NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Sistem / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

" Belum Usai "

Paris, malam ini, melukis sunyi dengan tinta kelabu.

Langit menggantung rendah, seperti rahasia yang enggan dibisikkan. Atap-atap batu berdiri membatu, membeku bersama kenangan yang enggan dilupakan. Cahaya lampu jalan memantul di jendela hotel, menciptakan bayangan samar yang bergoyang pelan—seperti masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Dari lantai tujuh, dunia terasa jauh. Terlalu jauh. Seolah aku sedang menonton hidup dari luar kaca, bukan bagian dari apa pun lagi. Hanya aku, sepi, dan angin yang mengetuk jendela. Membawa aroma dingin yang tak cuma menyusup ke kulit, tapi juga menembus hati.

Tapi bukan dingin itu yang membuat bulu kudukku berdiri.

Bukan sepi, bukan gelap.

Melainkan sebuah ancaman yang tiba tiba datang. Bukan acungan senjata. Tapi ancamannya terasa… sangat nyata.

Padahal baru kemarin rasanya hidup ini pulih. Setelah aku melamar Liana.

Tawanya sederhana. Tatapannya jernih. Caranya melihat dunia membuat segalanya tampak mudah dimaafkan. Tapi takdir selalu punya caranya sendiri. Ia seperti angin musim gugur—datang tanpa aba-aba, membawa guguran harapan, dan pergi secepat datangnya.

Dan malam ini, takdir itu menyelusup lewat celah pintu.

Diam. Tanpa suara.

Tanpa nama.

Sebuah amplop tebal, kertasnya mahal. Seolah berasal dari pesta bangsawan. Tapi tidak ada undangan, tidak ada janji, tidak ada ucapan selamat.

Di dalamnya, hanya satu hal.

Satu foto.

Aku. Pierre. Dan Liana.

Di ambil saat kami kemarin berdiri di depan hotel, tersenyum ringan. Tapi yang membuatku tercekat bukan wajah kami—melainkan sudut pengambilannya. Terlalu dekat. Terlalu tajam. Kamera itu bukan kamera biasa.

Ini bukan kebetulan. Bukan iseng.

Ini… peringatan.

Aku membalik foto itu.

Tulisan tangan di baliknya rapi. Tegas. Seperti hasil mesin tik tua yang masih bekerja dengan sabar dari zaman yang telah lama pergi.

> You silenced the river. Shall we silence the source?

Aku membaca kalimat itu lama.

Tak perlu nada tinggi untuk mengguncang hati. Ancaman paling mengerikan justru datang dalam suara paling tenang.

Dua menit setelah aku menelepon Pierre, ia muncul. Wajahnya dingin. Di tangannya, amplop yang sama.

Kami bertukar pandang. Tak perlu kata-kata. Kami tahu—ini bukan sekadar permainan.

“Ada yang janggal,” gumam Pierre, pelan. “Bahasa Inggrisnya terlalu rapi. Terlalu santun. Seolah ditulis oleh orang yang biasa menyembunyikan pisau di balik senyum.”

Aku mengangguk pelan. “Kita harus tahu siapa yang mengirim ini.”

Pierre menarik napas. Tatapannya menembus jendela, seolah ingin menabrak gemerlap kota yang tak tahu apa-apa.

“Aku tahu siapa yang bisa bantu,” kenalan ku. “Namanya Jules. Dulu dia kerja di bagian forensik intelijen kementerian pertahanan negara Perancis. Gila sedikit, tapi otaknya tajam seperti jarum bedah.”

“Dia bisa lacak ini?”

“Kalau ada yang bisa, cuma dia.”

Kami terdiam. Tapi ini bukan diam yang tenang. Ini semacam diam yang membuat jantung berdetak lebih cepat. Seolah ada yang mengawasi. Di luar sana. Di balik bayangan.

Dan angin yang kembali mengetuk jendela malam ini… membawa rasa itu.

“Kenapa justru sekarang? Di Paris? Bukankah semua ini seharusnya sudah selesai?” bisikku. Entah pada Pierre. Entah pada langit.

Pierre berdiri perlahan. Suaranya nyaris seperti bisikan.

