Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Di rumah kakek, suasana terasa tegang saat Ny. Sarimukti menerima telepon yang membahas tentang menantunya, Jian An. Meski di luar tampak tenang, ada amarah yang tersirat di wajahnya. Begitu mendengar informasi detail tentang Saka dan bagaimana ia berhubungan dengan Jian An, rasa kesal Ny. Sarimukti semakin memuncak.
"Jadi dia memang seperti itu," gumam Ny. Sarimukti sambil menatap kosong ke arah jendela. "Berkelik dengan perempuan yang tidak seharusnya ia dekati. Tidak akan kubiarkan ini berlangsung begitu saja."
Ny. Sarimukti, yang selalu memiliki cara licik untuk mengontrol situasi, mulai merencanakan langkah-langkah untuk menghancurkan Saka. Saka, yang menurutnya sudah terlalu nyaman dengan hidupnya, tak boleh terus berkembang dalam lingkungan yang dianggapnya tidak pantas. Ia merasa memiliki kendali atas keluarga besar ini, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Saka, merusak rencana besar yang sudah ia susun dengan matang.
Dengan pikirannya yang tajam dan penuh strategi, Ny. Sarimukti menyusun rencana yang akan membuat Saka terpojok. Ia tahu, untuk menghancurkan seseorang seperti Saka, ia harus memanfaatkan setiap kelemahan yang ada, termasuk Jian An, yang kini menjadi sosok penting dalam kehidupan Saka. "Kau akan menyesal telah membuatku terpojok, Saka," pikirnya, dengan senyum penuh kebencian yang perlahan mengembang di bibirnya.
Ny. Sarimukti pun melanjutkan percakapannya di telepon, mengatur langkah-langkah selanjutnya. Ia tahu, ketika waktunya tiba, Saka tidak akan bisa lagi menghindari takdir yang telah ia atur.
"Aku ingin kamu atur pertemuan, makan malam untuk aku dan Jian An," ucap Ibu tiri Saka di telepon.
Ibu tiri Saka, Ny. Sarimukti, berbicara dengan suara tenang namun penuh perhitungan di ujung telepon. "Aku ingin kamu atur pertemuan, makan malam untuk aku dan Jian An," ujarnya dengan nada yang tidak memberikan ruang untuk penolakan.
Di seberang telepon, seseorang terdengar ragu sejenak, tetapi kemudian menjawab, "Tentu, Ny. Sarimukti. Saya akan atur semuanya sesuai permintaan Anda."
Ny. Sarimukti menutup telepon dengan penuh kepuasan, senyuman licik muncul di wajahnya. Ia tahu betul bahwa pertemuan dengan Jian An akan menjadi langkah awal dari permainan besarnya. Mengundang Jian An untuk makan malam bukan sekadar untuk bersikap ramah, tapi lebih untuk menguji batasan dan mengambil alih kontrol.
"Ia tidak akan bisa menghindar dariku. Aku akan menunjukkan siapa yang berkuasa di sini," pikir Ny. Sarimukti, sambil merencanakan apa yang akan ia lakukan pada pertemuan itu. Saka mungkin tidak tahu, tapi ia akan segera mengetahui bahwa kekuasaannya akan terancam oleh seseorang yang lebih kuat dirinya sendiri.
Senyum puas itu tetap menghiasi wajahnya saat ia mempersiapkan langkah-langkah berikutnya.
***
Saka duduk di meja rapat dengan wajah serius, dikelilingi oleh beberapa desainer dan tim manajernya. Di atas meja terhampar beberapa blueprint desain yang akan diajukan kepada investor di Australia. Setiap orang di ruangan itu tampak terfokus, mencatat atau mempersiapkan presentasi yang akan dipresentasikan pada rapat selanjutnya.
"Saya ingin kita menyelesaikan detail desain untuk proyek ini secepatnya," ujar Saka dengan nada yang tegas, matanya terfokus pada beberapa detail yang tertera di atas papan tulis. "Investor ingin melihat konsep yang matang dan inovatif. Desain ini harus menunjukkan kualitas tinggi yang sesuai dengan standar mereka."
Radja, yang duduk di sebelah Saka, menambahkan, "Kita juga harus memperhitungkan elemen-elemen budaya lokal agar desain kita bisa lebih diterima. Terutama elemen-elemen dari Australia yang unik dan berbeda."
Saka mengangguk setuju, lalu beralih ke layar proyektor yang menampilkan gambar-gambar sketsa dan beberapa render desain untuk proyek tersebut. "Pastikan tidak ada kesalahan kecil pun yang terlewat. Kita tidak bisa bermain-main dengan proyek sebesar ini. Ini akan menjadi langkah besar untuk perusahaan kita."
