NovelToon NovelToon
Tumbal Mata Kedua

Tumbal Mata Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Spiritual / Zombie / Tumbal
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Foerza17

Cerita ini berlatar 10 tahun setelah kejadian di Desa Soca (Diharapkan untuk membaca season sebelumnya agar lebih paham atas apa yang sedang terjadi. Tetapi jika ingin membaca versi ini terlebih dahulu dipersilahkan dan temukan sendiri seluruh kejanggalan yang ada disetiap cerita).

Sebuah kereta malam mengalami kerusakan hingga membuatnya harus terhenti di tengah hutan pada dini hari. Pemberangkatan pun menjadi sedikit tertunda dan membuat seluruh penumpang kesal dan menyalahkan sang masinis karena tidak mengecek seluruh mesin kereta terlebih dahulu. Hanya itu? Tidak. Sayangnya, mereka berhenti di sebuah hutan yang masih satu daerah dengan Desa Soca yang membuat seluruh "Cahaya Mata" lebih banyak tersedia hingga membuat seluruh zombie menjadi lebih brutal dari sebelumnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kesunyian di Ujung Koridor

Tubuhku seketika bergidik melihat kejadian itu. Aku langsung bergegas pergi dari sana dan berlari kecil agar teriakan yang terus memekik tak terdengar lagi. Aku memijat kedua pelipisku untuk meredakan rasa tegang yang masih terasa berat. Aku langsung bergegas kembali bangsalku.

Sesampainya aku di sana, Astrid dan juga Nadine sudah sampai mendahuluiku. Mereka terlihat berbaring di atas ranjangku sembari menonton bersama melalui ponsel yang dipegangnya. Mereka terlihat tertawa cekikikan entah apa yang mereka tonton itu. Aku sebisa mungkin mengatur ekspresiku agar tak terlihat tegang dan kembali menyapa mereka dengan wajah senang.

"Wah ayah sudah kembali!" seru Astrid dengan suara riang. Nadine pun tampak sedikit terkejut dan langsung memalingkan pandangannya dari ponselnya kearahku. Dia dengan tergesa-gesa bergegas bangkit dan langsung memelukku.

"Gimana, Yah? Udah selesai terapinya?" tanya Astrid sembari mem-pause video yang sedang ditontonnya.

"Sudah. Dan besok pagi kita akan pulang," jawabku dengan suara hangat.

"Syukurlah! Aku turut senang mendengarnya," sambungnya.

"Ayah, ayah! Aku tadi, bantuin ibu goreng tempe loh! Seru banget!" seru Nadine tampak sangat bersemangat.

"Oiya? Wah kamu hebat banget. Keren!" jawabku menyambut setiap gempuran segala pengalaman barunya.

"Bener, Yah! Tapi tanganku kena minyak goreng. Panas banget," sungutnya sembari menyodorkan tangan kirinya kepadaku. Kulihat disana terdapat luka melepuh yang tidak terlalu parah.

"Yaudah gapapa. Anggap saja itu sebagai hadiah bahwa kamu sudah bisa goreng tempe," ucapku sembari mencubit gemas pipinya. Dia tampak tersenyum senang kearahku. Akhirnya kami pun larut dalam kehangatan dan canda tawa yang menyenangkan.

...----------------...

Sinar rembulan yang cerah menyentuh keramik putih yang memantul bening. Cahayanya yang menenangkan pun turut menyinari permukaan air kolam hingga menampilkan derak air yang berkilauan. Suasana malam ini masih tetap sama. Aroma angin malam masih tetap bercampur dengan bau alkohol yang menguar. Menciptakan atmosfer yang khas untuk sebuah fasilitas kesehatan.

"Yah mungkin sudah waktunya untuk tidur," ujar Hamim. Seorang lelaki sekitaran umur 40 an tahun yang baru saja aku berkenalan dengannya.

"Baiklah, Pak. Jangan paksakan dirimu untuk berlarut-larut memikirkannya. Semoga istrimu lekas sembuh dan kamu bisa kembali melihat tawa istrimu lagi," ucapku menenangkannya. Hamim hanya tersenyum dan beranjak pergi begitu saja.

Aku kembali menyandarkan punggungku pada pilar batu yang ada di sisi koridor paviliunku. Mendengarkan ceritanya dengan antusias. Kemudian kembali merenungi bahwa mungkin masalahku tidak seberat masalah yang dia hadapi. Aku sedikit simpati mendengarkan ceritanya selama 1 jam kami berdua duduk. Istrinya menderita kanker serviks, dan dia hanya seorang pekerja kantoran biasa yang hanya bergaji UMR untuk menyambung hidupnya. Ditambah harus memikirkan bagaimana caranya untuk mengatur biaya pengobatan istrinya saat ini.

Desiran angin pelan menggoyangkan rambutku. Aku menarik dalam napasku dan menahannya sejenak di paru-paruku lalu menghembuskannya perlahan. Aku menatap jauh ke arah langit dan merenungi setiap permasalahan yang selalu datang silih berganti. Mataku sejenak melirik ke beberapa orang yang nampak lelah menunggu atau dalam arti lain menemani anggota keluarganya yang sakit. Mereka semua seakan larut dalam lamunannya sendiri dan sedang bergelut dengan kenyataan yang harus mereka hadapi.

Suasana menjadi sedikit sepi. Kegiatan para tenaga medis juga mulai terhenti. Pemeriksaan rutin hanya dilakukan pada jam-jam pagi. Waktu malam, mereka sudah kembali ke rumahnya sendiri. Hanya pegawai dengan shift malam yang berganti menemani.

Aku mengambil ponselku untuk membunuh rasa bosan. Layar putih menusuk dan memaksa mataku untuk menyipit. Jam 22.37 terpampang dengan elegan diantara wallpaper Astrid dan Nadine yang ada di layar kunci ponselku. Aku menggulir ke atas layar dan bersiap untuk menyelami sosial media dengan segala kontennya yang melenakan. Mataku mulai bergerak selaras disetiap ayunan jemariku di atas layar.

Beberapa menit berlalu, aku pun tak sadar jam sudah menunjukkan pukul 23.15. Aku menggosok mataku bersamaan dengan mulutku yang menguap. Aku merasa tidak peduli. Aku masih saja terlena dengan konten duniawi yang disuguhkan oleh berbagai medsos yang aku buka tutup silih berganti. Hingga pada akhirnya, semuanya berakhir sama saja. Aku kembali merasa kesepian dengan tanpa teman bicara.

Pandanganku terasa kosong. Aku biarkan layar ponselku menyala yang masih menampilkan sebuah konten tentang kehidupan hewan yang terus saja berjalan. Tanpa perhatian dariku sepenuhnya. Aku menontonnya, tetapi aku tak menyimak. Aku menontonnya seakan hanya menjadikannya teman pengusir rasa sepi. Tanpa sadar, tanganku dengan refleks mematikannya dengan perlahan dan meletakkannya di sampingku.

Aku kembali melamun. Entah apa yang ingin aku lamunkan, tetapi pandangan menatap jauh ke ujung lorong. Memandang ruangan tetangga dengan beberapa orang yang berbaring di sana. Lambat laun, rasa kantuk mulai datang menyerang. Aku sesekali mengangguk-angguk menahan kantuk yang berat. Aku pun menjadi lebih sering menguap.

Antara sadar dan tidak sadar, aku merasa aku telah mendengar suara ketukan sepatu pantofel yang berjalan pelan. Suaranya terdengar bergaung hingga ke ujung lorong. Aku pun tersentak setelahnya. Mataku langsung membelalak dan pandanganku menyisir ke seluruh ruangan. Aku menguap sesekali dan mengumpulkan kesadaranku untuk memastikan bahwa suara yang aku dengar bukanlah bagian dari mimpi yang sementara.

Suara langkah itu kembali terdengar. Kali ini ritmenya semakin pelan seakan orang itu sedang mengendap atau mungkin orang itu sedang pincang. Jantungku berdegup kencang. Aku yakin suaranya berasal dari koridor utama yang posisiku saat ini membelakanginya. Aku masih belum berani untuk menoleh. Pupilku masih berada diujung mataku. Aku melirik sembari memantabkan hatiku untuk segera menoleh dan melihat siapakah dia.

Aku menoleh dengan cepat. Kulihat seseorang dengan rambut panjang tergerai hingga menutupi wajahnya. Sosok dengan rambut hitam legam dengan baju putih yang agak kusut itu berjalan pelan. Dia tampak membungkuk dan kakinya seakan pincang sebelah. Di bawah temaram lampu yang menyentuh tubuhnya membuatku masih belum bisa untuk mengenali sosoknya. Sosok itu berlalu begitu saja dengan tanpa menoleh hingga dinding pembatas antar paviliun menutupi pandanganku darinya.

Rasa penasaran yang menggebu membuat hatiku tergerak untuk mengejarnya. Aku berlari kecil agar tak kehilangan jejaknya. Aku mengintip dari sebalik tembok dan melihatnya tampak menggenggam sebuah tempat tidur troli yang terbengkalai. Entah memang terbengkalai atau tertinggal di sisi koridor, tetapi ranjang itu nampak seperti ranjang yang digunakan untuk membawa sebuah jenazah. Sosok itu mematung sembari memandangi ranjang itu dengan tanpa tujuan.

Koridor yang sepi dengan lampu penerangan yang redup membuat atmosfer di sekelilingku terasa berat. Jantungku terus berdetak kencang. Hingga aku tak menyadari ada seseorang yang berjalan di belakangku lalu berkata,

"Cahaya yang indah,"

1
IamEsthe
menurutku ku kurang tegang dan deskripsi kepanikannya kurang detail atau greget gimana gitu. aku masih belum bisa ikut alur kepanikan itu.
IamEsthe: pokoknya bagian ini kurang ngenah menurutku. feel nya kurang nyampe
Hanazawa: oke deh. nanti aku benahi kak
makasih sarannya
total 2 replies
IamEsthe
BLA BLA BLA jalur relnya (atau bisa jalur rel kereta)
IamEsthe
BLA BLA pada kaca jendela kereta.
IamEsthe
di langit
novi
loh loh loh?
novi
waw, dia penggali kubur kah?
Hanazawa: kerja serabutan sih lebih tepatnya
total 1 replies
novi
beruntung?
novi
hah?
novi
hah? ko bisa? karena kecelakaan tadi? ko bisa kecelakaan? pantes masinisnya diem doang
Hanazawa: dikit² akan dijelaskan di bab berikutnya ya kk
total 1 replies
novi
ada apa itu?!
𝓡𝓲𝓿𝓮𝓵𝓵𝓮 ᯓᡣ𐭩
ngeri sekalii /Panic//Panic/
Youshin
Mangat thor🔥
Hanazawa: makasihh udh mampir
total 1 replies
Maulidiah (⁠ー⁠_⁠ー⁠゛⁠)
wah ini yang kedua,lebih seram lagi nih
Hanazawa: makasihh kk udh mampir /Heart//Heart/
total 1 replies
novi
ga kenal andra, soalnya langsung baca ini
Hanazawa: dia akan menjadi sosok penting pada bab 30 an keatas. maybe
total 1 replies
novi
kok masinisnya ga peduli? malah penumpang e yg nyari tau, kereta apa ini?! gausah di tumpangi
novi
gaboleh gitu woyy
novi
hah? pistol?
novi
hah? sesuatu yang tidak kita inginkan datang menghampiri kita?
Hanazawa: sedikit² bakalan tau ya kk
total 1 replies
novi
ngeri banget/Toasted//Puke/
novi
halo kak! aku udah mampir yaa... ceritanya bagus, tapi aku belum baca cerita yang sebelumnya, jadi masih agak bingung
novi: oalahh okee kakk/Drool//Drool//Drool/
Hanazawa: okey kak Novi. btw cerita ini dominan ke aksi kok bukan horor hehe
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!