Bukit Takdir
Apa sebenarnya yang kurasakan ini?
Entahlah. Aku juga bingung.
Rasanya seperti nyeri yang nggak sakit.
Ada, tapi nggak kelihatan. Mengganggu, tapi susah dijelaskan.
Kalau ditanya, "kamu kenapa?"
Jawabannya standar: "nggak papa."
Padahal ada yang tidak beres.
Sudah lama, tapi tetap tidak beres.
Seperti tamu yang datang tanpa diundang, duduk di pojok hati, dan nggak pernah mau pulang.
Diem aja. Tapi keberadaannya kerasa.
Kehilangan ini nggak pakai drama.
Nggak ada air mata berlebihan.
Nggak ada adegan nangis-nangis di bawah hujan.
Tapi tetap saja sesak.
Ada bagian penting dari hidup yang hilang.
Dan bodohnya, aku bahkan tahu bagian mana itu. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Cinta itu… kadang kayak bibit bagus yang jatuh di tanah yang salah.
Bukan salah bibitnya. Tapi tanahnya memang sudah tandus.
Sudah terlalu lama tidak digarap. Sudah dibiarkan kering.
Jadi ya, tumbuh pun enggan.
Tapi hidup tetap harus jalan, kan?
Bangun pagi, mandi, kerja, senyum seperlunya.
Meskipun isi kepala masih gaduh.
Meskipun kebahagiaan yang dulu diimpikan… ya, cuma jadi impian.
"Habis ini mau ke mana, Pak Jo?" tanya Pak Dedi, sopir kantor, membuyarkan lamunan Johan dengan suara yang membumi.
Johan mengangguk pelan. "Kita langsung ke kantor saja, Pak. Sudah ada tamu penting yang menunggu."
Suaranya tenang. Terlalu tenang, seolah tak ada beban.
Namun saat ia melangkah masuk ke dalam mobil, hatinya tertinggal di luar—berat, enggan, tertambat pada sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Di balik jendela mobil yang melaju perlahan di bawah langit kota Padang yang sibuk, Johan menatap kosong.
Matanya mengikuti arus jalan, tapi pikirannya tertinggal pada satu ruang yang tak pernah benar-benar tertutup.
Langkahnya terasa berat meski tak tampak. Seolah ada medan tak terlihat yang selalu menahannya—setiap hari, setiap detik.
Hari ini adalah hari padat. Tiga seminar, tiga universitas.
Topiknya sama: Building a Business from Zero.
Ironis, pikirnya.
Karena ada satu materi penting yang tak pernah sanggup ia ajarkan:
How to heal from losing someone.
"Pak Jo, ini kita langsung jalan ke kantor, kan?" tanya Pak Dedi, sopir kantor yang selalu punya kebiasaan nyinyir—bukan karena tidak percaya, tapi lebih karena ingin memastikan, seperti orang tua yang cerewet tapi setia.
Johan menarik napas dalam, mencoba menyembunyikan lelah yang tak tampak. “Iya, Pak. Langsung ke kantor saja.”
Johan Suhadi.
Nama itu mungkin belum satu dekade terdengar di ruang-ruang seminar, majalah bisnis, atau obrolan para pemilik perusahaan besar. Tapi ia tidak datang dari dunia yang instan. Ia lahir dari proses—panjang, sepi, dan menyakitkan.
Ia bukan anak orang kaya. Bukan lulusan luar negeri. Ia tidak punya koneksi, tidak punya modal. Yang ia punya cuma satu: kemauan. Kemauan untuk terus mencoba meski gagal, kemauan untuk berdiri lagi meski luka.
Awalnya, Johan hanya menjadi distributor untuk sebuah merek pakaian terkenal, Lois Jeans. Kerja kerasnya tidak langsung berbuah manis. Ia pernah ditolak berkali-kali, rugi berkali-kali, bahkan diragukan oleh orang-orang yang paling dekat dengannya. Tapi ada satu hal yang membuatnya berbeda: ia tidak berhenti.
Baginya, gagal bukan alasan untuk pulang. Justru itu alasan untuk melangkah lebih jauh.
“Kalau kita nggak pernah paksa kaki untuk jalan, kita nggak akan tahu seberapa jauh kita bisa pergi,” begitu katanya.
Johan belajar berdamai dengan kecewa. Ia belajar mendengar kritik tanpa kehilangan arah. Ia tahu, impian besar memang selalu datang dengan harga yang mahal.
