Devandra pernah menjadi bagian dari kisah masa lalu Audrey. Pernah menjadi bahagia dan sedih hidupnya. Pernah menjadi luka yang sampai saat ini masih membekas.
Audrey sedang berusaha mengobati lukanya, menghilangkan sakitnya. Tapi disaat itu pula Devan hadir kembali.
Apakah Audrey akan menghilang kembali atau menghadapi lukanya agar ia tak lagi mengingat Devandra dihidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Pertanyaan Egi malam itu membungkam mulut Audrey. Mau mengakui tapi sisi hatinya menolak. Ia takut menyakiti. Tapi disisi lain, ia masih merindukan Devan. Ia hanya berusaha membentengi diri agar tak lagi terjebak diantara Devan dan Naira.
"Kalau kamu memang masih menyukai Devan, nggak ada salahnya mendengar penjelasannya," ucap Egi malam itu.
"Tapi..."
"Nggak harus sekarang Drey, pikirkan aja dulu. Mau sampai kapan kamu menghindar? Padahal kamu cuma butuh kepastian. Kalau kamu sudah tahu, kamu pasti bisa memutuskan mau menjauh atau menjalin hubungan lagi dengan dia," ucap Egi memainkan kunci mobil di tangannya. Audrey hanya diam, mengusap tangannya. Angin laut malam itu cukup membuatnya dingin. Ditambah lagi dress yang dipakainya tidak menutupi tangan dan bahunya.
Tiba-tiba Egi memakaikan jaket miliknya yang selalu ada di mobilnya. Audrey memperhatikan Egi, malam ini dia bukan Egi yang menyebalkan. Perlakuannya membuat siapapun yang melihat pasti senyum-senyum. Hal kecil yang membuat Audrey merasa... diperhatikan. Mulai dari membuka pintu, menarik kursi saat ingin duduk, dan menepuk tangannya saat cemas. Dan sekarang ia memakaikan jaket untuknya. Dasar! Jomblo belum move on!
"Ini...?" Egi kaget melihat bekas luka di punggung Audrey. Tepatnya garis panjang di tulang belikatnya. Sepertinya cukup panjang.
Audrey segera menarik jaket itu dan menutupi dirinya. Mencoba mencari kehangatan sekaligus perlindungan.
"Kenapa?" tanya Egi. Audrey menggeleng.
"Sampai kapan kamu menyimpan luka sendiri? Tidak ada yang menyalahkanmu, tiap orang punya masa lalu. Tiap orang pernah melakukan kesalahan. Tapi orang juga belajar untuk memperbaiki," ucap Egi. Audrey hanya diam. Dia masih trauma dengan luka itu. Rasanya baru kemarin ia mendapatkan luka panjang itu.
"Aku takut Gi..." ucap Audrey pelan.
"Jangan takut. Semua pasti berlalu. Ketakutan itu bukan disimpan tapi dihadapi," ucap Egi merangkul Audrey. Audrey meneteskan air mata. Selama ini ia tak pernah mau menceritakan bagaimana ia mendapatkan luka itu. Ia membiarkan orang yang bercerita saat melihatnya. Sampai beberapa temannya mengatakan bahwa ia pantas mendapatkan luka itu karena dia melukai hubungan Devan dan Naira.
"Kalau kamu keberatan, nggak apa. Jangan dipaksa buat cerita. Aku kesana dulu beli minuman, kamu mau?" tanya Egi.
"Boleh deh," ucap Audrey yang malas berjalan. Ia masih memakai dress dan high heels, pasti tidak nyaman berjalan diatas pasir. Egi pergi menuju salah satu warung.
Audrey memikirkan perkataan Egi. Audrey ingin semua baik-baik saja dan melupakan kisah yang lalu. Tapi saat ada Naira dengan sikap yang masih memusuhinya membuat Audrey takut. Bagaimana caranya agar ia bisa meminta maaf pada Naira? Sepertinya Naira sangat dendam.
Egi membawa nampan berisi mie kuah dan dua minuman hangat.
"Kamu makan lagi?" tanya Audrey.
"Lapar lagi, kamu mau? Kalau mau makan aja ini, aku pesan lagi," Egi menyodorkan nampan. Audrey menggeleng.
"Makan di dalam aja sana!" ucap Audrey. Egi urung masuk ke mobil.
"Lihat! Itu ada kursi kosong!" tunjuk Egi dengan mulutnya. Audrey melihat sepasang remaja baru beranjak dari kursi yang disediakan. Egi dan Audrey segera menempati tempat itu.
Egi memakan mienya dengan lahap. Sementara Audrey masih memikirkan perkataan Egi sambil sesekali menyesap coklat panasnya.
