Bukit Takdir
Aku tidak tahu sejak kapan aku berhenti merasa utuh.
Rasanya seperti luka yang tidak berdarah, tak tampak, tapi perihnya nyata. Seperti ada sesuatu yang tinggal di dada, diam di sudut, tak bicara, tapi keberadaannya terasa setiap kali aku menarik napas.
Setiap kali ditanya, “Kamu kenapa?” Jawabanku hanya satu: “Nggak apa-apa.”
Padahal jelas-jelas ada yang salah. Sudah lama. Tapi tak juga sembuh. Seperti tamu asing yang datang tanpa permisi, lalu menetap di ruang paling dalam. Tak pernah pergi. Tak pernah akrab. Tapi juga tak bisa diusir.
Kehilangan ini... tidak meledak. Tidak pakai tangis. Tidak ada adegan dramatis di bawah hujan. Tapi tetap sesak.
Ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Dan aku tahu persis apa itu. Tapi tidak bisa menyentuhnya lagi. Tidak bisa menggenggamnya kembali.
Cinta, kadang datang di waktu yang salah. Bukan karena cintanya salah. Tapi karena tanah tempat ia bertumbuh terlalu lama kering. Tidak disiram. Tidak disiapkan. Maka jangan heran jika ia tak tumbuh. Atau tumbuh sebentar, lalu layu. Bukan karena cintanya lemah. Tapi karena tempat ia singgah tak mampu menampung harapan.
Tapi hidup tetap berjalan, bukan?
Pagi datang. Mata terbuka. Mandi, berpakaian rapi, tersenyum pada orang-orang yang hanya tahu permukaan. Padahal di dalam kepala masih penuh suara. Kenangan, kemungkinan, dan pertanyaan-pertanyaan kecil yang tidak pernah dijawab.
“Habis ini mau ke mana, Pak Jo?”
Suara Pak Dedi, sopir kantor, membuyarkan lamunanku. Suara datar yang membumi, tapi cukup untuk menarikku kembali ke dunia nyata.
Aku mengangguk pelan. “Ke kantor saja, Pak. Sudah ada tamu yang menunggu.”
Nada suaraku datar. Terlalu datar. Seolah semuanya baik-baik saja. Padahal tidak.
Aku masuk ke mobil. Tapi hatiku tertinggal di luar. Ada bagian dari diriku yang belum ikut. Yang tertahan oleh sesuatu yang tak bisa kujelaskan.
Mobil melaju, menembus kota Padang yang mulai ramai. Lewat kaca jendela, aku memandangi jalan. Tapi pikiranku tertinggal di satu ruang kecil, gelap, yang belum pernah kututup rapat.
Langkahku hari ini berat. Bukan karena pekerjaan. Tapi karena kenangan. Ada satu hal yang dulu sangat aku jaga, dan kini hilang begitu saja. Bukan karena tak dicari. Tapi karena memang tidak bisa kembali.
Hari ini jadwalku padat. Tiga seminar. Tiga universitas. Temanya sama: Building a Business from Zero.
Ironis. Karena ada satu hal penting yang tak pernah bisa kutumbuhkan lagi dari nol:
How to heal from losing someone.
“Pak Jo, kita langsung ke kantor, ya?”
Suara Pak Dedi menyela keheningan. Sopir kantor itu memang begitu nyinyir bukan karena curiga, tapi karena peduli. Mirip orang tua yang cerewet, tapi setia.
Johan menarik napas dalam. “Iya, Pak. Langsung.”
Ia menyandarkan punggung, tapi pikirannya belum juga duduk tenang. Mobil melaju perlahan, menyusuri kota Padang yang sudah mulai padat. Suara klakson, motor berseliweran, dan langit mendung yang belum juga tumpah, semuanya seperti latar dari sesuatu yang tak selesai di dalam dirinya.
Johan Suhadi.
Namanya belum genap sepuluh tahun berseliweran di seminar, majalah bisnis, atau obrolan antar pemilik modal. Tapi kalau ada yang menyangka hidupnya lurus dan mudah sejak awal, mereka keliru.
Ia tidak muncul dari dunia yang instan. Ia lahir dari proses.
Proses yang panjang. Sepi. Menyakitkan.