Saat bisnisnya mulai stabil, ia tidak duduk santai. Justru saat itulah ia mulai membangun sesuatu yang lebih bermakna. Bukan sekadar mencari untung, tapi ingin meninggalkan warisan—sesuatu yang bisa hidup lebih lama dari dirinya.
Dari sana, lahirlah Johan Style, atau yang lebih dikenal dengan nama JoS. Sebuah merek. Sebuah perjalanan. Sebuah bukti bahwa siapa pun bisa membangun sesuatu dari nol—asal tidak menyerah di tengah jalan.
JoS bukan cuma soal pakaian.
Ia adalah cermin—dari perjuangan, dari pilihan untuk tetap berjalan saat dunia bilang berhenti, dari lelah yang dibayar lunas oleh keberanian. Di setiap potongan kain, di setiap jahitan yang rapi, ada kisah tentang seorang anak muda yang pernah dianggap biasa-biasa saja, tapi menolak hidupnya berjalan tanpa makna.
JoS tumbuh perlahan. Bukan karena iklan besar-besaran atau strategi marketing yang rumit. Tapi karena ceritanya jujur. Dan kejujuran, entah bagaimana, selalu punya jalannya sendiri. Merek itu lalu hadir di mana-mana, mulai masuk ke toko-toko, lalu ke pasar yang lebih luas, menembus kota-kota yang bahkan belum pernah Johan datangi sendiri.
Nama Johan pun ikut naik.
Bukan hanya sebagai pengusaha muda, tapi juga sebagai inspirasi. Undangan datang silih berganti—seminar, wawancara, ajakan kolaborasi. Salah satu yang paling mengejutkan datang dari nama besar di negeri ini: Bapak Mulyono. Seorang pejabat yang juga dikenal sebagai pengusaha berpengaruh.
Tapi begitulah hidup.
Kadang di atas panggung, orang terlihat sempurna. Namun di balik jas mahal, di balik senyum yang selalu pas di depan kamera, ada bagian dari Johan yang masih kosong. Sesuatu yang tidak bisa diisi oleh uang, oleh popularitas, atau keberhasilan.
Luka lama itu masih ada.
Ia tidak berdarah, tapi juga tidak sembuh. Diam-diam tinggal di dalam diri Johan, mengendap seperti sedih yang tidak pernah diajak bicara. Dan justru luka itulah… yang membuat semua tepuk tangan terasa sunyi. Semua keberhasilan terasa ringan. Seolah, semua ini tercapai—tapi tidak benar-benar utuh.
Di kantor, tamu itu sudah menunggu.
Namanya Mulyono.
Pejabat senior yang juga dikenal sebagai pengusaha besar. Wajahnya sering muncul di televisi, komentarnya selalu ada di berita ekonomi. Banyak yang bilang, kalau kamu bisa duduk satu meja dengannya, berarti kamu sedang berada di jalur yang tepat menuju puncak.
Hari ini, mereka akan bicara soal proyek kerja sama besar. Angkanya bisa bikin kepala pening. Orang-orang di luar ruangan sudah ramai menebak—kalau kesepakatan ini jadi, maka itu akan jadi lompatan penting buat Johan dan JoS.
Tapi bagi Johan, semua itu terasa... datar.
Bukan karena dia tidak menghargai peluang ini. Tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang sudah lama hilang. Dan celakanya, sampai hari ini, belum ditemukan kembali.
Kesuksesan tidak pernah benar-benar bisa menambal bagian itu.
Begitu masuk ke ruang rapat, Johan menarik napas sejenak.
Senyumnya muncul. Rapi. Profesional.
Persis seperti yang dia pelajari bertahun-tahun lalu—senyum yang cukup hangat, tapi tak membuka terlalu banyak.
“Maaf, sudah menunggu lama, Pak?” sapanya sambil menjabat tangan Pak Mulyono.
Pak Mulyono terkekeh.
“Tenang, Jo. Saya malah betah nunggu. Sekretarismu ramah, cantik, ngerti kopi. Hati-hati, bisa dicomot orang kalau kamu kelamaan,” godanya, melirik Wilda yang langsung menunduk.
Johan membalas sekadar senyum tipis—senyum standar yang sudah terpasang otomatis. Di luar, tampak baik-baik saja. Di dalam, hampa.
Candaan soal pasangan itu mungkin receh bagi orang lain. Bagi Johan, nadanya seperti pisau kecil: tajam, tapi cukup sopan untuk tetap disebut gurauan.
Ada pintu di dadanya yang sudah lama terkunci. Bukan karena tak ada yang mau masuk; justru terlalu banyak yang mengetuk. Masalahnya, ruangan di balik pintu itu berantakan—pecahan kenangan di segala sudut. Siapa pun yang masuk mungkin terluka lebih dulu sebelum sempat membereskan apa pun.
2007 adalah tahun ketika hidup Johan terasa lengkap.
Ia punya cinta, ia punya arah. Dan yang paling penting: ia punya Keysha.
Vinda Puti Keysha—nama yang tak pernah lepas dari memorinya.
Perempuan itu bukan sekadar kekasih. Ia adalah rumah, tempat Johan pulang setelah hari-hari panjang yang melelahkan. Bersama Keysha, ia tak hanya merancang pernikahan; mereka sedang menata hidup. Undangan telah tersebar, gaun sudah dijahit, catering dipesan. Semua tinggal menunggu waktu.
Namun takdir datang tanpa permisi.
Dua minggu sebelum hari bahagia itu, Keysha terbang ke Yogyakarta dengan pesawat Garuda Indonesia. Misi singkat, hanya urusan keluarga. Tapi pesawat itu tergelincir saat mendarat di Bandara Adisutjipto.
Dan Keysha... tidak pernah kembali.
Namanya tertera jelas di daftar korban tewas—hitam di atas putih.
Detik itu, dunia Johan runtuh.
Bukan hanya kehilangan seseorang, tapi kehilangan arah.
Hari-hari setelahnya berjalan seperti kabut. Ia hidup, tapi kosong. Ia bekerja, tapi hanya untuk menyibukkan diri. Ia tersenyum, tapi hanya untuk menghentikan orang bertanya. Karena setiap pertanyaan, sekecil apa pun, bisa memicu luka yang masih menganga.
Setiap sudut kota mengingatkannya pada Keysha.
Bangku taman tempat mereka berbagi mimpi. Langit senja yang dulu jadi saksi tawa mereka. Hujan yang turun di trotoar, seolah mengantar pesan-pesan yang tak pernah sempat disampaikan.
Enam tahun berlalu.
Waktu berjalan, tapi tidak benar-benar menyembuhkan.
Beberapa perempuan datang, mencoba mengisi kekosongan. Tapi hatinya tak bisa disentuh. Bukan karena dia belum siap, tapi karena ia tak tahu bagaimana caranya jatuh cinta lagi pada dunia yang pernah merampas segalanya.
Setiap malam, Johan menatap langit-langit kamar.
Diam.
Berharap ada cara untuk memutar waktu. Bertanya dalam hati, "Bagaimana jika pesawat itu tak pernah tergelincir? Bagaimana jika ia bisa memeluk Keysha sekali lagi?"
Tapi hidup bukan tentang “bagaimana jika.”
Hidup adalah tentang bagaimana bertahan, bahkan ketika kehilangan sudah menjadi bagian dari napas.
Dan pelajaran terbesar yang Johan pelajari:
Tidak semua yang hilang bisa kembali. Tapi manusia bisa terus berjalan—meski jiwanya tertinggal di masa lalu.
“Bisa saja, Pak Yono,” sahut Johan dengan senyum tipis.
Senyum itu ramah, tapi rapuh. Ia telah terlalu sering melatihnya di depan cermin—senyum yang tahu caranya menyembunyikan luka.
“Mari, kita ke ruang rapat,” lanjutnya sambil melangkah tenang menuju ruang pertemuan. Wilda, sang sekretaris, mengikuti di belakang. Langkahnya cekatan, ekspresinya tenang, sebagaimana selalu.
Proyek yang akan dibahas hari ini bukan proyek biasa.
Kerja sama ekspedisi internasional—tawaran dari Pak Mulyono yang bisa membuka gerbang baru: mengangkat JoS menembus batas negara, menjadikannya brand yang diakui dunia.
Sebuah mimpi yang sudah lama Johan tenun diam-diam. Mimpi yang lahir dari tempat yang sama dengan kehilangan: dari ruang hati yang pernah runtuh, lalu dibangun kembali dengan susah payah.
Diskusi berlangsung nyaris satu jam.
Meja rapat dipenuhi rencana, kalkulasi, dan kemungkinan. Ide-ide berseliweran seperti peluru.
Johan mencatat setiap detail. Matanya berbinar—bukan karena ambisi kosong, tapi karena ia tahu: jika peluang sebesar ini datang, ia harus siap.
“Saya perlu waktu untuk membahas ini dengan tim, Pak. Semua harus benar-benar matang,” ujarnya dengan nada mantap.
Pak Mulyono mengangguk, puas. “Keputusan yang bijak. Tidak perlu terburu-buru.”
"Semoga satu bulan ke depan, kita bisa membuat keputusan yang mengguncang pasar internasional," kata Johan, menjabat tangan Pak Mulyono. Genggamannya mantap, matanya menatap lurus. Penuh keyakinan.
Dua senyum bertemu di ujung jabat tangan itu.
Dua generasi, dua kepentingan, dua ambisi—berpapasan di satu titik.
~
Di Kota Padang, matahari mulai kalah.
Langit menggoreskan semburat jingga, seperti seseorang yang pelan-pelan menutup tirai hari. Senja datang dengan langkah pelan, menyelimuti kota dengan sisa cahaya sebelum gelap mengambil alih seluruh panggung.
Dari lantai enam gedung kantornya, Johan berdiri mematung di depan jendela.
Ia tak bergerak.
Pandangan matanya menembus kaca, menatap hiruk pikuk di bawah sana—manusia yang bergegas pulang, klakson bersahutan, motor saling menyalip dalam celah yang nyaris mustahil.
Kota Padang seperti biasa: sibuk, gaduh, hidup.
Tapi Johan? Ia sedang diam. Sepi.
Ada kehampaan yang pelan-pelan menggerogoti dari dalam—dan tak ada yang tahu.
Seorang polisi di perempatan terlihat sigap memberi aba-aba. Di tengah desakan kendaraan, ia tetap berdiri tegak, menjalankan tugasnya seperti tak kenal lelah.
Dan entah kenapa, Johan iri.
Iri pada orang-orang yang bisa berdiri kuat di tengah kekacauan.
Sementara dirinya... berdiri saja sudah nyaris tak kuat hari ini.
Tubuhnya letih. Jiwanya lebih payah.
Kemarin, ia baru kembali dari Pontianak—setelah perjalanan panjang dan pertemuan melelahkan dengan pemilik lahan.
Pontianak akan jadi cabang ke-13 perusahaannya. Ia terjun langsung: menilai peluang, mencium angin, menimbang untung rugi. Tiba di Padang pukul satu dini hari, hanya sempat rebah sebentar sebelum kembali mengejar waktu: seminar di tiga kampus, rapat penting dengan Pak Mulyono siang tadi.
Tubuhnya lelah. Tapi hatinya jauh lebih hancur.
Tok tok tok.
Ketukan pintu memecah keheningan.
Johan menoleh perlahan, seolah dunia baru saja menariknya dari kedalaman laut.
"Masuk," ucapnya pelan, nyaris tanpa tenaga.
Pintu terbuka perlahan.
Sosok di ambang pintu itu membuat napas Johan sesak, seolah udara pun ikut tertahan.
Seorang wanita—siluetnya terpatri kuat dalam ingatan.
Terlalu dekat, terlalu akrab.
Namun sekaligus terlalu menyakitkan.
“Han... kamu sudah lupa, ya?”
Suara itu—lembut, penuh rindu—mengalir seperti angin dingin yang menyentuh pipi, menampar halus namun mengguncang jiwa.
Johan terpaku.
“K-Key...? Kamu... kamu masih... ternyata?”
Tangannya terulur, tanpa sadar, mencari.
Tapi tubuh itu... tembus.
Tak bisa diraih.
Tak ada hangat.
Tak ada nyawa.
Hanya ada kekosongan.
Air mata Johan jatuh tanpa izin. Vinda Puti Keysha. Satu nama yang mengiris-iris setiap detik waktu setelah kepergiannya. Wanita yang semestinya ia nikahi. Yang semestinya duduk di sebelahnya sekarang, menertawakan hidup bersama. Tapi takdir berkata lain. Keysha pergi—meninggalkan rencana, cinta, dan luka yang tak sembuh.
"Han, kamu masih ingat janji kita?"
Johan menahan isak. “Aku ingat... setiap detiknya Key... Jadi jangan pergi dulu, ya. Temani aku sebentar. Aku mau cerita banyak... tentang kerjaan, tentang si Keti kucing malang yang makin kurus semenjak kepergian kamu... tentang semuanya. Aku nggak peduli meski kita beda dunia. Yang penting... aku bisa lihat kamu. Dengar suara kamu.”
Keysha tersenyum. Lembut. Seolah menghapus perih yang sudah bertahun mengendap.
“Ingat nggak waktu kita di Puncak Gunung Marapi, Han? Kita lihat Bukit Barisan dari atas sana. Indah, seperti lukisan.”
Angin seolah ikut mengembuskan ingatan.
