NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan yang Teramat Dalam

 

Agustus 2002 menjadi bulan patah hati untukku. Setelah 18 Agustus kami pulang dari Sarangan, 22 Agustus mereka berangkat ke Surabaya. Belum habis rasa sedih ditinggal oleh Raga dan kawan-kawannya, tanggal 25 Agustus aku mendapat kabar buruk mengenai Pamanku yang merantau di Malaysia. 

Dia ini paman kesayanganku. Ibu memiliki dua adik, dan Paman merupakan adik yang paling bungsu. Satu-satunya adik lelaki, yang otomatis menjadi satu-satunya Pamanku. Beliau bekerja di Malaysia sejak aku SMP kelas 3, belum pernah pulang hingga hari itu kami sekeluarga dikejutkan dengan kabar bahwa beliau meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas di Negeri Upin Ipin.

Saat mendengar kabar mengejutkan tersebut, aku tengah mengikuti kegiatan pencinta alam. Kami sedang menyelenggarakan acara Bakti Sosial bersama gabungan perwakilan SMA dan SMK di Ponorogo.

Siang itu, aku dan kawan panitia tengah beristirahat di basecamp saat tiba-tiba bapak mendatangi markas tersebut. Kami menggelar tikar di sana, sekadar rebahan untuk menghilangkan lelah. Tentu saja sembari bercanda tawa ala anak muda.

Kedatangan bapak bukan hanya mengejutkanku, tapi hampir semua yang berada di teras. Tidak biasanya orang tuaku seperti itu. Seumur-umur gabung di organisasi hanya sekali itu kejadian, sebab orang tuaku tuh nggak stritch parent. Wajar jika aku curiga ketika tiba-tiba dicari dan disusulin sampai basecamp, diajak pulang tanpa alasan.

“Ada apa lho, Pak?” Aku mengejar dengan pertanyaan demi pertanyaan. “Kok tiba-tiba nyusul ke sini?”

 “Nggak ada apa-apa,” kilah si bapak nggak mau ngaku. “Takutnya nanti kamu terlanjur pulang ke Madiun.”

“Lah emang kenapa? Ibu mana?”

“Sudah duluan, di antar Mas Bagus.”

Mas Bagus itu sopir kantor yang baru, yang menggantikan Mas Yanto. Mendengar jawaban Bapak, pikiranku semakin kacau. Kenapa Ibu harus pulang lebih dulu? Kenapa harus diantar menggunakan mobil kantor? Apa yang sebetulnya terjadi?

“Ada apa, sih? Kok mendadak pulang?”

“Ya, pulang aja.” Bapakku terus berusaha mengelak.

Aku putuskan untuk menunda rasa ingin tahu tersebut, dan bergegas mengemasi barang-barang dibantu oleh Tami, untuk kemudian membuntuti bapak pulang. Masih dengan kostum panitia, dengan badan penuh keringat dan debu, aku dibawa oleh bapak.

Sepanjang perjalanan, bibir ini tak henti-henti mengoceh, mempertanyakan alasan bapak mendadak nyusulin aku ke tempat kegiatan. Terus terang, aku merasa ini aneh. Orang tuaku bukan tipikal orang tua kolot yang kepo dengan aktivitas anaknya. Namun, sebanyak apa pun aku bertanya, bapak tetap bungkam.

Begitu turun dari Angkodes—kendaraan angkutan yang mengantar kami hingga depan gapura masuk desa, barulah bapak berkata, “Om Hendri meninggal, Nad.”

Seketika aku menghentikan langkah dan duduk ngelesot di jalanan. Tak peduli dengan suasana sekitar, aku menangis meraung-raung di situ. Walkman yang aku pegang—untuk mendengarkan musik di perjalanan, kulempar begitu saja. Walkman tersebut baru dibelikan oleh Om Hendri beberapa bulan sebelumnya, sebab tahu aku adalah penggemar musik dan sering ikut jumpa fans artis di radio-radio. Om Hendri mengirimkannya dari Malaysia. Sebuah Walkman Sony warna hitam dan uang seratus ribu rupiah yang diselipkan di dalam paket. Paketan itu dia titipkan kepada salah satu rekan kerjanya yang kebetulan pulang.

