Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Gravitasi (a)
Aksel memasuki area sekolah diam-diam lewat belakang dengan cara memanjat tembok, karena tidak ada yang berjaga, ia pun berhasil lolos dan memilih untuk ke ruangan seni untuk ngadem. Lagi pula ini adalah cara melarikan diri yang paling menyenangkan, tanpa harus berurusan dengan guru. Paling tidak sampai besok, karena Aksel sedang capek melawan nasib.
Setibanya di depan pintu ruangan itu yang sedikit terbuka, Aksel tertegun. Ia pikir ada orang yang juga sedang mengistirahatkan diri di sana. Apakah itu Meta? Aksel penasaran. Hingga akhirnya ia mendengar teriakan laki-laki yang membuat seisi ruangan terhening.
"Itu karena gue sayang, Ta, sama lo!"
Aksel mengintip ke dalam, langsung mengepalkan tangannya saat mendengar pengakuan cowok yang ternyata adalah Putra. Pada perempuan berambut pendek, yang saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Putra seakan menyadari apa yang sudah ia katakan pada Meta, sampai membuat cewek itu terdiam dan menatapnya lama. Tatapan Meta membingungkan, Putra juga bingung dalam keputusan untuk mengungkapkan atau menyembunyikan perasaannya. Namun melihat situasi yang sedang mengkhawatirkan, Putra memilih untuk menyimpannya kembali.
"Gue nggak mau sahabat gue mengorbankan semua perjuangan dia selama ini."
Aksel menyunggingkan senyumnya, menunduk penuh kekesalan. "Bilang sayang tapi cara lo buat dapetin Meta kayak banci!" desisnya.
Kedua mata Aksel masih mengamati keduanya, Meta masih terdiam di tempat duduknya, bahkan saat Putra turun dari kursi dan meletakkan gitarnya di sana. Cowok itu kembali menaruh tatapannya pada Meta.
"Gue balik ke kelas duluan, inget ucapan gue. Banyak yang sayang sama lo, dan mereka nggak akan ngebiarin lo jatuh seperti ini, Ta."
Saat Putra memunggungi Meta dan melangkah menuju pintu, Aksel segera bersembunyi di balik tiang. Setelah itu, Putra keluar dari ruangan dengan senyuman lebar. Sepertinya dia sedang bahagia karena sudah mengungkapkan rasa sayangnya pada Meta.
Menunggu beberapa saat, Aksel berdiri dan memandangi punggung Putra. Tangannya sudah gatal ingin menubruk wajah sok suci cowok itu, padahal dia yang sengaja memancing kemarahannya waktu itu.
"Gue bakalan jadi orang orang pertama yang bikin lo babak belur dan masuk rumah sakit, liat aja!"
Setelahnya, Aksel merapikan bajunya dan melangkah memasuki ruangan. Isakan kecil diiringi tangisan pun menyambut kedatangannya, Aksel menemukan wanita yang disukainya tengah berjongkok sambil menutupi wajahnya. Secara tidak sengaja, ingatan di Yogyakarta terlintas di benaknya. Meta juga menangis saat itu, kemudian Aksel berbincang dengannya, membuat cewek itu mengerti tentang kesedihannya.
"Kita ketemu lagi diwaktu yang tepat, Ta. Gue rasa, Tuhan emang maunya lo berjodoh sama gue."
Aksel berjalan sangat percaya diri ke arah Meta. Cewek itu masih dalam posisi jongkok, tapi kini sudah menegakkan kedua pundaknya dan menyeka wajahnya. Aksel melihatnya dari belakang, Meta tidak pernah mau terlihat lemah di hadapan orang-orang.
Meta menarik ingusnya, lalu bangkit dan melipat tangan di depan dada. "Lo ngikutin gue?"
"Gue cuma ngikutin hati gue untuk selalu maafin lo, menerima semua keistimewaan lo, dan mencintai lo dengan sebaik-baiknya. Gue udah cocok belum jadi pacar lo?"
"Hama! Ngomong apa, sih, lo?!"
Karena geram, Meta membentak Aksel diikuti dengan gerakan memutar badan menghadap cowok menyebalkan itu. Menatapnya penuh emosi.
"Lo pasti lagi capek berjuang sendirian, lo butuh pundak gue, nggak, untuk istirahat?"
Meta mengerutkan keningnya, semakin tidak mengerti dengan apa yang Aksel katakan. "Sakit jiwa, ya, lo! Gue nggak ngerti lo ngomong apa!" teriaknya.
"Ta, dengerin gue," ujarnya sambil berjalan lebih dekat pada Meta, menyentuh pundak cewek itu dan memintanya duduk di kursi. Meta semakin mengerutkan kening, semakin tidak terima tapi malah menurut. "Lo paham, kan, kenapa planet-planet di angkasa nggak pernah jatuh?"
Dengan polosnya, Meta menggeleng, sungguh ia tidak tahu dan sedang tidak ingin berpikir. Anggaplah ia bodoh sekarang, tapi ia ingin mengetahui jawaban Aksel.
"Gue bingung, sebenarnya lo pinter apa bodoh, sih?" Aksel berdecak. "Padahal nggak pernah bolos kayak gue."
Meta menabok Aksel marah. "Gue tidur di kelas, puas lo!" balasnya, membuat cowok itu terkekeh.
"Karena mereka semua butuh gaya gravitasi. Dan kalau gue ibaratkan planet-planet itu kayak lo, gue akan senang hati jadi gravitasinya. Gue siap untuk selalu di sisi lo."
Melihat cowok itu menaik-turunkan alisnya dengan senyuman lebar, rasanya Meta ingin menampolnya bolak-balik. Apalagi setelah mendengar jawaban Aksel yang ngaco sekali, otaknya bahkan tidak mau memikirkannya.
Meta pun bangkit diikuti oleh Aksel. "Lo lupa kalau gue lagi marah sama lo? Gue benci banget sama lo, gue nggak suka lo ikut campur urusan gue, dan gue pengen lo musnah dari kehidupan ini!" teriak Meta dalam sekali tarikan napas, membuat Aksel terdiam sangat lama.
Aksel menatap gadis itu, senyumannya lenyap, habis sudah kesempatan untuk mendapatkan hati Meta. Karena sepertinya cewek itu benar-benar telah membencinya.
"Gue duluan, Ta."
Aksel langsung berbalik setelah pamit, kesedihannya tidak bisa disembunyikan. Meta juga menyesal, mulutnya sudah keterlaluan. Saat cowok itu mulai menjauh, Meta berusaha mengejar tapi urung karena ia takut akan membuat cowok itu semakin terluka.