—Flashback—
Di puncak Merpati, Gunung Marapi, mereka berdiri berdampingan. Angin menari di antara rambut Keysha yang terurai. Matanya berbinar.
“Kamu tau nggak, Han? Bukit Barisan itu penuh misteri. Katanya ada manusia bunian di balik pohon-pohon tua. Ada harta karun yang tertimbun dalam perut bumi. Bahkan... bidadari yang konon hidup di sana.”
Johan tertawa. “Kalau aku lihat bidadari, pasti kamu colok mataku, ya?”
Keysha mencubit lengan Johan. “Iya! Karena kamu nakal!”
Johan tertawa makin keras. “Mana bisa kamu colok? Aku pakai kacamata hitam, jadi ga ketauan dehh!”
Keysha tertawa. Tapi lalu ia menatap lurus ke cakrawala. Serius. “Tapi beneran, ya... misteri itu ada nggak, sih?”
“Entahlah. Tapi kalau kamu mau tahu... ayo kita cari tahu. Kita ekspedisi. Kita jelajahi Bukit Barisan sama-sama.”
Keysha mengangguk mantap. “Setuju! Kita harus dicatat sebagai penjelajah pertama yang membongkar misteri itu!”
“Mari kita janji di sini,” kata Johan, menatap matanya dalam.
“Siapa takut!” sahut Keysha, mengulurkan kelingking.
Johan menyambut. Jari kelingking mereka bersatu. Janji mengikat, tidak hanya di bumi. Tapi mungkin juga di langit.
“Saya Johan Suhadi.”
“Saya Vinda Puti Keysha.”
“Berjanji akan mengungkap misteri Bukit Barisan.”
—Kembali ke masa kini—
Keysha menatap Johan, dalam dan hangat.
“Han, aku khawatir kamu lupa janji itu. Aku tidak bisa tenang. Aku tahu kamu sibuk, tapi... kamu harus ingat.”
Johan menggenggam udara, seolah itu tangan Keysha. “Key... kita lakukan bersama, ya? Meski kita sudah beda dunia... aku nggak peduli dianggap gila. Kita tetap bisa pergi bareng, kan?”
Keysha menggeleng perlahan, matanya berkaca. “Maaf, Han... waktuku sudah habis. Aku harus pamit.”
“Jangan!” Johan panik. “Jangan pergi lagi! Aku belum siap ditinggal!”
Keysha menatapnya penuh kasih. “Aku akan menunggu. Tuhan mungkin tak mentakdirkan kita di dunia ini. Tapi aku yakin, di surga, kita akan bertemu. Tapi jangan cepat-cepat menyusul, ya…”
Dan dengan senyum terakhirnya, Keysha menghilang. Membawa separuh nyawa Johan bersamanya.
“Key! Jangan pergi! KEY!”
Tok tok tok.
Johan tersentak. Basah oleh keringat dingin. Nafasnya memburu. Mimpi itu... terlalu nyata.
Tok tok tok.
Ketukan itu lagi. Kali ini bukan mimpi.
“Iya, masuk!” Johan menjawab cepat.
Pintu terbuka perlahan. Keyla, satpam wanita, muncul. “Ada apa ya, Pak? Kenapa Bapak manggil saya?”
Johan bingung. “Eh? Kapan saya manggil Mbak Keyla?”
Keyla tertawa kecil. “Saya mau pulang, Pak. Tapi saya dengar Bapak teriak-teriak manggil ‘Key’. Kirain saya Bapak kangen saya.”
Johan berusaha tersenyum. “Salah dengar, kali, Mbak.”
Keyla mengedip nakal. “Pak Johan nggak usah malu. Bilang aja kangen. Tapi saya udah punya suami, loh. Tapi kalau Bapak mau... boleh jadi suami kedua saya.”
Johan tertawa. Tertawa yang getir. “Mbak Keyla ini ada-ada aja.”
Keyla, tetangganya, tahu segalanya. Tentang Keysha. Tentang rencana pernikahan yang gagal. Tentang luka yang belum sembuh.
“Oh ya, Mbak. Saya mau tanya sesuatu. Masih ada waktu, kan?”
“Untuk Pak Johan, semua waktu saya... saya berikan,” jawab Keyla, tulus.
Johan mengangguk tersenyum kecil. Memandang langit dari jendela. Senja sudah lewat. Malam datang. Tapi di dalam hatinya, sebuah janji mulai menyala kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Lara12
kenapa baru mulai udah kehilangan seseorang aja/Sob/
2025-05-03
0
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
2025-05-03
0
Like_you
/Brokenheart/
2025-05-05
0