Bapak berusaha menenangkan aku, tapi tangisku justru semakin kenceng. Untung saat itu jalanan tengah sepi, tak ada orang sama sekali yang menyaksikan drama siang tengah hari bolong tersebut. Berhubung aku bersikeras dengan tangisan ala bocah tantrum dan bergeming di tempat saat bapak mengajak pulang, bapak sempat berniat untuk membopong tubuhku. Tapi gagal karena nggak kuat.

“Ayo pulang dulu, jangan nangis di sini, dilihat orang,” bujuknya.

“Nggak mau! Huaaaa ... Aku mau Om Hendri pulang!” Asli, tingkahku saat itu persis bayi raksasa.

Kejadian tersebut lumayan mengguncang mentalku. Apalagi saat tahu jenazah almarhum tidak dapat dipulangkan sebab terkendala pengurusan dokumen dan juga biaya, kesedihanku serasa mencapai palung terdalam. Kami sekeluarga harus kehilangan, tanpa bisa melakukan apa-apa, kecuali berdoa dan menggelar salat gaib.

Saat itu aku betul-betul rapuh. Dan saat-saat rapuh seperti itu, yang sangat aku butuhkan sebenarnya adalah sahabat. Jujur saja, aku butuh Raga. Aku butuh bahunya untuk bersandar dan menangis sepuasku. Aku butuh tangan kokohnya yang mengusap kepalaku dengan lembut. Dan aku butuh pelukannya yang menenangkan dari segala macam gundah.

Apa daya, dia pun telah pergi. Raga, Kevin, Satria, dan Ronald sudah berangkat ke Surabaya beberapa hari sebelumnya. Mereka hanya berempat, sebab Taufik tidak ikut kuliah. Dia memilih untuk bekerja di sebuah bengkel mobil.

Untuk hal ini, kami amat sangat maklum. Sebagai sulung dari empat bersaudara, dengan kondisi ibu yang single parent dan tiga adik masih kecil-kecil, ijazah SMK mungkin dirasa sudah cukup. Yang penting bisa jadi modal cari pekerjaan. Seyogianya, ijazah hanyalah lembaran formalitas. Yang dibutuhkan perusahaan adalah skill. Dan lulusan SMK biasanya sudah dibekali itu.

 

 

 🍁🍁

 

Raga mulai menjalani kehidupan barunya sebagai seorang mahasiswa di Kota Pahlawan, sedangkan aku masih tetap berjibaku mengejar bus antar kota setiap hari. Komunikasi kami buyar, yang mana menurutku dia memang tidak memiliki niat untuk menghubungi. Jika mau, bisa saja berkirim kabar melalui email. Jelas-jelas dia tahu alamat emailku.

Berbalas pesan melalui email memang akan sedikit lambat, terutama balasan dariku. Aku tidak bisa sewaktu-waktu mainan internet seperti dia yang punya komputer pribadi. Namun, aku bisa mengupayakan untuk ke warnet setiap istirahat sekolah. Aku pasti akan memberi effort semaksimal mungkin untuk seseorang yang aku sayang. Terlebih saat itu dialah prioritas utamaku. Dan setidaknya ada upaya untuk kami saling berkomunikasi.

Hanya itu yang dapat kami lakukan, sebab aku tidak memiliki sarana komunikasi lain semacam handphone dan sebagainya. Meski Raga pada waktu itu sudah memegang handphone pribadi, apa artinya kalau aku tidak punya?

Nyatanya, dia tidak mengusahakan sama sekali. Jelek-jeleknya kemungkinan, apabila alamat email yang aku beri lupa belum disimpan, dia bisa kirim surat via pos.

However, nothing at all!

Alhasil, kami bagai dua orang yang tidak pernah dipertemukan oleh takdir kehidupan. Padahal, semesta pernah menjadi saksi, betapa dekatnya dua insan ini. Batang-batang kaktus centong di halaman rumahku pun tahu. Pada permukaannya pernah kami ukir nama berdua, berjanji untuk tak saling melupakan. Namun sekarang, janji tersebut seolah janji yang seolah tak bertuan.

