NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6 — Janji yang Menahan Nafas Zahwa

Pagi itu udara terasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena semalam Zahwa menghabiskan waktu cukup lama bersimpuh pada sajadahnya, menumpahkan segala kalut dalam doa-doa panjang yang hanya Allah yang mendengarnya. Dan mungkin juga karena notifikasi di ponselnya semalam, calon pembeli ruko menyalakan secercah harapan yang lama meredup.

Setelah sarapan sederhana bersama Bu Nina dan Rita yang masih tertidur setelah obatnya bekerja, Zahwa duduk di kursi ruang tamu sambil memandangi layar ponsel. Ia membuka kembali pesan dari nomor tak dikenal itu.

"Assalamu’alaikum, Bu. Terkait ruko yang Ibu iklankan, saya tertarik. Boleh kita bertemu untuk lihat lokasi?"

Zahwa tersenyum kecil.

“Semoga ini jadi jalan, Ya Allah…” bisiknya pelan.

Tanpa menunda, ia membalas pesan dengan sopan. Tidak lama kemudian, calon pembeli memperkenalkan dirinya. Namanya Pak Arham, seorang pria paruh baya yang ingin membelikan ruko untuk keponakannya yang akan membuka usaha.

Zahwa segera memberi tahu Farhan.

“Alhamdulillah, Wa… cepat banget,” jawab Farhan dari kantor.

“Tolong layani yang baik ya. Kalau bisa, prosesnya jangan lama. Kita butuh duit itu.”

Zahwa mengiyakan meski dadanya mulai sesak.

Ia tahu, kita butuh seringkali berarti Zahwa yang harus menyelesaikan semuanya, sementara keluarga Farhan hanya menunggu sandaran.

---

Sore harinya, Pak Arham datang melihat ruko. Zahwa menemani dengan tutur sopan, menunjukkan kondisi bangunan, akses jalan, dan potensi usaha.

Namun ketika pembicaraan berlanjut ke masalah surat dan legalitas, wajah Pak Arham mulai berubah.

“Ah… ini sertifikatnya masih atas nama almarhum ayah mertua ya?” Pak Arham mengerutkan dahi.

“I—iya Pak. Masih nama almarhum,” jelas Zahwa pelan.

“Berarti harus proses balik nama dulu. Itu butuh biaya. Belum lagi kalau ahli warisnya banyak.”

Zahwa mengangguk. Ia sudah membayangkan hal itu, tapi mendengarnya langsung dari pembeli membuat hatinya nyeri.

Pak Arham melanjutkan,

“Itu semua harus dipastikan dulu ya, Bu. Saya minat, tapi enggak mau ribet sama ahli waris yang beda pendapat.”

Zahwa hanya mampu tersenyum kikuk.

Ketika Pak Arham pergi, ia langsung menelpon Farhan untuk menyampaikan perkembangan.

“Kok jadi ribet begitu?” suara Farhan meninggi.

“Kan tinggal jual aja. Tinggal tanda tangan semua keluarga.”

Zahwa menarik napas dalam-dalam.

“Tapi Han, sertifikatnya masih atas nama ayahmu. Harus balik nama dulu. Dan semua ahli waris harus tanda tangan.”

“Halah… bilang aja ke Abang-abang gue sama Ibu. Suruh kumpul nanti. Masa sih sesusah itu?”

Zahwa memejamkan mata.

“Baik, Han…”

---

Malam itu rumah dipenuhi suara diskusi berlapis-lapis. Abang pertama Farhan bersikeras ruko harus segera dijual. Kondisinya katanya lagi butuh uang untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Abang kedua langsung mengangguk setuju, seperti biasa mengikuti.

“Kalau Ibu setuju, ya saya setuju.”

Tapi Bu Nina justru menghembuskan napas panjang.

“Kalau dijual… nanti Rita ngambil obat pakai apa? Uang kontrakan ruko itu Ibu simpan buat beli obatnya.”

Ruangan mendadak hening.

Abang pertama menggeleng cepat, “Kan kita bagi hasilnya nanti, Bu. Tenang aja.”

“Tapi kamu sendiri sering minta uang ke Farhan,” balas Bu Nina lirih.

