi ranjang, tubuhnya seperti patung dari baja. Tatapannya tertuju pada monitor yang menampilkan denyut jantung Serene—dan dua denyut lain yang jauh lebih kecil, namun sama kuatnya. Dua kehidupan. Dua takdir. Dan terlalu banyak orang di luar sana yang menginginkannya.

“Tenang,” ucap Raiden, suaranya rendah namun tegas. Ia menggenggam tangan Serene, hangat, stabil, kontras dengan badai yang berkecamuk di luar. “Aku di sini. Tidak akan ada satu pun yang menyentuhmu tanpa seizinku.”

Serene menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Mereka… mereka tidak akan berhenti, kan?”

Raiden tidak langsung menjawab. Ia tahu, Serene tidak membutuhkan kebohongan. Ia membutuhkan kebenaran... meski kebenaran itu pahit. “Tidak,” kata Raiden akhirnya. “Mereka tidak akan berhenti.”

Serene menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Kalau begitu… jangan biarkan aku sendirian.”

Raiden menunduk, menempelkan keningnya ke kening Serene. “Aku bersumpah,” ucapnya pelan namun penuh kekuatan, “Dunia ini yang akan hancur lebih dulu sebelum kau dan anak-anakku.”

Sementara di luar ruangan, suasana berubah drastis. Lorong rumah sakit yang biasanya ramai kini sunyi mencekam. Para dokter dan perawat bergerak dengan langkah hati-hati, wajah mereka pucat, mata mereka sesekali melirik kamera keamanan yang kini dikendalikan penuh oleh sistem Varendra. Nama itu-Varendra... bukan sekadar keluarga konglomerat. Namun ia adalah entitas.

Sebuah kekuatan yang selama ini bekerja di balik layar, namun malam ini… muncul tanpa topeng. Di ruang rapat darurat lantai bawah, belasan pria dan wanita berkumpul. Ada pejabat kesehatan, perwakilan lembaga internasional, bahkan seorang jenderal berseragam lengkap. Namun tak satu pun dari mereka terlihat berkuasa.

Semua duduk dengan punggung kaku, wajah tegang, keringat dingin menetes di pelipis. Layar besar di ujung ruangan menyala. Wajah Raiden Varendra muncul, dengan ekspresi dingin, tajam, tak terbaca. “Saya harap,” suara Raiden menggema memenuhi ruangan, “Kalian mengerti betapa beruntungnya kalian masih bisa duduk di sana.”

Seorang pria berjas abu-abu berdehem, berusaha mempertahankan wibawanya. “Tuan Varendra, tindakan Anda ini mengambil alih fasilitas medis, mengisolasi pasien—adalah pelanggaran serius-”

“Diam!” Satu kata. Namun cukup membuat seluruh ruangan membeku. Raiden menatap pria itu seolah menatap serangga.

“Kau tidak berada di posisi untuk menilai tindakanku,” katanya dingin. “Apalagi setelah apa yang kalian rencanakan.”

Seorang wanita di sisi lain meja mencondongkan tubuh ke depan. “Kami hanya menjalankan protokol keamanan global. Anak-anak dalam kandungan istri Anda-”

“Kandungan istriku,” potong Raiden tajam, “Bukan properti dunia.” Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, jari-jarinya saling bertaut.

“Kalian berbicara tentang stabilitas, tentang keamanan,” lanjutnya. “Tapi kalian lupa satu hal penting.”

Tatapan Raiden mengeras. “Kalian tidak pernah meminta izin.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Jenderal yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Raiden Varendra,” ucapnya dengan suara berat, “Kau menantang sistem yang lebih besar darimu.”

Raiden tersenyum tipis yang sama sekali tidak ramah. “Tidak,” katanya. “Aku hanya mengingatkan sistem itu… siapa yang menopangnya selama ini.” Ia menekan satu tombol. Grafik dan data finansial muncul di layar.

“Dana kesehatan global kalian?” ucap Raiden tenang. “Empat puluh dua persen berasal dari yayasan yang berada di bawah kendaliku.”

Kemudian layar berubah. “Riset medis rahasia kalian?”

“Tujuh puluh persen fasilitasnya menggunakan paten Varendra.”

Layar berubah lagi. “Dan anggaran militer untuk proyek yang kalian sebut ‘keamanan generasi masa depan’-”

Raiden berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menumpuk. “—aku yang mendanainya.”

Wajah-wajah di ruangan itu memucat. “Jadi katakan padaku,” lanjut Raiden pelan. “Dengan alasan apa kalian datang ke rumah sakit ini… dan mencoba mengambil keluargaku?”

Tak ada jawaban. Lalu Raiden berdiri. “Mulai malam ini,” katanya dingin, “Kalian tidak lagi memiliki akses terhadap apa pun yang berkaitan dengan istriku dan juga anak-anakku.”

“Kau tidak bisa-” seseorang mencoba membantah.

Raiden menatap layar tajam.

“Aku sudah melakukannya.”

Layar mati. Dan di ruang rapat itu, untuk pertama kalinya, mereka merasakan sesuatu yang jarang terjadi dalam hidup mereka-takut.

***

Kembali ke lantai atas. Serene meringis saat kontraksi berikutnya datang lebih kuat. “Aah… Raiden…”

Raiden langsung berdiri, menekan tombol panggil dokter. “Sekarang,” katanya tajam ke alat komunikasi.

“Aku ingin tim terbaik masuk. Tidak ada kesalahan. Tidak ada eksperimen. Prioritaskan keselamatan istriku!” perintahnya.

“Baik, Tuan,” suara dokter terdengar gugup namun patuh.

Raiden menoleh kembali ke Serene. “Lihat aku,” katanya lembut. “Jangan dengarkan apa pun selain suaraku.”

Serene menatapnya, air mata mengalir tanpa bisa dicegah. “Aku takut… aku benar-benar takut…”

Raiden mengusap air mata yang mengalir di pipi istrinya dengan ibu jari. “Aku tahu,” katanya pelan. “Tapi kau tidak sendiri. Kau adalah wanita terkuat yang pernah aku kenal.”

Serene tersenyum tipis di tengah rasa sakit. “Aku tidak merasa kuat.”

Raiden menunduk, suaranya berubah penuh keyakinan.

“Kau mengandung dua kehidupan yang dunia ini takutkan,” katanya. “Itu bukan kelemahan. Itu kekuatan.”

Kontraksi datang lagi. Serene menjerit pelan sembari mencengkeram kuat tangan Raiden. Dan pada saat yang sama... alarm lain berbunyi. Bukan dari monitor medis. Melainkan dari sistem keamanan.

Arlo masuk dengan langkah cepat, wajahnya tegang.

“Tuan,” katanya, “Kami mendeteksi pergerakan tidak sah di sayap barat.”

Mata Raiden langsung berubah dingin. “Siapa.”

“Tim bayangan,” jawab Arlo. “Bukan dari pihak resmi mana pun. Mereka bergerak cepat dan juga terlatih.”

Serene menatap Raiden dengan panik. “Raiden…”

Raiden mencium keningnya singkat. “Tenang.”

Ia menoleh ke Arlo. “Kunci seluruh lantai,” perintahnya. “Aktifkan Protokol Hitam.”

Arlo membelalak. “Protokol Hitam berarti-”

“—aku tahu artinya,” potong Raiden. “Lakukan.”

Arlo mengangguk dan berbalik cepat. Dalam hitungan detik, lampu darurat berubah warna. Suara mekanisme berat kembali terdengar. Rumah sakit itu kini bukan lagi fasilitas medis. Ia adalah benteng.

Raiden berdiri di depan pintu ruangan Serene, tubuhnya seperti tembok terakhir. Di balik pintu, suara langkah kaki mendekat. Raiden menyentuh alat komunikasi di telinganya. “Siapa pun yang melangkah melewati garis merah,” katanya dingin, “Tembak untuk melumpuhkan.”

“Tuan,” suara pengawal terdengar ragu, “Itu wilayah sipil-”

Raiden menutup mata sejenak. Lalu membukanya kembali, penuh amarah terkontrol. “Wilayah sipil itu berubah menjadi medan perang,” ucapnya. “Karena mereka yang memulainya.”