Ketika rapat berlanjut, Saka sesekali melirik jam tangannya. Di benaknya, ia tidak bisa menghilangkan rasa khawatir tentang keadaan Jian An. Ia tahu Ibu Tiri-nya, Ny. Sarimukti, tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, Saka berusaha menahan dirinya agar tidak terbawa perasaan di tengah kesibukannya.
"Setelah rapat ini, aku harus berbicara dengan Jian An," pikir Saka dalam hati, namun ia tidak ingin hal itu mengganggu konsentrasi rapat yang sedang berlangsung.
Saka terdiam sesaat, matanya tidak fokus pada Radja yang tengah berbicara. Pikiran Saka terbang kembali ke kejadian semalam, saat Jian An tiba-tiba mencium bibirnya. Rasanya seperti kilatan yang menyambar, mengguncang kesadarannya, dan membuatnya kehilangan fokus di tengah rapat ini.
Radja menunggu dengan cemas, melihat perubahan ekspresi Saka. "Pak Saka?" tanyanya lagi, kali ini dengan sedikit kebingungan, mencoba mendapatkan perhatian Saka yang tampaknya sedang melamun.
Saka terkejut, seolah baru sadar bahwa dia telah kehilangan fokus. "Ah, maaf Radja. Lanjutkan saja," jawabnya, berusaha mengembalikan konsentrasi. Namun, meskipun ia mencoba untuk tetap profesional, pikirannya tetap tertuju pada Jian An.
"Pak, jika Anda merasa ada yang kurang, mungkin kita bisa tambahkan beberapa elemen alam yang lebih khas dari Australia. Itu bisa membuat desain lebih unik," saran Radja, mengalihkan perhatian Saka pada topik yang sedang dibahas.
Saka mengangguk, mencoba mengabaikan gelisah dalam dirinya. "Iya, itu ide bagus. Kita akan buat desain yang lebih menggambarkan lingkungan alami mereka," jawabnya tanpa suara yang terlalu meyakinkan.
Namun, meskipun rapat berlangsung, Saka merasa semakin tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh terhadap Jian An. Ia tahu, hubungan ini takkan semudah yang dibayangkannya. Tapi, di saat yang sama, ia tak bisa menepis kenyataan bahwa Jian An telah menyentuh hati yang selama ini tertutup.
Jian An berdiri di depan kain Hianfu yang terpajang di galeri keluarga Saka, matanya terpaku pada motif bunga teratai yang terukir indah di permukaan kain itu. Setiap detail dari bunga itu mengingatkan Jian An pada ibunya, yang dahulu dengan penuh kasih mengajarkan cara menyulam dan menenun kain-kain indah seperti ini. Bunga teratai, yang selalu menjadi simbol kedamaian dan harapan bagi ibunya, kini seolah menggema dalam ingatan Jian An.
Setiap lekukan dan warna pada motif teratai itu terasa hidup di matanya, membawa kembali kenangan-kenangan manis yang dulu selalu dia bagikan bersama ibunya di rumah. Satu persatu, ingatan itu datang menghampiri, dan tanpa sadar, air mata mulai menetes dari pelupuk matanya. Jian An menahan isakannya, merasa hati ini begitu rapuh, seakan ada yang menggerogoti kenangan itu.
Bunga teratai selalu menjadi simbol ketahanan, tumbuh indah meski dari air yang keruh. Begitu pula ibunya yang selalu mengajarkan untuk tetap tegar meski hidup sering kali penuh dengan tantangan. Jian An mengusap air mata yang menetes, berusaha mengendalikan perasaannya, namun tak bisa menghindari rasa kehilangan yang begitu mendalam.
"Jian An?" Suara Saka mengejutkan, membuat Jian An sejenak tersadar dari lamunannya. Ia menoleh pelan, menatap Saka yang berdiri di pintu masuk galeri, dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Apakah kamu baik-baik saja?"
Jian An hanya tersenyum samar, mencoba menyembunyikan perasaannya. "Iya, hanya... mengenang masa lalu," jawabnya pelan, kembali menatap kain itu. "Bunga teratai ini... mengingatkan aku pada ibuku."
Saka mendekat, merasa cemas melihat ekspresi sedih yang terpancar dari wajah Jian An. "Kamu sangat mencintainya, ya?" tanya Saka, mencoba berbicara lembut, meski dalam hatinya ada kekhawatiran yang tak terungkapkan.
Jian An mengangguk, "Dia adalah segalanya bagiku... semuanya terasa berbeda sejak kepergiannya." Suara Jian An terdengar rapuh, penuh emosi yang tak bisa dia sembunyikan.