NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Christopher melangkah mendekat, langkahnya terdengar pelan namun juga berat, bergema lembut di lantai marmer yang mengkilap, namun setiap hentakannya membawa tekanan yang membuat udara di kamar itu serasa menipis. Ia terus melangkah mendekat hingga jarak mereka hampir tak bersisa.

Mia menahan napasnya. Ia bisa merasakan hawa dingin dari tubuh laki-laki itu.

"Apa yang sudah pernah aku katakan sebelumnya?" suara pria itu terdengar dingin dan tajam.

Mia menunduk, bahunya sedikit gemetar. Pertanyaan itu seakan menggali kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Kata-kata yang seharusnya sudah dilupakannya, tetapi justru tertanam terlalu dalam.

Dengan suara bergetar, Mia menjawab dengan pelan, hampir seperti bisikan. "K-Kau menyuruhku... untuk tidak pernah bermain piano lagi."

Christopher menyeringai. "Bagus," ucapnya dengan tegas. "Sepertinya kau benar-benar ingin kembali ke masa itu, ya?"

Mata Mia membelalak. Kepanikan mulai membayang di wajahnya, menggantikan ekspresi bersalah yang tadi ia bawa.

"Aku hanya... ini hanya sekali," katanya tergesa, serta suaranya terputus-putus. "Aku janji tidak akan mengulanginya lagi..."

Napasnya tercekat, dan dengan nada yang hampir seperti memohon, ia melanjutkan, "Aku akan... aku akan menaruh pianonya di ruang bawah tanah kalau kau mau. Tolong, Chris... jangan marah..."

Namun Christopher hanya menatapnya dengan tenang, bahkan begitu tenang sehingga membuat bulu kuduk Mia meremang.

"Mungkin..." katanya datar, "aku memang terlalu lembut padamu."

Mia mundur selangkah, seolah ingin menjauh dari nada suara yang kini berubah lebih rendah yang menyerupai bisikan yang menakutkan.

"Kurasa, sudah saatnya aku memberimu pelajaran..." katanya perlahan, namun setiap katanya seperti ancaman yang tidak terucap. "...yang benar-benar bisa membuatmu jera."

Tanpa menunggu jawaban, Christopher berbalik. Kemudian ia melangkah keluar dari kamar tanpa menoleh sedikit pun, menyisakan pintu yang terbuka lebar dan udara yang mendadak menjadi dingin.

Mia tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya menggigil meski tidak ada angin yang bertiup. Matanya menatap punggung Christopher yang menghilang di balik pintu, namun hatinya justru dipenuhi oleh rasa ketakutan.

Beberapa menit kemudian Christopher kembali memasuki kamar, namun kali ini ada sesuatu di tangannya, ia membawa tongkat besi panjang yang mencolok dalam cengkeramannya. Cahaya lampu kamar memantulkan kilatan dingin dari permukaannya, membuat jantung Mia seketika terhenti.

Mata gadis itu seketika membelalak, dan tubuhnya kaku. Lalu detik berikutnya, kepanikan itu membuncah dengan hebat. "A-Apa yang... yang ingin kau lakukan dengan itu?!" jeritnya ketakutan.

Tanpa berpikir panjang, Mia berlari menghampiri piano yang berdiri megah di sudut ruangan. Ia berdiri di depannya, seolah tubuh kecilnya bisa menjadi tameng bagi benda yang amat ia sayangi itu.

"Tolong, jangan... Kak, tolong..." suaranya parau, tangis mulai mengoyak ketenangannya.

Ia terisak, memeluk sisi piano itu erat-erat. "Aku bersumpah tidak akan memainkannya lagi...! Aku bahkan tidak akan menyentuhnya lagi... Jangan... jangan hancurkan piano ini..."

Air mata telah membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat karena rasa ketakutan dan perasaan terancam akan kehilangan satu-satunya benda yang masih mengikatnya pada kenangan masa lalu.

"Ini satu-satunya peninggalan dari Ibuku..." ucapnya lirih. "Tolong, Kak... kumohon..."

Namun Christopher tetap melangkah dengan pasti. Sorot matanya dingin dan tak bergeming. Langkahnya seperti bayangan gelap yang tidak bisa Mia hindari, dan semakin dekat, semakin terasa menyakitkan.

