Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYRA AVERY CALANTHA
HAPPY READING
Di salah satu rumah besar, terlihat ruang keluarga begitu ramai dengan anggota keluarga. Sepertinya, mereka tengah berkumpul merayakan kesuksesan dari salah satu anggota keluarga mereka.
“Selamat atas peresmian perusahaan mu,” ucapan selamat dari seorang pria yang lebih tua dari seorang yang diberi selamat.
“Terimakasih kak.”
“Setelah ini, apa kamu akan memboyong istri dan anak-anak mu ke Jakarta?”
“Ya, mana mungkin aku bisa tinggal berpisah dengan mereka.”
Perbincangan antara bapak-bapak terlihat asyik, menghiraukan bisingnya suara milik anak-anak mereka yang sedang bermain.
“Owh ya, selamat juga atas kelahiran anak bungsu mu. Putri mu sangat mirip dengan mu, hahah.”
“Tentu, dia anakku.”
“Sudah kau beri nama Syan?”
“Belum, Vynessa yang akan memberinya nama.”
“PAMAN SYAN!”
“DI MANA PAMAN SYAN?”
Syan yang mendengar teriakan dari salah satu anggota keluarganya pun berdiri dengan cepat dan menghampiri seorang laki-laki yang lebih muda darinya.
“Ada apa Gutama?” Tanya Syan dengan tangan yang memegang kedua pundak pemuda bernama Gutama itu.
Gutama mengambil napas panjang, kemudian menjawab Syan. “I-tu paman, nenek dan kakek meng-,”
“Kenapa dengan mereka nak?”
Gutama menutup rapat matanya, kembali menarik napas dalam. Semua tatapan keluaganya mengarah kepadanya, menunggu dirinya mengucapkan kalimat yang mungkin membuat mereka syok.
“Ayah teman ku barusan mengabari ku, jika kakek dan nenek mengalami kecelakaan tunggal.”
“APA!”
Syan mengambil ponselnya dari balik sakunya, banyak pesan dari kedua orang tuanya yang dia tidak lihat. Pesan itu berisikan jika kedua orang tuanya akan sedikit terlambat datang, ayah anak empat itu kalut.
Kedua orang tuanya hendak bertemu istri dan anaknya yang baru saja lahir, mengapa jadi seperti ini?
Kebahagiaan keluarga itu atas pencapaian Syan dan kelahiran seorang putri yang melengkapi anggota keluarga mereka, berubah menjadi tangis pilu. Harusnya mereka semua merayakan kebahagiaan bersama, bukan menangis karena musibah yang tak mereka sangka akan menimpa kedua orang tua mereka.
&&&
“Dokter, katakan dengan benar. Ayah dan ibu saya masih bisa diselamatkan bukan?”
Syan memegang kedua lengan seorang dokter dengan wajah penuh harapan, matanya berkaca-kaca, dadanya naik turun dan suara tangisan dari keluarganya membuatnya semakin takut.
“Maaf pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Nyonya Antha meninggal dalam perjalanan, sedangkan tuan Very sedang melewati masa kritisnya.”
“T-tidak mungkin, i-bu...,” lirihnya dengan tubuh yang perlahan jatuh karena kakinya yang tiba-tiba lemah seperti jelly.
Tangisan Syan begitu pilu, seorang anak laki-laki yang berusia dua belas tahun mendekati Syan dengan wajah polosnya.
“A-yah, ayah kenapa menangis?” Tanyanya dengan pelan. Tangan kecil itu mengusap punggung Syan dan menepuk-nepuknya, berharap ayahnya tidak menangis lagi.
“Kendalikan diri mu Syan, mari kita urus pemakaman ibu. Jika kamu terus menangis seperti ini, bagaimana jika ayah sadar nanti? Ayah jauh lebih sakit.”
“Hiks, i-ni s-e-mu-a hiks salah ku mas. A-k-u s-eha-rusnya menjemput ayah dan ibu hiks, me-ereka tidak akan s-hiks se-perti ini jika aku menjemputnya kan?”
“Sudah, jangan menyalahkan dirimu.”
“Syan, ini semua salah anak terakhir mu! Ayah dan ibu sangat ingin melihat anak mu itu, jika saja anak mu tidak lahir maka ayah dan ibu kita tidak akan mengalami kecelakaan.”
“Mauren! Jaga ucapanmu.”
“Apa si mas Angga! Benar kan yang aku katakan, anak Syan penyebab ibu meninggal dan ayah kritis sekarang.”
Keadaan semakin panas akibat ucapan Mauren, adik dari Syan yang tiba-tiba saja menyalahkan kelahiran seorang bayi yang bahkan belum genap dua hari lahir kebumi ini.
Syan menatap Mauren, wajahnya mendadak merah padam karena menahan kejolak aneh dalam dirinya. Syan membenarkan ucapan Mauren jika penyebab kematian ibunya adalah anak bungsunya.
