Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir Pertempuran Yang Pahit
Langit di atas Suradwipa berubah menjadi gelap gulita. Asap, debu, dan energi kanuragan memenuhi udara, membuat suasana arena alun-alun semakin mencekam. Raka, dengan tubuh yang menyala oleh Api Brajamusti Tingkat 2, berdiri di tengah arena. Wajahnya yang penuh luka menggambarkan kelelahan, tetapi matanya tetap bersinar dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di hadapannya, Patih Suradwipa, melayang di udara dengan aura hitam pekat yang menakutkan. Keduanya tahu, ini adalah momen penentuan.
“Aku akan mengakhiri ini sekarang!” seru sang patih, tangannya terangkat tinggi ke langit.
Dari tubuh Patih Suradwipa, muncul cahaya terang yang melesat ke langit. Dalam hitungan detik, puluhan tapak tangan raksasa muncul dari langit, bersinar seperti matahari tetapi memancarkan hawa dingin yang mencekam. Tapak-tapak itu bergerak dengan anggun tetapi mematikan, turun perlahan ke arah Raka.
Penduduk kota yang menyaksikan dari kejauhan mulai panik.
“Tapak Langit dan Tapak Bayangan! Tidak ada yang bisa selamat dari itu!” teriak seorang pendekar.
Mereka yang memiliki kanuragan segera melesat ke udara, meninggalkan arena seperti kawanan capung yang berhamburan di ladang. Bangku penonton kosong dalam hitungan detik, hanya menyisakan debu dan barang-barang yang ditinggalkan dalam kepanikan.
Di sisi lain arena, sang Pangeran Suradwipa, yang sebelumnya menyaksikan dengan penuh percaya diri, kini mulai panik. Ia segera diungsikan oleh para pengawalnya yang setia. Tari, yang dipaksa ikut melarikan diri, terus menoleh ke belakang dengan air mata mengalir. Dalam hatinya, ia terus berdoa untuk keselamatan Raka. “Jaka… maafkan aku…” bisiknya pelan, meskipun ia tahu pria itu bukanlah Jaka, tetapi seseorang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi dirinya.
Di tengah kekacauan itu, Raka berdiri tegak, memandang puluhan tapak raksasa yang turun dari langit. Ia tahu, ini adalah serangan terakhir sang patih, dan jika ia gagal menghentikannya, semuanya akan berakhir. Dengan tarikan napas dalam, Raka memusatkan seluruh energinya. Api di kedua tangannya menyala semakin besar, menciptakan kobaran merah jingga yang berpendar hingga beberapa meter.
“Aku tidak akan kalah!” teriaknya dengan penuh semangat.
Dengan kecepatan luar biasa, Raka melesat ke udara, langsung menuju tapak-tapak raksasa itu. Tinju apinya menghantam salah satu tapak, menciptakan ledakan besar yang mengguncang seluruh arena. Tapak itu hancur berkeping-keping, tetapi serpihan-serpihannya melayang ke berbagai arah, menghantam bangunan-bangunan di sekitar arena dan menghancurkannya.
Ledakan demi ledakan terus terjadi saat Raka menghancurkan tapak-tapak berikutnya. Namun, jumlah tapak itu terlalu banyak, dan beberapa di antaranya berhasil mencapai tanah, menciptakan kawah-kawah besar di alun-alun kota. Debu dan serpihan batu beterbangan, menambah kekacauan di seluruh kota Suradwipa.
Efek Kekacauan di Kota Suradwipa
Getaran akibat pertarungan itu terasa hingga ke pelosok kota. Bangunan-bangunan megah di sekitar alun-alun mulai runtuh satu per satu. Penduduk kota berlari berhamburan, membawa barang-barang yang bisa mereka selamatkan. Pohon-pohon tumbang, tanah merekah, dan asap hitam membubung ke langit.
Sementara itu, para pendekar yang sebelumnya menyaksikan pertarungan dari kejauhan kini mulai menyadari bahwa ini bukan lagi sekadar duel, tetapi bencana yang bisa menghancurkan seluruh kota.
Kembali ke arena, Raka terus melesat dari satu tapak ke tapak lainnya, menghancurkannya dengan pukulan penuh energi. Namun, ia tahu bahwa kekuatannya mulai melemah. Napasnya berat, dan tubuhnya terasa seperti terbakar dari dalam akibat penggunaan Api Brajamusti yang berlebihan.
Di sisi lain, Patih Suradwipa mulai kehilangan kesabarannya. Ia memusatkan seluruh energinya ke tapak terakhir, menciptakan cahaya yang begitu terang hingga seluruh langit Suradwipa tampak menyala.
“Kau tidak akan bisa menghentikan ini!” serunya dengan suara yang menggema.
Raka, dengan sisa tenaga terakhirnya, melesat ke udara. Tinju apinya yang menyala seperti kobaran lava diarahkan langsung ke tapak terakhir. Saat pukulan Raka bertemu dengan tapak itu, terjadi ledakan yang begitu besar hingga suara dentumannya terdengar hingga ke pelosok kerajaan.
Ledakan itu tidak hanya menghancurkan tapak terakhir, tetapi juga menciptakan gelombang kejut yang menyapu seluruh alun-alun. Bangunan-bangunan runtuh, tanah merekah, dan debu tebal memenuhi udara.
Namun, serangan Raka tidak berhenti di situ. Tinju apinya menembus tapak terakhir dan langsung mengenai wajah Patih Suradwipa. Sang patih terpental jauh keluar arena, tubuhnya menghantam sebuah bangunan besar hingga hancur berkeping-keping.
Di antara puing-puing yang berserakan, Raka berdiri di tengah arena yang kini rata dengan tanah. Tubuhnya penuh luka, dan napasnya terdengar berat, tetapi ia tahu bahwa ia telah menang. Para penonton yang tersisa memandangnya dengan takjub, meskipun sebagian besar dari mereka telah melarikan diri.
Namun, kebahagiaan Raka tidak bertahan lama. Dari kejauhan, ia melihat sang Pangeran Suradwipa berdiri dengan pisau di tangan. Di depannya, Tari, dengan wajah penuh ketakutan, tidak mampu bergerak.
“Jika aku tidak bisa memilikinya, maka tidak ada yang boleh memilikinya!” teriak sang pangeran dengan suara penuh amarah.
Raka, yang sudah kelelahan, mencoba melesat ke arah Tari, tetapi tubuhnya tidak cukup cepat. Dalam hitungan detik, pisau itu telah menancap di dada Tari. Gadis itu terjatuh, tubuhnya bersimbah darah.
“Tidak!” teriak Raka dengan suara yang menggema di seluruh arena.
Ia jatuh berlutut di samping tubuh Tari yang kini tak bergerak. Matanya yang penuh air mata menatap gadis itu dengan ekspresi penuh penyesalan. Dalam hatinya, ia merasa gagal memenuhi janjinya kepada Jaka untuk melindungi Tari.
Raka menggenggam tangan Tari yang dingin, air matanya jatuh ke tanah yang penuh darah dan debu.
“Maafkan aku…” bisiknya pelan. “Aku telah gagal… Aku tidak bisa melindungi mu…”
Bayangan Jaka muncul di benaknya, membuat rasa bersalah Raka semakin dalam. Ia teringat akan janji yang pernah ia buat, janji untuk membawa Tari kembali dengan selamat. Tetapi sekarang, semuanya telah hancur.
Di kejauhan, Mpu Bharada baru tiba memandang pemandangan itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan Raka, sebuah pelajaran yang harus ia terima.
“Anak muda,” gumam Mpu Bharada pelan, “hidup adalah perjalanan penuh kehilangan. Tetapi dari kehilangan itu, kau akan menemukan kekuatan yang sebenarnya.”
Namun, kata-kata bijak itu tidak cukup untuk meredakan kesedihan Raka. Di tengah kekacauan kota Suradwipa yang kini porak-poranda, Raka hanya bisa memeluk tubuh Tari yang dingin, air matanya terus mengalir tanpa henti.
“Aku telah gagal…” gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar di tengah gemuruh kehancuran. “Aku telah gagal…”
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