"Kenyangnyaaa..." ucap Egi sambil mengusap perutnya.
"Perasaan dari tadi makan terus, nggak kenyang-kenyang juga," ucap Audrey.
"Jangan pake perasaan, nanti baper," Egi mengedipkan sebelah matanya.
"Apa sih!" Audrey memukul bahu Egi pelan.
"Jadi, kamu beneran nggak ada perasaan apapun ke aku?" tanya Egi sambil menyesap minumannya. Audrey menatapnya, kali ini ia tidak sedang bercanda. Tapi ia melihat Egi serius menatap buih putih dari ombak.
"Nggak usah bercanda, itu cewek kamu yang selusin itu mau dikemanain?" ucap Audrey.
"Mereka yang ngejar, aku sih fokus ke kamu," ucap Egi menatap Audrey dalam.
'Ini becanda kan? Dia becanda kan? Tapi kenapa serius gini?' ucap Audrey dalam hati.
"Tapi masa lalu kamu belum selesai," ucap Egi sambil tersenyum sinis.
"Maaf..."
"Aku ngerti, tapi kalau suatu saat kamu bisa berdamai dengan masa lalu. Kamu bisa pertimbangkan aku. Dan sekarang aku mau kamu berjanji untuk melawan rasa takut kamu. Siapapun nggak akan bisa sakitin kamu, kamu bisa melawan," ucap Egi.
"Makasih Gi, aku nggak tau harus bilang apa..."
"Besok-besok tinggal bilang I love you too, mau aku ajarin sekarang?" tanya Egi dengan senyum jahilnya. Audrey kembali mencubit paha Egi membuat laki-laki itu meringis sambil mengusap pahanya.
"Kalau lecet kamu yang olesin obatnya," ucap Egi.
"Males! Dasar mesum!" ucap Audrey.
"Kamu yang mesum! Kan oles obatnya di paha. Bukan ditempat lain," ucap Egi. Wajah Audrey memerah. Untung aja ini malam, kalau nggak Egi pasti akan menertawainya dengan keras.
"Tapi makasih ya Gi, untuk malam ini," ucap Audrey. Egi mengangguk.
"Soal luka ini..."
"kalau kamu belum siap cerita nggak apa, " ucap Egi.
"Luka ini aku dapat dari Naira, karena aku mengganggu hubungannya dengan Devan. Sepulang sekolah, selain melempar tasku, merebut buku yang diberikan Devan, mereka juga memukuliku. Terakhir mungkin karena aku melawan, Naira mengambil sebuah botol kaca dan menusukku. Setelah ditusuk, dia juga menggoreskannya sampai ke bawah sini," ucap Audrey sambil menyentuh pinggangnya.
"Separah itu?" tanya Egi.
"Aku bahkan lupa dijahit berapa, yang aku ingat seragamku sudah merah. Dan beberapa orang membantuku ke klinik terdekat di sekolah," ucap Audrey.
"Mengerikan, kamu harus berhati-hati Drey. Menurutku lebih baik semua ini cepat selesai dan Naira tidak bisa menyakitimu lagi," ucap Egi.
"Mauku gitu, tapi Naira masih membenciku. Dan Devan tidak bisa menjaga Naira agar tidak mendekatiku. Maksudku, kita sudah jalan masing-masing. Aku sudah berusaha menjauh tapi Devan selalu saja ada dimana-mana," keluh Audrey.
"Lalu saat kamu terluka, tindakan sekolah bagaimana?" tanya Egi.
"Tadinya aku mau pindah sekolah, mama sampai marah gara-gara aku. Sayangnya kami sudah di kelas 3, sudah mau kelulusan. Aku tetap melanjutkan sekolah dengan rasa takut. Sedangkan Naira aku tidak tahu. Dengar-dengar kabar dia dipindahkan, tapi ada juga yang menyebutkan dia homeschooling. Entahlah," ucap Audrey.
"Lalu Devan?"
"Dia sempat beberapa hari tidak masuk sekolah, saat masuk sekolah dia menghindar terus. Entah kenapa. Saat itu aku benar-benar bodoh, masih menghubunginya dan ingin bicara tapi dia menolak. Wajar kan kalau sekarang aku melakukan hal yang sama?" tanya Audrey.
"kalau kamu masih takut wajar saja, tapi kamu sudah jauh lebih kuat. Aku rasa sekarang saatnya kalian dewasa. Bicarakan hal ini, jangan sampai kembali terjadi hal-hal seperti yang lalu," ucap Egi.
"Aku belum berani berhadapan dengan Naira," ucap Audrey.
"Pelan-pelan. Atau kalau kamu mau bicara dengannya, aku siap menemani," ucap Egi.
"Makasih Gi, nanti kupikirkan," jawab Audrey