“Kalau uang ruko ilang, kamu kira obat Rita bisa aman terus?”

Farhan menggaruk kepala, gelisah.

“Ya kalau rumah terjual, uangnya besar, Bu… nanti bisa disisihkan buat Kak Rita.”

Diskusi memanjang sampai suara saling tumpang tindih. Zahwa hanya duduk di pojok, diam, menatap lantai. Tidak ada seorang pun yang bertanya pendapatnya, padahal ia yang menjadi ujung tombak proses penjualan.

Seakan ruko itu milik mereka beramai-ramai, tapi tanggung jawabnya hanya jatuh ke pundak Zahwa.

---

Keesokan harinya, sebelum Farhan berangkat kerja, ia memegang tangan Zahwa.

“Wa, kamu bantu ya. Kalau ini berhasil, aku janji… kita pisah rumah. Kita beli rumah sendiri. Kamu enggak perlu tinggal sama keluarga aku lagi. Janji.”

Farhan berkata dengan mata sedikit berkaca-kaca.

Ucapan itu membuat dada Zahwa bergetar.

Sebuah janji.

Janji yang ia sudah lama tunggu.

Janji yang bisa menjadi alasan untuk terus bertahan.

“Benarkah, Han?” suaranya bergetar.

Farhan mengangguk mantap.

“Kalau rumah itu laku, kita bisa DP rumah baru. Aku bisa hidup sama kamu aja, lebih tenang.”

Zahwa mengangguk perlahan.

Janji itu menghangatkan hatinya—walau samar ia merasa seperti angin manis yang mudah hilang.

Tetapi Zahwa bukan tipe yang membantah.

Jika ini jalannya, ia ingin mencoba.

---

Sore itu, ia kembali menghubungi Pak Arham. Menjelaskan kondisi sertifikat dan ahli waris yang cukup banyak. Pak Arham mendengarkan dengan sabar, namun rautnya tetap ragu.

“Bu, saya sebenarnya cocok dengan bangunannya. Lokasinya juga bagus. Tapi kalau prosesnya rumit begitu, saya harus pertimbangkan lagi.”

Zahwa hanya mampu menahan suara serak.

“Baik Pak, saya mengerti.”

Setelah telepon ditutup, ia duduk di teras rumah Bu Rifda. Tatapannya kosong.

“Kenapa murung, Nak?” tanya Bu Rifda lembut.

Zahwa menceritakan semuanya. Dari sertifikat, ahli waris, persetujuan keluarga Farhan yang berantakan, sampai janji Farhan untuk pindah rumah.

Bu Rifda mendengarkan tanpa menyela, lalu menepuk tangan Zahwa.

“Nduk… kamu tuh luar biasa kuat. Tapi kamu jangan biarkan semua beban selalu nempel di pundakmu.”

Zahwa menghela napas panjang.

“Aku cuma ingin rumah itu laku, Bu. Biar bisa hidup tenang… jauh dari kekacauan setiap hari.”

Bu Rifda mengangguk pelan.

“Tapi jangan tekan dirimu sendiri. Kalau prosesnya memang sulit, ya memang begitu. Rezeki enggak bisa dipaksa.”

Zahwa menunduk, matanya panas.

Ia tahu itu benar. Tapi tuntutan keluarga Farhan seolah membuatnya harus berhasil, apapun risikonya.

Dan malam itu, sambil memandang sajadahnya, Zahwa berbisik lirih:

“Ya Allah, kalau ini bukan jalanku… kuatkan aku. Tapi kalau ini jalannya… mudahkan langkahku. Aku lelah, tapi aku percaya Engkau tak pernah menutup pintu.”

---

Di antara doa yang terurai, Zahwa tahu satu hal pasti:

Betapapun beratnya hari ini, ia harus tetap melangkah.

Mungkin janji Farhan hanyalah angin.

Mungkin juga benar-benar menjadi kenyataan.

Dan Zahwa memilih percaya, meski hatinya rapuh, bahwa suatu hari, ia akan punya rumah sendiri. Rumah yang tenang. Rumah yang tak diisi teriakan, cemooh, dan ketakutan.

Rumah di mana ia bisa menjadi Zahwa yang utuh.

Bukan Zahwa yang terbuang.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!