Di lorong, suara tembakan terdengar. Satu. Dua. Teriakan tertahan.

Serene menangis pelan di balik Raiden. Raiden tidak bergerak. Ia berdiri di sana—tak tergoyahkan. Karena mundur satu langkah saja berarti kehilangan segalanya.

Di tengah kekacauan itu, seorang dokter masuk tergesa. “Tuan Varendra,” katanya gugup, “Kondisi salah satu bayi… semakin tidak stabil.”

Jantung Serene terasa seperti diremas. “Apa maksud Anda?” tanyanya gemetar.

Dokter itu ragu, lalu berkata jujur. “Kami mungkin harus melakukan keputusan sulit.”

Raiden menoleh perlahan. “Tidak,” katanya dingin.

Dokter itu menelan ludah. “Jika kami tidak-”

Raiden melangkah mendekat, auranya menekan. “Kalian akan menyelamatkan istriku,” katanya pelan namun mengancam, “Dan kedua anakku.”

“Jika satu nyawa saja kalian anggap bisa dikorbankan-”

Raiden berhenti tepat di depan dokter itu. “—aku akan mengorbankan seluruh dunia medis yang kalian banggakan.”

Dokter itu gemetar. “Baik… Tuan,” katanya lirih.

Serene terisak, namun menggenggam tangan Raiden lebih erat. “Apapun yang terjadi,” katanya pelan. “Jangan tinggalkan aku.”

Raiden menatapnya, matanya berkilat emosi yang jarang ia perlihatkan. “Aku tidak akan ke mana-mana,” ucapnya. “Aku bersumpah pada darah Varendra.”

Waktu berlalu lambat dan begitu menyiksa. Kontraksi semakin sering. Sedangkan di luar, hujan turun sangat deras, menghantam petir seperti ribuan jarum. Raiden tetap di sana. Tidak duduk, tidak juga bersandar.

Ia hanya berdiri, berjaga, seperti penjaga gerbang neraka. Hingga akhirnya... monitor berbunyi begitu nyaring. Garis salah satu denyut melemah. Serene menjerit. “Raiden!”

Raiden menatap layar. Dan untuk pertama kalinya malam itu—raut wajahnya berubah. Bukan takut. Melainkan amarah yang nyaris tak terbendung. “Selamatkan,” katanya tajam pada dokter. “Sekarang!”

Dokter-dokter bergerak panik. Raiden menggenggam tangan Serene, begitu kuat hingga hampir menyakitinya. “Lihat aku,” katanya keras. “Dengarkan suaraku.”

Serene mengangguk dengan air mata bercucuran. “Apa pun yang terjadi,” lanjut Raiden dengan suara bergetar namun penuh tekad, “Kau dan anak-anakku… akan hidup.”

Namun di balik kaca ruang operasi, lampu merah menyala lebih terang. Dan suara monitor itu, mulai melambat. Raiden mengepalkan tangan. Jika dunia ini berani mengambil satu saja dari mereka... maka murka Varendra baru saja dimulai.

***

Bersambung…

1
Wayan Miniarti
luar biasa thor... lanjuttt
Li Pena: Siap, Akak.. maacih udah mampir ya 🙏🤭
total 1 replies
Sunarmi Narmi
Baca di sini aku Paham kenapa bnyak yg tdk Like...Di jaman skrng nikah kok berdasar Status apalagi sdh kaya....Bloon bnget kesenjangan sosial bikin gagal nikah apalagi seorang Raiden yg sdh jdi CEO dgn tabungan bnyak...Kkrga nolak ya bawa kbur tuh istri dn uang " mu....Cerdas dikit Pak Ceo..gertakan nenek tidak berpengaruh.masa nenek jdi lbih unggul kan body aja ringkih
Li Pena: Terimakasih sudah mampir dan juga menilai novel ini. maaf bila alur tidak sesuai yang diharapkan dan juga banyak salahnya, mohon dikoreksi agar author bisa belajar lebih banyak lagi 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!