“Sepertinya ini masih berkaitan dengan apa yang kau lakukan di Bukit Barisan, Johan. Dan kurasa, ada yang sangat tidak suka dengan itu.”

Aku menatap foto itu sekali lagi.

Ada hal-hal yang belum kupahami. Belum kuketahui. Entah siapa yang mengirimnya. Dari Indonesia? Dari luar? Tapi jelas satu hal—apa yang kupikir telah usai, ternyata belum benar-benar selesai.

Dan mereka mengancam akan membungkam sumber dari kekacauan bisnis mereka.

Aku mengepalkan foto itu.

Bukan karena marah. Bukan karena takut. Tapi karena aku tahu, malam ini, sebuah pintu yang tak seharusnya kubuka… telah terbuka.

Dan di balik pintu itu, perang yang sebenarnya sedang menunggu.

Dua jam setelah percakapan itu, kami menuju tempat tinggal Jules dengan mobil milik Pierre. Jalanan Paris malam itu sepi, seperti ikut menyimpan rahasia. Saat tiba di gang kecil, Pierre memarkir mobil. Kami turun tanpa banyak bicara. Hanya langkah pelan yang mengiringi kami, menembus dinginnya malam yang diam-diam menggigilkan badan.

Tak ada percakapan. Napas kami naik turun, pelan. Seperti masing-masing sedang menahan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Pierre bilang Jules tak suka keramaian. Ia tinggal di sudut kota yang bahkan turis pun enggan datangi. Jalannya sempit, gelap, dan sepi. Paris yang biasanya terang dan sibuk, malam ini seperti ikut memeluk gelap.

Liana menggenggam tanganku. Erat. Aku membalasnya. Tak ada kata, tapi lewat genggaman itu, kami tahu satu hal: apapun yang menanti di ujung malam ini, kami hadapi bersama.

Pintu besi tua itu berdiri di hadapan kami. Tak ada bel, tak ada nama. Hanya sepotong dunia yang tersembunyi di balik lapisan karat dan waktu.

Pierre mengetuk tiga kali. Pola yang aneh. Seperti sandi, dan seseorang di dalam pasti memahaminya.

Pintu terbuka.

Seorang pria kurus berdiri di ambang. Rambutnya putih, wajahnya keras, sorot matanya tajam. Sekilas terlihat renta, tapi ada sesuatu dari dirinya yang membuat kami tak bisa sembarangan menilainya. Seperti potongan masa lalu yang menolak punah.

"Pierre," gumamnya pelan.

Lalu matanya beralih padaku dan Liana. "Dan kalian siapa?"

Pierre menjelaskan siapa kami. Jules mendengar, tak banyak tanya, lalu mempersilakan masuk.

Ruangannya gelap dan sempit. Rak-rak besi memenuhi dinding. Kabel berserakan. Monitor tua menyala redup. Ada bau kopi basi dan logam tua di udara. Tapi anehnya, tempat itu terasa aman. Seperti bunker. Tempat para pemburu kebenaran bersembunyi.

Pierre menyerahkan amplop pada Jules.

Ia membukanya tanpa ekspresi. Matanya menelusuri isinya. Tangannya menyentuh tinta. Lalu, tanpa bicara, ia mengangkat kertas itu, mengendusnya sebentar, sebelum tersenyum kecil.

Senyum yang membuat bulu kudukku berdiri. Bukan karena ramah. Tapi karena seperti tahu terlalu banyak.

“Ini bukan ulah amatir,” gumamnya.

“Kertasnya tua, tintanya dari printer generasi lama. Mahal. Ancamannya juga rapi, bahkan puitis. Seperti bunga beracun yang tumbuh di taman istana.”

Aku bertanya pelan, “Bisa kau lacak siapa pengirimnya?”

Jules menatapku, sinis. “Kau pikir kau sedang bicara dengan siapa?”

Ia menyeringai. “Duduklah.”

Lalu ia mulai bekerja. Diam-diam. Hanya suara ketikan dan dengung kipas komputer yang terdengar. Cahaya layar menyinari wajahnya—keras dan dingin. Seperti batu karang yang tak pernah lelah dihantam gelombang.

