Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan malam
Hari-hariku terasa gamang. Berjalan tapi seakan tidak menapaki bumi. Aku bingung tidak tahu harus bagaimana, tidak tahu pada siapa harus mengadu.
Kenyataan bahwa diriku adalah 'anak haram' membuat aku merasa rendah diri meski di luar aku bersikap bangga bahwa aku adalah anak perempuan dari keluarga Adnan. Hatiku tetap merasa sedih dan takut. Takut suatu saat akan ada orang yang tahu.
"Ada apa, Non? Kenapa beberapa hari ini bapak lihat non sering melamun?" tanya Pak Rudi supirku.
"Gak apa-apa, Pak. Lagi banyak pikiran aja."
"Masih cilik kok banyak pikiran. Non tuh enak apa-apa tinggal minta sama bapak, anak kesayangan ibu sama bapak kok banyak pikiran."
"Iya, Pak. Kadang kita gak bisa lihat orang hanya dari luar nya saja. Kalau kata orang sih wang apa tuh, Pak?"
"Sawang sinawang, Non."
"Iya itu."
"Apa toh, Non? Tugas non itu kan cuma belajar tok. Sisanya urusan ibu sama bapak."
"Bapak tahu sendiri kan kalau saya ini bukan anak Mama dan Papa."
"Wah, itu sih non kurang bersukur aja. Non mau ikut bapak ke suatu tempat ndak?"
"Saya bahkan tidak punya waktu sendiri, Pak. Mau ke sana sini tuh gak bebas. Mana bisa dapat ijin dari mama dan papa. apalagi Abang sama kakak."
"Biar nanti bapak yang bilang. Pasti dikasih ijin, oke."
"Terserah bapak aja deh."
Mobil melaju entah ke mana. Dan akupun dengan pasrahnya ikut ke mana pak Rudi membawaku.
Kami berhenti di warung angkringan. Kata pak Rudi aku harus makan dulu karena ini udah sore menjelang malam.
Awalnya aku merasa ragu makan di tempat pinggir jalan seperti ini. Dengan makanan yang terbuka tanpa penutup sama sekali.
Demi menghargai pak Rudi, aku mengambil satu bungkus nasi berukuran sangat kecil, sate telor puyuh dan juga tempe goreng.
Kami duduk di pelataran toko yang sudah tutup hanya beralaskan tikar. Saat sedang menikmati hidangan, ada pengamen datang. Aku memberi uang sepuluh ribu. Tidak disangka pengamen tersebut berterimakasih sampai membungkuk beberapa kali.
Tidak berselang lama, datang pengemis. Seorang anak kecil yang menggendong adiknya. Anak kecil yang membawa anak kecil. Karena aku merasa kasihan, aku memberi mereka dua kali lipat dari pengamen yang tadi.
"Alhamdulillah, makasih ya kak. Semoga kakak panjang umur dan sehat selalu."
"Terimakasih," ujarku sambil tersenyum ramah. Fokusku teralihkan pada anak kecil yang ada di gendongan. Dia sedari tadi menatap makanan yang ada di piring, bukan makanan tapi sisa makanan. Sate telor puyuh yang tersisa 2 dari 4 biji.
"Kak, telornya boleh buat kita nggak?"
"Hah? Apa?"
"Itu, sisa makanannya boleh buat kita gak?"
"Ka-kamu lapar?"
Dia mengangguk.
"Tunggu sebentar ya."
Aku segera berlari menuju gerobak angkringan. Aku ambil beberapa lauk entah berapa tusuk.
"Tolong bungkus, Mas."
"Banyak amat, Neng."
"Iya, Mas."
Setelah dibungkus rapi dalam kantong kresek hitam, aku memberikannya pada adik tadi.
"Jangan dimakan!" tidak ada niat untuk aku membentak saat melihat mereka sedang memakan sisa telor puyuh dari piringku. Aku hanya terkejut dan takut mereka sakit.
Mereka terlihat ketakutan.
"Maaf, ya. Kakak gak bermaksud bikin kamu takut. Ini, kakak kasih makanan yang layak buat kamu. Bawa ke rumah dan makan sama adik kamu, ya."
"Makasih, Kak." ucap mereka yang masih nampak takut, mungkin terkejut. Entahlah.
Dari kejadian awal sampai anak itu pulang, Pak Rudi terlihat tidak peduli, dia bahkan membiarkan anak itu makan sisa makananku.