Sangat normal ketika dalam kondisi demikian aku berpikir dia sengaja melakukannya. Dia pergi membawa luka. Wajar jika Raga berusaha menghapus tentangku, dan mencari obat untuk lukanya. Aku maklum. Semoga akan dianggap wajar juga ketika aku mengambil sikap sama. Berusaha menganggap dia tak ada.

Lembar demi lembar batang kaktus yang terukir nama Raga dan kawan-kawannya aku patahkan tanpa sisa. Buku harian yang tertulis tentangnya aku bakar. Sengaja aku musnahkan semuanya, dan bertekad untuk membuka lembaran baru.

 

🍁🍁

 

Sepeninggal Raga, aku semakin menyibukkan diri dengan kegiatan pencinta alam. Sabtu-Minggu aku tak pernah di rumah. Dua hari tersebut merupakan jatah ngebolang—istilah kami untuk menyebut kata kelayapan. Kadang mengikuti lintas alam di luar Ponorogo, kadang menyelenggarakan kegiatan sosial bersama teman-teman yang tergabung dalam organisasi pencinta alam, pokoknya selalu saja ada kegiatan di setiap akhir pekan.

Organisasi pencinta alam kami dinamakan Scampala, yang menurut founder-nya merupakan singkatan dari Sekumpulan Anak Muda Pencinta Alam. Scampala merupakan keluarga keduaku, di mana setengah dari masa remaja kuhabiskan bersama mereka. Kurang lebih empat tahun aku berkecimpung di organisasi besutan salah satu mahasiswi Sospol tersebut. Empat tahun dengan on-off, karena aku pun sempat vakum terus balik lagi.

Scampala memiliki Basecamp di Jalan Parikesit – Ponorogo, tidak jauh dari gedung sekolahku. Di sana kami biasa nongkrong rame-rame apabila kebetulan tidak ada kegiatan. Ketika akan mengadakan event, persiapan pun dilakukan di sana. Mulai dari meeting, briefing, koordinasi, hingga waktu eksekusi. Tentu saja banyak cerita yang terukir di tempat tersebut.

Basecamp merupakan rumah kedua kami—aku dan anggota lain. Terlebih setelah Raga di Surabaya, sebagian besar waktu di luar jam sekolah aku lewatkan di sana. Aku sengaja melarutkan diri sebab ingin melupakan dia dan mereka. Meski semua yang tampak sepele tersebut ternyata tidak pernah mudah sama sekali.

Dua bulan pertama, aku sering nangis kalau ingat dia dan merindukan petikan gitarnya yang ngawur. Di lain waktu, aku bisa tertawa seraya berderai air mata apabila mendengar lagu Dewa, ‘Dua Sejoli’. Lagu tersebut memang super memories untuk kami.

Hingga akhirnya aku sadar satu hal. Waktu akan tetap berjalan meski tidak ada dia di sebelahku. Jarum jam tetap berputar, matahari tak menghentikan rotasi, dan musik tetap memainkan iramanya. Dengan dia raib tanpa sedikit pun usaha memberi kabar, seolah isyarat kuat bagiku untuk segera terbangun dari mimpi. Kami memang dua insan yang tersekat oleh banyak perbedaan.

Mungkin dia sudah dekat dengan gadis lain, teman kuliahnya di Surabaya. Aku yakin di sana banyak gadis cantik, modis, tentunya anak orang kaya—setara dengan Raga. Siapalah aku jika dibandingkan mereka.

Ibarat perumpamaan, mereka itu Masya Allah. Sementara aku, astagfirullah. Dua hal yang tak bisa dibandingkan dan tak perlu pertimbangan untuk menentukan pilihan. Orang gila pun aku rasa akan lebih memilih gadis-gadis cantik yang sadar fashion di kota metropolis itu daripada si tomboi yang hobi naik turun gunung ini.

 

 

 

🍁🍁

 

 

 

 

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!