Mia menangis lebih keras. "Kakak!! Aku mohon!! Ini satu-satunya yang aku punya darinya!!"

Tangisnya kini bukan lagi tangis oleh rasa takut, melainkan jeritan dari hati yang tercabik. Namun harapannya tetap tidak mendapatkan jawaban.

Christopher berdiri di hadapannya, napasnya mulai memburu, wajahnya dipenuhi oleh kemarahan yang sudah tertahan terlalu lama.

"KELUAR DARI SINI!!" bentaknya tiba-tiba.

Mia terlonjak, namun ia tidak bergerak dari tempatnya. Ia hanya menggeleng cepat. "TIDAK!! Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkannya!!" teriaknya, tubuhnya tetap berdiri kokoh di depan piano.

Christopher mencengkeram tongkat besi itu semakin erat. Dadanya naik turun, serta emosi sudah menguasainya tanpa ampun.

"Bagus... Bagus sekali...!!" desisnya penuh sarkasme.

Kemudian, ia menoleh ke arah tangga dan berteriak lantang, "Paman Jack!!"

Jeritan itu menggema di seluruh rumah, menghantarkan hawa ancaman yang tak terucapkan.

Paman Jack yang sedari tadi berada di lantai bawah, menggenggam kedua tangannya dengan gelisah. Rasa kecemasan telah membungkus tubuh renta itu sejak suara bentakan terdengar dari lantai atas. Ia tahu sesuatu telah terjadi. Namun, rasa ketakutannya telah menahan langkahnya untuk tidak segera naik.

Tetapi ketika terdengar teriakan Christopher memanggil namanya menggema, jantung Paman Jack serasa tercekat.

Dengan napas tersengal, ia segera menaiki tangga. Dan ketika tiba di ambang pintu kamar, pandangannya seketika membeku.

Di hadapannya, Christopher berdiri tegap dengan menggenggam tongkat besi yang ada di tangan kanannya. Wajah pria itu tidak menampakkan emosi, namun sorot matanya begitu tajam dan dipenuhi oleh niat yang mengerikan.

"Tuan Chris?! Apa yang ingin Anda lakukan?!" seru Paman Jack terkejut.

Christopher tidak mengalihkan pandangannya dari piano itu.

"Tarik dia," ucapnya dingin dengan tegas dan memerintah. "Tahan dia untukku."

Paman Jack menoleh ke arah Mia. Gadis itu terlihat hancur, air matanya telah membasahi wajah gadis itu, bahkan terlihat tubuhnya masih gemetar, namun ia tetap berdiri melindungi piano itu dengan segala tenaga yang tersisa.

Pandangan Paman Jack melembut, ada rasa kasihan di sana. Tetapi sebelum ia sempat melangkah, tangan Christopher lebih dulu menjambak lengan Mia dengan kasar dan menarik tubuh mungil itu, lalu melemparkannya ke arah pria tua itu.

"Pegang dia baik-baik!!" bentak Christopher, suaranya keras dan menggema di dalam kamar.

Paman Jack terhuyung namun berhasil menangkap Mia yang kini mulai menjerit panik.

"Tidak... Tidak! Kak Chris, jangan!!" teriak Mia dengan putus asa.

Christopher telah membalikkan badan, lalu mengangkat tongkat besi itu tinggi-tinggi kemudian mengarahkannya langsung ke piano yang kini tak lagi dilindungi.

"TIDAK!!!" jerit Mia, histeris.

Dengan kekuatan terakhir yang tersisa, ia meronta dengan sekuat tenaga dari cengkeraman Paman Jack. Tubuhnya limbung, namun ia berhasil jatuh berlutut di lantai, lalu merangkak cepat dan memeluk kaki Christopher.

"Tolong... jangan... kumohon...!" isaknya pecah dipenuhi oleh kepanikan.

"Itu... satu-satunya yang ditinggalkan Ibu untukku..." bisiknya terisak. Tubuh Mia kini gemetar hebat. Ia mencengkeram kaki suaminya erat-erat.

"Kalau kau ingin menghancurkan sesuatu... hancurkan aku saja!" ucapnya, suaranya pecah oleh tangisan. "Pukul aku! Lukai aku! Tapi... tolong... jangan benda ini..."

Tangisnya menjadi lebih keras. Luka di hatinya tidak bisa lagi disembunyikannya, dan kini, ia sudah tidak lagi memikirkan rasa sakit fisiknya. Ia hanya ingin menyelamatkan satu-satunya kenangan yang ia miliki dari mendiang ibunya.

Christopher menunduk, menatap Mia yang terpuruk di kakinya. Akan tetapi, wajahnya begitu datar, tidak ada belas kasih pada Mia.

"Aku sudah bilang..." suaranya rendah, namun begitu dingin. "Aku ingin memberimu pelajaran yang tidak akan pernah bisa kau lupakan."

Kemudian..

BANG!

Suara logam menghantam keras tuts putih piano itu, menciptakan dentuman melengking yang membuat udara di ruangan seketika membeku.

BANG!!

Sekali lagi, tongkat besi itu menghantam, kini menyasar bagian kayu di sisi piano. Suaranya memekakkan telinga, mengoyak keheningan menjadi serpihan teror.

KRAK!!

Pecahan kayu terbang ke segala arah. Tuts piano berserakan di lantai seperti gigi-gigi yang tercabut dari rahangnya. Suara kehancuran itu terdengar seperti jeritan jiwa yang tercabik, terdengar pilu dan tidak termaafkan.

Mia terdiam di tempat. Tubuhnya masih berlutut, namun pandangan matanya kosong, lurus menatap piano yang kini telah berubah menjadi puing. Tidak ada lagi air mata dan jeritan seperti tadi. Yang tersisa hanyalah kehampaan.

Christopher menjatuhkan tongkat besi itu dari tangannya. Benda itu jatuh dan menggelinding di samping kaki Mia dengan bunyi berat.

Ia merapikan kerah kemejanya dengan tenang, seolah baru saja menyelesaikan hal sepele. Lalu ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku dalam jasnya, kemudian menyalakannya perlahan.

"Jika kau berani menyentuh piano lagi..." ucapnya dengan suara datar, tanpa satu pun nada penyesalan.

Asap rokok mengalir keluar dari bibirnya yang tipis. "...aku akan menghancurkan kedua tangan dan kakimu."

Tanpa menunggu reaksi dari Mia, ia berbalik dan melangkah pergi. Tidak menoleh dan tidak peduli dengan keadaan Mia sekarang.

Langkah kakinya menghilang di lorong, meninggalkan keheningan pekat di kamar yang terasa hancur.

Mia tetap diam. Ia tidak menangis dan tidak menjerit. Bahkan tidak bergerak untuk waktu yang lama.

Hanya perlahan, tubuhnya mulai bangkit. Dengan gerakan nyaris seperti mesin, ia melangkah ke arah puing-puing piano itu. Tangannya terulur, menyentuh pecahan tuts yang kini sudah retak, penuh dengan serpihan kayu dan debu.

Ia lalu duduk di sana, di antara reruntuhan benda yang pernah menjadi jiwanya. Tubuhnya tidak bergeming. Mata kosong itu menatap jauh, seperti tidak lagi melihat dunia yang nyata.

Dalam diamnya, sesuatu di dalam dirinya turut hancur bersama dentuman terakhir tongkat besi tadi.

- Keesokan Paginya - 

Paman Jack berdiri ragu di depan pintu kamar Mia. Di tangannya, ia membawa sebuah nampan berisi sup labu hangat dan sepotong roti lembut, makanan itu merupakan makanan favorit sang nona muda. Napasnya tertahan, dan matanya menatap pintu kayu itu dengan cemas.

“Sudah seharian dia tidak keluar kamar. Bahkan semalam tidak terdengar suara apa pun,” gumamnya pelan.

Di belakangnya, Bibi Im berdiri dengan tangan tergenggam erat di depan apron. Raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran yang sama.

“Dia harus makan, Paman Jack. Beberapa hari belakangan tubuhnya sudah terlalu kurus…” ucap Bibi Im lirih.