"Bapak kenapa biarin mereka ambil makanan saya sih?"
"Mereka lapar, mau gimana?"
"Iya tapi kan saya lagi beli, Pak."
"Ya mana mereka ngerti, pokoknya mereka lapar, ada makanan Yo wes dimakan."
"Ih, bapak sih gimana."
Pak Rudi seolah tidak peduli dan dia tetap saja asik makan sendiri sampai ludes.
"Non, mau jalan-jalan sebentar gak?"
"Ke mana?"
"Kita keliling aja."
"Ya udah ayo, lagian saya gak pengen pulang ke rumah dulu."
"Kenapa toh?"
"Ada kak Alan."
"Hahaha. Jangan begitu, Non. Meski terlihat cuek dan galak, Den Alan itu baik buangettt. Diantara keluarga pak Adnan, den Alan itu yang paling perhatian. Cuma emang gak banyak omong aja orangnya."
Saya juga tau, Pak. Saya hanya sedang ingin menghindar saja karena saya diancam Angela untuk tidak terlalu dekat sama kak Alan.
Kami berjalan menyusuri trotoar jalan. Pak Rudi cerita jika anaknya yang paling besar sudah bekerja di kantor Papa. Anak yang kedua nya sedang kuliah, sementara yang kecil sedang sekolah di pelayaran. Pak Rudi bilang itu semua berkat papa yang peduli pada keluarganya. peduli pada pendidikan anak-anaknya.
"Dibandingkan ibu, jujur ya non, bapak itu jauh lebih baik. Kalau ibu masih suka jutek dan ya, mungkin karena beliau anak orang kaya. Beda sama bapak."
"Iya, Pak. Papa lebih bisa memanusiakan manusia ketimbang mama. Saya juga pernah melihatnya kok."
"Jangan cerita ibu ya, Non, kalau bapak cerita gini. Soalnya semua pekerja di rumah memang sependapat kok."
"Tenang aja, Pak. Saya bisa jaga rahasia kok. Saya juga punya banyak rahasia yang tidak ingin orang lain ketahui."
Sepanjang perjalanan, banyak sekali orang-orang yang sedang melakukan aktivitas masing-masing. Ada pedangan kopi keliling yang mengayuh sepedanya. Ada ojek online yang sedari tadi menatap layar ponselnya, berharap ada notifikasi dari pelanggan. Ada juga warung kecil dengan beberapa orang yang sedang minum kopi sambil asik ngobrol.
"Itu orang gila, Pak?" tanyaku sambil menunjuk bapak-bapak yang sedang tergeletak di emperan toko hanya dengan beralaskan kardus bekas.
"Hahaha, bukan, Non. Dia memang tidur di sana karena itulah rumah baginya."
"Rumah?"
Pak Rudi tersenyum melihat aku yang tidak percaya pada apa yang dia ucapkan.
"Tidur hanya beralaskan kardus bekas, tanpa bantal, tanpa selimut?"
Saat aku masih membahas orang yang tertidur tadi, aku kembali dibuat terkejut oleh suara seseorang. Nampaknya dia sedang memarahi anaknya.
"Goblok, Lo ya! dari siang gue suruh lo ngemis, cuma ini doang yang Lo dapat?"
"Iya, Mak."
"Bohong Lo ya! Ngaku Lo, pasti Lo pake buat makan kan?" bentaknya sambil memukuli anak tersebut pakai ranting. Aku reflek bersembunyi di balik punggung pak Rudi.
Anak itu sangat ketakutan dan kesakitan, dia merintih menangis namun wanita itu tidak mau memberi ampun. Aku ingin menolong, tapi pak Rudi melarang. Katanya bukan urusan kita.
"Tapi, Pak?"
"Jangan, Non. Sebaiknya kita pergi saja ya. Sudah cukup jalan-jalannya. Non mau tunggu di sini, apa mau ikut saya ambil mobil?"
"Nunggu aja, Pak. Tapi jangan lama-lama ya."
"Iya, Non."
Pak Rudi berlari menuju parkiran mobil kami tadi di depan angkringan. Mungkin dia tidak ingin aku menunggu terlalu lama.
Dari tempat yang cukup jauh, aku masih bisa melihat wanita itu masih memarahi anaknya. Hati nuraniku tidak bisa tinggal diam saat wanita itu menendang perut anak itu hingga tersungkur.
"Berhenti!!!!"