Kami berdiri di belakangnya. Liana duduk di kursi tua, memeluk tubuh sendiri. Aku bersandar ke dinding, menatap foto itu—yang kini tak lagi menyembunyikan rahasia, hanya menyisakan ketakutan.

“Foto ini bukan dari kamera biasa,” gumam Jules tanpa menoleh. “Sudutnya, tajamnya, kedalaman warnanya. Ini bukan dari ponsel. Juga bukan DSLR umum.”

Ia memperbesar gambar. Menunjuk sudut jendela.

“Kau lihat ini?”

Kami mendekat. Di sana, nyaris tak terlihat, ada pantulan tripod. Dan lensa.

“Lensa panjang, bentuk khas. Aku tahu ini.”

Ia mengambil map tua. Mengeluarkan katalog kamera. Lalu menunjuk dua tipe.

“Hanya dua kamera yang bisa ambil gambar sepeka ini. Argon Phantom-X. Dan SpectraLens Omega-12. Buatan Amerika. Dijual hanya untuk lembaga militer, intelijen, atau instansi resmi.”

Aku menatap Pierre. Wajahnya mengeras.

“Berapa banyak kamera kayak gitu di Eropa?”

“Kurang dari dua ratus,” jawab Jules. “Dan aku tahu ke mana saja dikirim.”

Ia mulai mengetik cepat. Layar menampilkan daftar kode negara, instansi, dan nomor seri.

“Dari pencahayaan foto ini… aku yakin ini dari SpectraLens. Ada pantulan khas infrared. Hanya lima unit aktif di Prancis. Dua milik kedutaan, satu milik Interpol, dua lagi... tak jelas siapa pemilik akhirnya.”

Aku menarik napas. Dalam. “Jadi kamera ini dipakai pihak tak resmi?”

“Bisa jadi,” gumam Jules. “Tapi jelas bukan orang sembarangan. Ini bukan kerjaan paparazzi. Ini kerjaan orang yang terlatih. Punya akses. Dan punya alasan kuat mengawasi kalian.”

Liana berdiri. “Intelijen?”

Jules mengangkat bahu. “Atau mafia internasional. Tapi satu hal pasti: mereka ingin kalian tahu... bahwa mereka melihat.”

Ruangan terasa lebih dingin. Sunyi. Hanya detak jantung yang terdengar di kepala masing-masing.

Pierre maju. “Kita harus tahu siapa pemilik dua kamera tak terdata itu.”

Jules mengangguk. “Beri aku waktu. Kamera secanggih ini meninggalkan jejak. Spektrumnya bisa kulacak lewat sinyal satelit.”

Aku mengepalkan tangan. Bukan karena takut. Tapi karena rasa lama tiba-tiba muncul dari bayang-bayang:

Bukit Barisan.

Kasus ganja.

Yang kupikir sudah berakhir.

Ternyata belum.

Dan kini mereka datang... dengan alat negara, dengan ancaman diam-diam, dengan ketepatan lensa yang bisa menembus kepala kita.

Pierre bergumam pelan, “Kalau ini kerjaan jaringan lama... berarti ini jauh lebih besar dari yang kita kira, Johan.”

Aku menatap Liana. Di matanya, aku melihat apa yang kurasakan.

Kami tak lari. Tapi kami juga belum siap perang.

Lalu Jules menoleh. Tatapannya tajam. Suaranya pelan. Tapi menancap dalam.

“Kalian sudah masuk terlalu dalam,” katanya.

“Dan keluar… bukan lagi pilihan.”

Tak ada yang menjawab kalimat terakhir Jules.

Kami semua diam.

Karena kami tahu persis… dia tidak sedang menggertak. Tidak sedang menakut-nakuti. Tidak sedang bermain tebak-tebakan.

“Kalian tinggal di hotel mana?” tanya Jules, suaranya datar.

“Montparnasse,” jawab Pierre. “Dekat Rue Vavin.”

Jules menoleh perlahan. Menatap Pierre cukup lama. Matanya dingin, nyaris beku.

“Tinggalkan malam ini juga,” ujarnya. Pelan, tapi menekan. Seperti palu godam jatuh tanpa suara.

Pierre mengernyit. “Kenapa?”

Jules menatap lurus ke arahnya. “Karena kalau mereka cukup gila untuk ngirim ancaman pakai kamera SpectraLens, maka mereka cukup nekat untuk datang langsung.”

Liana menegang di sebelahku.

Aku langsung menggenggam bahunya.

Dunia terasa runtuh sedetik.

“Kita bisa pindah ke tempatku,” ucap Pierre, cepat. “Ada apartemen kecil di pinggir kota. Sunyi. Tak ada catatan atas nama Johan. Tak ada siapa pun yang akan tahu.”

Aku menoleh ke arah Pierre. “Tapi kita masih ada rapat terakhir dengan investor, Pierre…”

Pierre menatap lurus ke jalan di depan jendela.

“Tenang,” katanya. “Ini jauh lebih penting. Biar aku yang urus semuanya.”

Jules menutup laptopnya.

Tapi wajahnya tak ikut tenang. Masih tegang. Masih waspada.

Ia membuka laci kecil di samping meja. Mengambil sebuah kotak logam. Lalu menyerahkannya padaku.

“Ambil ini,” katanya.

Aku membuka kotaknya.

Isinya: sebuah flashdisk. Warna hitam. Dingin. Kosong tanpa label.

“Ini isinya?” tanyaku pelan.

Jules mengangguk. “Potongan-potongan jejak digital dari pengirim ancaman itu. Bukan bukti langsung. Tapi cukup untuk membuat orang-orang tertentu merasa risih, tidak nyaman, gelisah. Jangan sembarang colok. Dan jangan simpan di tempat terbuka. Flashdisk itu... bisa menyelamatkan kalian. Bisa juga mencelakakan.”

Aku menatapnya lama.

Entah kenapa, rasanya seperti memegang potongan dari neraka.

Lalu Jules berkata lagi, “Dan satu lagi…”

Suara Jules berubah. Lebih pelan. Lebih gelap.

“…kalau kalian benar-benar ingin tahu siapa yang kalian hadapi, temui orang ini.”

Ia menuliskan nama dan alamat di secarik kertas. Memberikannya pada Pierre.

“Siapa dia?” tanya Liana.

Jules terdiam beberapa detik. Lalu menjawab,

“Mantan agen luar negeri. Sekarang hidup seperti bayangan. Tapi dia tahu... jauh lebih banyak daripada aku.”

Aku membaca nama itu perlahan.

Henrik Van Der Louw.

Pierre menarik napas. Dalam.

“Aku pernah dengar nama itu.”

“Tentu,” kata Jules. “Semua orang yang pernah bersinggungan dengan dunia kelam Eropa… pasti pernah dengar namanya. Tapi tidak semua orang berani menemuinya.”

Aku mengernyit. “Apakah dia bisa dipercaya?”

Jules menatapku. Lama. Lalu menjawab,

“Tidak. Sama sekali tidak. Tapi kadang, untuk menemukan kebenaran, kita harus duduk bersama orang yang pernah berdiri di antara dusta dan kehancuran.”

Tak ada yang bicara lagi setelah itu.

Semua diam.

Aku menggenggam tangan Liana. Lebih erat dari sebelumnya.

Dan untuk pertama kalinya... aku sadar. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat malam ini. Tapi justru pikiranku terasa paling tenang.

Tenang seperti laut sebelum badai.

Malam sudah larut.

Di luar, Paris masih indah. Tapi keindahan itu berubah jadi sunyi yang asing.

Kami pamit dari rumah Jules.

Di dalam mobil, Pierre menyetir cepat. Jalanan sunyi. Kota seperti tidur.

Liana bersandar di bahuku. Tak bicara sepatah kata pun.

Aku menatap ke luar jendela.

Lampu-lampu kota tampak kabur. Cahaya menyala lembut, tapi pikiranku justru gelap.

Flashdisk itu masih ada di sakuku.

Dingin. Membakar. Membisikkan ketakutan.

Nama Henrik Van Der Louw terus terngiang-ngiang di kepala.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama...

Aku sadar: kami sedang diincar.

Bukan karena apa yang kami lakukan. Tapi karena kami masih hidup.

Dan jika kami masih hidup…

Itu berarti…

Mereka belum selesai dengan kami.

1
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!