Paman Jack mengangguk dan menghela napas dalam. Ia mengangkat tangan dan mengetuk pintu kamar itu dengan lembut. “Nona Muda Mia… ini saya, Paman Jack. Saya membawakan makanan. Anda harus makan sesuatu, Nona…”

Tak ada balasan. Keheningan menyelimuti lorong.

Setelah menunggu beberapa detik, Paman Jack memberanikan diri memutar gagang pintu kamar itu.

Ternyata tidak terkunci.

Perlahan, ia mendorong pintu dan melangkah masuk. Aroma ruangan yang lembap dan dingin langsung menyergap inderanya.

Di dalam kamar, Mia duduk di tepi ranjang, tubuhnya hampir tidak bergerak. Kepalanya tertunduk, dan kedua tangannya menggenggam sebuah bingkai foto. Cahaya pagi yang masuk dari jendela menyorot wajahnya yang tampak pucat.

Paman Jack terkesiap. “Nona Muda! Saya… saya kira anda pingsan…”

Gadis itu tidak menjawab. Hanya mengangkat kepalanya perlahan, lalu menunjukkan bingkai foto yang ia genggam.

Senyum samar menghiasi wajahnya. “Menurut Paman… dia terlihat bagaimana?” tanyanya pelan.

Paman Jack menatap bingkai foto itu dengan mata bingung. Perlahan, ia menunduk untuk melihatnya lebih dekat.

Di dalam foto itu, terdapat gambar seorang wanita muda yang tersenyum hangat ke arah kamera. Ia duduk di depan sebuah piano, sambil memeluk anak perempuan kecil yang tertawa cerah di pelukannya.

Paman Jack terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca.

“Itu… Nyonya Kim, bukan? Ibu Anda…” bisiknya lirih.

Mia mengangguk pelan. “Iya… Kim Heejin. Ibu yang sangat luar biasa…”

Ia menatap foto itu dalam diam, lalu mengusap permukaan kacanya dengan ibu jarinya.

“Apa menurut Paman… dia cantik?”

Tanpa ragu, Paman Jack menjawab, “Tentu saja. Beliau adalah wanita tercantik yang pernah saya lihat.”

Mia menarik napas panjang, lalu berbisik seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Sebenarnya, sejak kecil aku tidak suka piano…”

Paman Jack mendengarkan tanpa menyela, menunggu gadis itu untk melanjutkannya.

“Tapi Ibu tidak pernah memarahiku. Ia selalu sabar mengajarkanku. Bahkan saat aku pura-pura tertidur agar tidak ikut latihan piano…”

Ia tertawa kecil, namun tawanya terdengar getir. Suaranya bergetar saat ia melanjutkan.

“Ia akan membawakan secangkir cokelat panas, dan duduk di sebelahku, lalu mulai berbicara tentang kompetisi, konser, dan tentang piano ini…”

Mia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi. Namun air matanya jatuh juga, membasahi kaca bingkai foto yang ia genggam erat.

“Ibu bilang, piano itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ke-18. Dan sekarang… semuanya telah hancur…”

Paman Jack tidak mampu berkata-kata. Ia hanya melangkah mendekat, lalu berjongkok perlahan di dekat ranjang.

Mia menatapnya dengan mata merah. “Aku takut… takut suatu hari aku akan melupakan wajahnya. Tapi aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana dia menatapku saat mengajariku bermain…”

Suara gadis itu pecah. Tubuhnya bergetar saat ia menangis pelan.

“Aku merindukannya, Paman Jack… Aku ingin… aku ingin dia memelukku lagi…”

Tangisnya pecah sepenuhnya, mengisi ruangan dengan suara pilu yang menyesakkan dada. Bukan tangisan keras atau histeris. Tapi lirih, patah, dan begitu dalam, seperti tangisan seorang anak yang telah kehilangan seluruh dunianya.

Paman Jack tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di lantai, menunduk hormat di hadapan nona mudanya.

'Anak perempuan itu tumbuh dalam kesepian dan luka. Dunia telah membuatnya kuat, terlalu kuat untuk usianya. Tetapi di hadapan ibunya, bahkan hanya dalam kenangan, ia kembali menjadi anak kecil yang hancur, dan memohon untuk dipeluk kembali'

.

.

.

.

.

.

.

- 𝐓𝐁𝐂 -

1
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!