Ia bukan anak konglomerat. Bukan jebolan kampus luar negeri. Tidak punya orang dalam. Tidak punya peta. Yang ia punya cuma satu hal: kemauan.
Kemauan untuk bangun pagi-pagi saat yang lain masih tidur. Kemauan untuk mendengar kata "tidak" berkali-kali, tanpa kehilangan arah. Kemauan untuk tetap berdiri, bahkan saat hidup sendiri menyuruhnya duduk.
Ia memulai segalanya dari gudang kecil, menjual barang-barang sisa, menjadi reseller Lois Jeans saat merek itu belum sepopuler sekarang. Barangnya kadang datang telat. Kadang tidak laku. Kadang diminta balik karena salah ukuran.
Ia pernah ditolak. Pernah rugi. Pernah ditertawakan—bahkan oleh orang yang paling ia percaya.
Tapi Johan tidak berhenti.
Bagi Johan, kegagalan bukan alasan untuk pulang. Justru itu undangan untuk berjalan lebih jauh.
"Kalau kita nggak pernah paksa kaki untuk jalan," katanya suatu kali, "kita nggak akan tahu seberapa jauh kita bisa pergi."
Ia belajar menata kecewa. Belajar menerima kritik, bahkan saat mulut ingin membalas. Belajar menunduk, bukan karena kalah, tapi karena tahu kapan harus rendah hati.
Karena bagi Johan, impian besar tidak datang dengan gratis. Ia datang dengan harga mahal, dan harus dibayar lunas dengan waktu, tenaga, dan kadang, kesepian.
Lalu saat roda hidupnya mulai berputar stabil, Johan tak serta-merta duduk tenang. Justru saat itu, ia mulai merancang sesuatu yang lebih dalam dari sekadar untung.
Ia ingin membuat sesuatu yang bertahan. Yang hidup lebih lama dari dirinya.
Dari situlah lahir Johan Style. Atau lebih dikenal dengan nama JoS.
Sebuah merek. Sebuah perjalanan. Sebuah bukti bahwa dari jalan yang paling sepi pun, seseorang bisa membangun sesuatu. Asal tidak menyerah. Asal tidak berhenti di tengah jalan.
JoS bukan sekadar soal pakaian. Ia adalah cermin dari sebuah perjuangan. Dari pilihan untuk tetap berjalan, saat dunia menyuruh berhenti. Dari lelah yang dibayar lunas oleh keberanian.
Di setiap potongan kain, di setiap jahitan yang rapi, ada cerita. Tentang seorang anak muda yang dulu dianggap biasa-biasa saja, tapi menolak hidupnya berlalu tanpa arti.
JoS tumbuh perlahan. Bukan karena iklan mahal atau strategi rumit. Tapi karena kisahnya jujur. Dan jujur, entah bagaimana, selalu menemukan jalannya sendiri.
Merek itu mulai hadir di mana-mana. Masuk ke toko-toko kecil, menembus pasar yang lebih luas, bahkan sampai ke kota-kota yang belum pernah Johan kunjungi.
Nama Johan ikut naik. Bukan hanya sebagai pengusaha muda. Tapi sebagai inspirasi.
Undangan datang silih berganti. Seminar. Wawancara. Ajakan kolaborasi.
Salah satu yang paling mengejutkan datang dari seorang nama besar: Bapak Mulyono. Pejabat senior, sekaligus pengusaha berpengaruh.
Tapi begitulah hidup. Di atas panggung, orang terlihat sempurna. Di balik jas mahal dan senyum yang selalu pas di depan kamera, ada bagian dari Johan yang masih kosong.
Bagian yang tidak bisa diisi oleh uang, popularitas, atau prestasi.
Luka lama itu masih tinggal. Tidak berdarah, tapi juga tidak sembuh. Diam-diam mengendap seperti sedih yang tak pernah diajak bicara.
Dan justru luka itulah yang membuat semua tepuk tangan terdengar sunyi. Semua pencapaian terasa ringan.
Seolah semuanya berhasil, tapi tak pernah benar-benar utuh.
Di kantor, tamu itu telah tiba.
Namanya: Mulyono.
Pejabat tinggi. Wajahnya akrab di layar kaca,
suaranya kerap mengisi ruang-ruang berita ekonomi dengan analisis yang tajam dan penuh pengaruh.
Banyak yang percaya,
jika kamu sudah duduk satu meja dengannya,
itu tandanya kamu sedang berada di jalur tercepat menuju puncak permainan.
Hari ini, mereka akan membahas kerja sama besar.
Angkanya cukup untuk membuat siapa pun berhitung ulang.
Sebuah kesepakatan yang jika berhasil akan menjadi lompatan yang tak lagi bisa dianggap sebagai keberuntungan.
Di luar ruang rapat,
bisik-bisik mulai tumbuh seperti ilalang setelah hujan.
Orang-orang menebak JoS akan berubah selamanya jika ini berjalan sesuai rencana.
Tapi di dalam diri Johan, segalanya tetap hening.
Kesempatan sebesar ini...
tak cukup untuk menggetarkan dinding hati yang telah lama berlubang.
Bukan karena ia tak bersyukur,
melainkan karena ada sesuatu yang dulu pernah ia genggam erat—
dan kini tak bisa ia raih lagi, meski dengan kedua tangan terbuka.
Celakanya, lubang itu tak pernah bisa benar-benar ditambal.
Karena kehilangan bukan sekadar tentang ketiadaan.
Ia adalah tentang kekosongan yang menetap,
dan belajar hidup berdampingan dengannya.
Johan menarik napas sebelum membuka pintu.
Dalam. Berat. Seperti menata ulang topeng sebelum naik ke atas panggung.
Dan saat ia melangkah masuk ke ruang rapat,
senyumnya terbit rapi dan profesional.
Senyum yang ia pelajari bertahun-tahun lalu.
Senyum yang cukup hangat untuk membuat orang merasa aman,
tapi cukup berjarak agar tak ada yang berani terlalu dekat.
“Maaf, sudah menunggu lama, Pak?”
Suaranya tenang. Stabil.
Seperti seseorang yang tidak sedang dihantui apa pun.
Padahal... tidak begitu kenyataannya.
Pak Mulyono terkekeh.
“Tenang, Jo. Saya malah betah nunggu. Sekretarismu ramah, cantik, ngerti kopi. Hati-hati, bisa dicomot orang kalau kamu kelamaan.”
Ia melirik ke arah Wilda.
Wilda tersenyum kikuk, lalu menunduk.
Johan membalas dengan senyum tipis.
Senyum yang sudah terlatih.
Di luar, ia tampak baik-baik saja.
Di dalam, kosong.
Candaan seperti itu terdengar biasa.
Tapi bagi Johan, nadanya seperti pisau kecil.
Tidak menyakitkan terang-terangan, tapi cukup tajam untuk menusuk pelan.
Ada satu pintu di dadanya yang sudah lama terkunci. Bukan karena tidak ada yang ingin masuk. Justru karena terlalu banyak yang pernah mengetuk.
Masalahnya, ruangan di balik pintu itu berantakan.
Pecahan kenangan berserakan di setiap sudut.
Siapa pun yang masuk, bisa saja terluka sebelum sempat membereskan apa pun.
Tahun 2007.
Masa ketika hidup Johan terasa lengkap.
Ia punya cinta. Ia punya arah.
Dan yang paling penting, ia punya Keysha.
Vinda Puti Keysha. Nama yang tidak pernah benar-benar pergi dari kepalanya.
Keysha bukan sekadar kekasih. Ia adalah rumah. Tempat pulang setelah hari-hari panjang dan melelahkan.
Bersama Keysha, masa depan tampak jelas.
Mereka merancang pernikahan. Undangan sudah disebar. Gaun sudah dijahit. Catering sudah dipesan.
Semuanya siap.
Hanya tinggal menunggu waktu.
Tapi hidup tidak pernah memberi aba-aba.
Dua minggu sebelum hari bahagia, Keysha pergi ke Yogyakarta. Urusan keluarga. Hanya sebentar.
Namun pesawat yang membawanya tergelincir saat mendarat di Bandara Adisutjipto.
Dan Keysha tidak pernah kembali.
Namanya tercantum di daftar korban tewas.
Hitam di atas putih.
Saat itulah dunia Johan ambruk.
Ia kehilangan segalanya.
Bukan hanya seseorang, tapi juga arah hidup.
Hari-hari berikutnya penuh kabut. Ia hidup, tapi kosong. Ia bekerja, tapi hanya untuk sibuk. Ia tersenyum, tapi hanya agar orang berhenti bertanya.
Setiap pertanyaan kecil pun bisa membuka luka yang belum kering.
Kota ini menyimpan terlalu banyak kenangan tentang Keysha. Bangku taman tempat mereka bicara soal masa depan. Langit senja yang pernah menyaksikan tawa mereka.
Hujan yang turun seperti membawa pesan yang tak pernah sempat diucapkan.
Enam tahun sudah berlalu.
Waktu terus berjalan.
Tapi luka itu tetap tinggal.
Beberapa perempuan datang.
Mencoba mengisi kekosongan itu.
Tapi hati Johan tidak bisa disentuh.
Bukan karena ia belum siap.
Tapi karena ia tidak tahu lagi caranya jatuh cinta. Dunia telah merampas terlalu banyak.
Setiap malam, Johan menatap langit-langit kamarnya.
Diam.
Bertanya dalam hati.
Apa yang terjadi jika pesawat itu tidak tergelincir?
Bagaimana jika ia bisa memeluk Keysha sekali lagi?
Tapi hidup bukan tentang "bagaimana jika."
Hidup adalah tentang bertahan.
Bahkan ketika kehilangan menjadi bagian dari napas.
Dan pelajaran terbesar yang Johan pelajari adalah :
"Tidak semua yang hilang bisa kembali.
Tapi manusia bisa terus berjalan.
Meski jiwanya tertinggal di masa lalu"
“Bisa saja, Pak Yono.”
Johan menjawab dengan senyum tipis.
Senyum yang terlihat ramah, meski sebenarnya rapuh.
Ia sudah terlalu sering melatih senyum itu di depan cermin.
Sebuah senyum yang tahu cara menyembunyikan luka.
“Mari, kita ke ruang rapat pak.”
Johan melangkah tenang menuju ruang pertemuan.
Wilda mengikuti di belakang.
Langkahnya cekatan. Ekspresinya tenang.
Seperti biasa.
Proyek hari ini bukan proyek biasa.
Kerja sama ekspedisi internasional.
Tawaran dari Pak Mulyono.
Jika berhasil, ini akan membuka gerbang baru.
JoS bisa menembus batas negara.
Bisa diakui dunia.
Sebuah mimpi yang sudah lama Johan simpan diam-diam.
Mimpi yang lahir dari tempat yang sama dengan kehilangan.
Dari ruang hati yang pernah runtuh.
Yang perlahan dibangun kembali dengan susah payah.
Diskusi berlangsung hampir satu jam.
Meja rapat penuh dengan rencana dan kemungkinan.
Ide-ide berseliweran seperti peluru.
Johan mencatat setiap detail.
Matanya berbinar.
Bukan karena ambisi kosong.
Tapi karena ia tahu, peluang sebesar ini tidak datang dua kali.
“Saya perlu waktu untuk membahas ini dengan tim, Pak.
Semua harus benar-benar matang.”
Nada suaranya mantap.
Pak Mulyono mengangguk, puas.
“Keputusan yang bijak. Tidak perlu terburu-buru.”
“Semoga satu bulan ke depan, kita bisa membuat keputusan yang mengguncang pasar internasional.”
Johan menjabat tangan Pak Mulyono.
Genggamannya mantap.
Matanya menatap lurus.
Penuh keyakinan.
Dua senyum bertemu di ujung jabat tangan itu.
Dua generasi.
Dua kepentingan.
Dua ambisi.
Bertemu di satu titik.
~
Di Kota Padang, matahari mulai kalah.
Langit memudar, mewarnai ufuk barat dengan semburat jingga. Seperti seseorang yang perlahan menutup tirai hari.
Senja datang dengan langkah pelan.
Menyelimuti kota dengan sisa cahaya, sebelum gelap mengambil alih panggung.
Dari lantai enam gedung kantornya, Johan berdiri diam di depan jendela.
Ia tidak bergerak.
Pandangannya menembus kaca.
Menyaksikan hiruk pikuk di bawah sana.
Orang-orang yang bergegas pulang.
Klakson bersahutan.
Motor saling menyalip di ruang sempit yang nyaris tak masuk akal.
Kota Padang seperti biasa.
Sibuk. Gaduh. Hidup.
Tapi Johan tidak.
Ia sedang diam.
Sepi.
Ada kehampaan yang pelan-pelan menggerogoti dari dalam.
Dan tak ada seorang pun yang tahu.
Seorang polisi terlihat berdiri di perempatan.
Sigap memberi aba-aba, di tengah desakan kendaraan yang tak sabar.
Ia berdiri tegak, menjalankan tugas tanpa lelah.
Entah kenapa, Johan merasa iri.
Iri pada orang-orang yang bisa berdiri kuat di tengah kekacauan.
Sementara dirinya.
Berdiri saja sudah terasa berat hari ini.
Tubuhnya letih.
Jiwanya lebih payah.
Kemarin, ia baru kembali dari Pontianak.
Setelah perjalanan panjang dan pertemuan melelahkan dengan pemilik lahan.
Pontianak akan jadi cabang ke-13 perusahaannya.
Johan turun langsung.
Menilai peluang. Mencium angin. Menimbang untung rugi.
Ia tiba di Padang pukul satu dini hari.
Hanya sempat rebah sebentar.
Lalu kembali mengejar waktu.
Seminar di tiga kampus.
Rapat penting dengan Pak Mulyono.
Tubuhnya kelelahan.
Tapi hatinya jauh lebih hancur.
Tok tok tok.
Ketukan pelan itu memecah keheningan.
Johan menoleh perlahan.
Seolah dunia baru saja menariknya kembali dari kedalaman laut.
“Masuk.”
Suaranya pelan.
Nyaris tanpa tenaga.
Pintu terbuka perlahan.
Sosok di ambang pintu itu membuat napas Johan sesak, seolah udara pun ikut tertahan.
Seorang wanita siluetnya terpatri kuat dalam ingatan.
Terlalu dekat, terlalu akrab.
Namun sekaligus terlalu menyakitkan.
“Han... kamu sudah lupa, ya?”
Suara itu—lembut, penuh rindu—mengalir seperti angin dingin yang menyentuh pipi, menampar halus namun mengguncang jiwa.
Johan terpaku.
“K-Key...? Kamu... kamu masih... ternyata?”
Tangannya terulur, tanpa sadar, mencari.
Tapi tubuh itu... tembus.
Tak bisa diraih.
Tak ada hangat.
Tak ada nyawa.
Hanya ada kekosongan.
Air mata Johan jatuh tanpa izin. Vinda Puti Keysha. Satu nama yang mengiris-iris setiap detik waktu setelah kepergiannya. Wanita yang semestinya ia nikahi. Yang semestinya duduk di sebelahnya sekarang, menertawakan hidup bersama. Tapi takdir berkata lain. Keysha pergi—meninggalkan rencana, cinta, dan luka yang tak sembuh.
"Han, kamu masih ingat janji kita?"
Johan menahan isak. “Aku ingat... setiap detiknya Key... Jadi jangan pergi dulu, ya. Temani aku sebentar. Aku mau cerita banyak... tentang kerjaan, tentang si Keti kucing malang yang makin kurus semenjak kepergian kamu... tentang semuanya. Aku nggak peduli meski kita beda dunia. Yang penting... aku bisa lihat kamu. Dengar suara kamu.”
Keysha tersenyum. Lembut. Seolah menghapus perih yang sudah bertahun mengendap.
“Ingat nggak waktu kita di Puncak Gunung Marapi, Han? Kita lihat Bukit Barisan dari atas sana. Indah, seperti lukisan.”
Angin seolah ikut mengembuskan ingatan.
—Flashback—
Di puncak Merpati, Gunung Marapi, mereka berdiri berdampingan. Angin menari di antara rambut Keysha yang terurai. Matanya berbinar.
“Kamu tau nggak, Han? Bukit Barisan itu penuh misteri. Katanya ada manusia bunian di balik pohon-pohon tua. Ada harta karun yang tertimbun dalam perut bumi. Bahkan... bidadari yang konon hidup di sana.”
Johan tertawa. “Kalau aku lihat bidadari, pasti kamu colok mataku, ya?”
Keysha mencubit lengan Johan. “Iya! Karena kamu nakal!”
Johan tertawa makin keras. “Mana bisa kamu colok? Aku pakai kacamata hitam, jadi ga ketauan dehh!”
Keysha tertawa. Tapi lalu ia menatap lurus ke cakrawala. Serius. “Tapi beneran, ya... misteri itu ada nggak, sih?”
“Entahlah. Tapi kalau kamu mau tahu... ayo kita cari tahu. Kita ekspedisi. Kita jelajahi Bukit Barisan sama-sama.”
Keysha mengangguk mantap. “Setuju! Kita harus dicatat sebagai penjelajah pertama yang membongkar misteri itu!”
“Mari kita janji di sini,” kata Johan, menatap matanya dalam.
“Siapa takut!” sahut Keysha, mengulurkan kelingking.
Johan menyambut. Jari kelingking mereka bersatu. Janji mengikat, tidak hanya di bumi. Tapi mungkin juga di langit.
“Saya Johan Suhadi.”
“Saya Vinda Puti Keysha.”
“Berjanji akan mengungkap misteri Bukit Barisan.”
—Kembali ke masa kini—
Keysha menatap Johan, dalam dan hangat.
“Han, aku khawatir kamu lupa janji itu. Aku tidak bisa tenang. Aku tahu kamu sibuk, tapi... kamu harus ingat.”
Johan menggenggam udara, seolah itu tangan Keysha. “Key... kita lakukan bersama, ya? Meski kita sudah beda dunia... aku nggak peduli dianggap gila. Kita tetap bisa pergi bareng, kan?”
Keysha menggeleng perlahan, matanya berkaca. “Maaf, Han... waktuku sudah habis. Aku harus pamit.”
“Jangan!” Johan panik. “Jangan pergi lagi! Aku belum siap ditinggal!”
Keysha menatapnya penuh kasih. “Aku akan menunggu. Tuhan mungkin tak mentakdirkan kita di dunia ini. Tapi aku yakin, di surga, kita akan bertemu. Tapi jangan cepat-cepat menyusul, ya…”
Dan dengan senyum terakhirnya, Keysha menghilang. Membawa separuh nyawa Johan bersamanya.
“Key! Jangan pergi! KEY!”
Tok tok tok.
Johan tersentak. Basah oleh keringat dingin. Nafasnya memburu. Mimpi itu... terlalu nyata.
Tok tok tok.
Ketukan itu lagi. Kali ini bukan mimpi.
“Iya, masuk!” Johan menjawab cepat.
Pintu terbuka perlahan. Keyla, satpam wanita, muncul. “Ada apa ya, Pak? Kenapa Bapak manggil saya?”
Johan bingung. “Eh? Kapan saya manggil Mbak Keyla?”
Keyla tertawa kecil. “Saya mau pulang, Pak. Jadwal shift saya sudah habis. Tapi saya dengar Bapak teriak-teriak manggil ‘Key’. Kirain saya Bapak kangen saya.”
Johan berusaha tersenyum. “Salah dengar, kali, Mbak.”
Keyla mengedip nakal. “Pak Johan nggak usah malu. Bilang aja kangen. Tapi saya udah punya suami, loh. Tapi kalau Bapak mau... boleh jadi suami kedua saya.”
Johan tertawa. Tertawa yang getir. “Mbak Keyla ini ada-ada aja.”
Keyla, tetangganya, tahu segalanya. Tentang Keysha. Tentang rencana pernikahan yang gagal. Tentang luka yang belum sembuh.
“Oh ya, Mbak. Saya mau tanya sesuatu. Masih ada waktu, kan?”
“Untuk Pak Johan, semua waktu saya... saya berikan,” jawab Keyla, tulus.
Johan mengangguk tersenyum kecil. Memandang langit dari jendela. Senja sudah lewat. Malam datang. Tapi di dalam hatinya, sebuah janji mulai menyala kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Lara12
kenapa baru mulai udah kehilangan seseorang aja/Sob/
2025-05-03
0
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
2025-05-03
0
Like_you
/Brokenheart/
2025-05-05
0