&&&
“TENANGKAN TANGISAN BAYI ITU! JIKA TIDAK, MAKA AKU AKAN MEMBUNUHNYA!”
“Syan, jangan berteriak bisa? Dia putri mu, mengapa kamu jadi lebih kasar seperti ini?” Angga menatap Syan heran.
Mereka semua masih berduka, pemakaman Antha seminggu yang lalu telah selesai dan mereka masih berduka. Sedagkan Very masih menjalani perawatan, suami dari Antha itu telah menerima kabar jika istriny telah meninggalkan dirinya.
“Jangan ikut campur mas,” tekan Syan. Sifatnya yang lemah lebut dan penuh kehangatan lenyap dalam waktu satu malam, tergantikan dengan sifat kasar dan wajah yang selalu saja terlihat dingin.
“Anak itu tidak tahu apa-apa Syan, jika kamu masih belum menerima kepergian ibu, maka jangan lampiaskan amarah mu pada anak itu.”
Syan tidak mendengarkan ucapan Angga, memilih kembali masuk dalam kamarnya dan mengisolasi diri dari anggota keluarganya termasuk istrinya.
&&&
Hari berganti dengan minggu, lalu minggu berganti dengan bulan dan bulan berganti tahun. Sudah enam tahun berlalu sejak kejadian menimpa keluarga besar Syan dan Vynessa.
Enam tahun juga Syan dan Vynessa tidak pernah menganggap kehadiran seorang putri kecil yang cantik dan polos, mereka hanya mengakui memiliki anak tiga dan anak bungsu bukan gadis kecil bernama Ayra, melainkan anak bungsu Syan dan Vynessa adalah putri cantik mereka yaitu Kaliyah.
Ayra kecil telah tumbuh menjadi gadis riang dan polos, tumbuh tanpa peran kedua orang tuanya tidak membuatnya berkecil hati disebebkan pertumbuhannya tidak lepas dari peran kakeknya yang selalu siap menggantikan kedua orang tuanya.
Ayra kecil begitu aktif, tingkat keingin tahuannya terhadap segala hal membuatnya menjadi gadis yang pintar. Sang kakek selalu berusaha memenuhi keinginan cucunya itu.
“Nah, sekarang Ayra tidur ya. Besok pagi, kamu mulai masuk sekolah dasar.” Very membantu cucunya menaiki tempat tidur.
Ayra kecil mengangguk dengan cepat dan senyum yang terus saja mengembang. “Iya kakek,” balasnya.
“Kakek, apa Ayra tidak satu sekolah dengan kak Kaliyah? Arya mau bareng kak Kaliyah,” lanjutnya.
Very tersenyum tipis. “Tidak sayang, sekolah kamu berbeda dengan kak Kaliyah. Tidak apa-apa jika tidak satu sekolah, kan di rumah masih bisa bermain bersama.”
“Tapi, kak Kaliyah tidak mau bermain sama Ayra. Ayah Syan selalu bilang ke aku kalau kak Kaliyah tidak boleh dekat-dekat sama pembunuh.”
Very terdiam, putranya semakin hari semakin kejam. Rupanya Syan masih tidak melupakan kejadian itu dan sampai kini Ayra menjadi pelampiasan Syan.
“Kalau ayah mu bilang kamu anak seperti itu lagi,” ucapnya sembari meletakkan kedua telapak tangan besarnya menutupi telinga Ayra kecil. “Tutup telinga kamu seperti ini, paham?”
Ayra mengangguk. “Paham kakek.”
“Sekarang tutup matamu dan tidurlah.”
Very mengusap pelan wajah Ayra kecil, malang sekali nasib cucunya ini. Di usia yang masih membutuhkan peran kedua orang tua, anak perempuan ini malah tumbuh tanpa peran kedua orang tuanya. Bahakan, dia sangat khawatir jika cucunya akan tumbuh menjadi anak yang memberontak karena kurangnya kasih sayang dari Syan dan Vynessa.
Tetapi, nyatanya tidak demikian. Ayra kecil tumbuh dengan sangat baik, gadis kecil itu bahkan memiliki otak yang cerdas. Very bersyukur dengan hal itu, tetapi bagaimana perjalanan pertumbuhan Ayra selanjutnya? Apa dirinya masih bisa mendampingi cucunya ini?
“Kakek berharap kamu tidak pernah membenci kedua orang tuamu nak, kamu bagian dari keluarga ini. Marga dibelakang namamu pasti akan terganti dengan marga milik ayahmu, jadi bertahanlah sebentar lagi.”
“Kakek selalu bersamamu Ayra Avery Calantha, selamanya. Tumbuhlah menjadi gadis yang cantik dan pemberani seperti arti namamu.”
Harapan Very selalu bisa mendampingi cucunya, tetapi umur tidak ada yang tahu bukan? Begitu juga yang Ayra kecil tahu, jika suatu saat nanti kakeknya juga akan pergi meninggalkannya.
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA 👋👋👋
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "