Mengandung Benih Kakak Ipar

"Ma-Mas Wisnu jangan dekat-dekat!" Seolah udara berhenti bergerak ketika Wisnu semakin mendekat, napas Aya terasa sangat berat dan keringat mulai membasahi wajah cantiknya. Aya menelan ludahnya susah-susah, ia berjalan mundur sampai punggungnya bersandar pada dinding kamar itu.

Satu tangan Wisnu menggenggam tangan istrinya dan satunya lagi mulai terangkat dan mencoba menyentuh wajah Aya.

"Jangan macam-macam kamu, Mas! Atau aku ... Aku akan teriak!" ancam Aya yang tidak main-main.

"Siapa bilang aku mau macam-macam, aku cuma mau mengambil sisa makanan yang ada di bibirmu, ternyata bukan aku saja yang belepotan, tapi kamu juga!" ucap pria itu.

Aya spontan ingin mengusap bibirnya namun sayangnya, Wisnu melarangnya. "Hei, jangan diusap sendiri, biar aku yang membersihkannya!" sergah pria itu sembari menahan tangan Aya.

Aya tampak mendongak menatap wajah suaminya yang memiliki tinggi badan yang proposional, bukan cuma itu saja, tubuh ideal Wisnu masih bisa terlihat dengan jelas meskipun pria itu hanya mengenakan kemeja biasa.

Tentu saja Wisnu sedikit menundukkan kepalanya saat membersihkan bibir istrinya yang masih terlihat belepotan, dengan ibu jarinya, Wisnu mengusap bibir Aya dengan sangat lembut dan pelan.

Tatapan mata keduanya saling beradu, seolah ada gelombang aneh yang mulai turun merambat. Usapan tangan sang suami seketika membuat Aya semakin mematung. Tak bisa dipungkiri jika ada sebuah kedamaian saat Wisnu berada di dekatnya.

Seperti ada medan magnet yang menarik keduanya untuk saling menatap, bahkan tangan Wisnu berpindah pada pipi sang istri dan mengusapnya dengan lembut.

"Pergi, Mas! Aku mohon pergilah!" seru Aya yang seolah-olah wanita itu sedang mengusir suaminya. Napasnya semakin sesak apalagi tubuh Wisnu makin dekat dan tak ada jarak sedikitpun di antara mereka.

"Kau yakin ingin aku pergi?" balas Wisnu sembari menatap kedua bola mata sang istri, meyakinkan sang istri apakah ia tak keberatan jika Wisnu pergi dari rumah itu.

"Mbak Anna pasti mencarimu, dia sudah menunggu kedatanganmu, Mas! Dia istrimu!" balas Aya dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca.

"Lalu, apa kamu juga bukan istriku?" balas Wisnu yang semakin membuat Aya tergagap.

"A-aku, aku cu-cuma, cuma istri kon-kontrak, dan setelah bayi ini lahir, a-aku akan meninggalkan kalian, i-tu sudah janjiku kepada diriku sendiri!" Bibir Aya benar-benar kelu mengucapkan kata-kata itu. Ada rasa bersalah yang teramat kuat kepada Anna.

"Istri kontrak atau bukan, yang jelas sekarang kamu adalah istriku ...." Tatapan mata Wisnu sangat menunjukkan jika pria itu lebih berat meninggalkan Aya.

"Tapi Mbak Anna lebih berhak atas kamu, Mas. Pulanglah dan biarkan aku sendiri! Aku mau istirahat!" suara Aya terdengar melemah, wanita itu menundukkan wajahnya dan tidak ingin melihat wajah suaminya lagi, karena yang ada pasti ia tidak bisa mengendalikan perasaan anehnya yang tiba-tiba muncul begitu saja.

"Kau yakin ingin aku pergi? Katakan, Aya! Kau ingin aku benar-benar pulang?" Wisnu kembali mempertanyakan hal itu. Masih menundukkan kepalanya, Aya menjawabnya dengan tegas. "Iya, aku ingin kamu pergi! Sekarang cepetan pergi! Aku muak melihat wajahmu di sini, Mas!"

Wisnu merasa jika perkataan istrinya itu tidaklah benar, ada sesuatu yang Aya sembunyikan di balik sikap kasarnya kepada dirinya. Wisnu menghela napas panjang lalu ia kembali memberikan pertanyaan yang sama untuk sang istri.

"Baiklah, aku ingin mendengar sekali lagi dari bibirmu, lihat mataku dan katakan bahwa kamu ingin aku benar-benar pergi dari sini, Aya! Lihat aku!" titah Wisnu sembari menunggu istrinya untuk menatapnya.

Aya masih bergeming, entah kenapa dirinya merasa berat untuk menjawabnya. Jantungnya benar-benar tidak aman kali ini.

"Cepat katakan, Aya!" Wisnu terus mendesak agar wanita itu segera mengatakannya. Aya tidak punya pilihan lain lagi, ia pun terpaksa mengangkat wajahnya dan menatap tajam kedua bola mata sang suami yang penuh harap.

"Iya, a-aku ingin kamu pergi dari sini! Pulanglah ke rumah Mbak Anna!" seru Aya dengan sangat serius. Wisnu menatap bola mata istrinya bergantian, seolah ada maksud tersembunyi yang tersirat dari pancaran mata Aya yang berwarna coklat itu.

"Bohong! Aku tidak melihatnya seperti itu ...," Wisnu menarik pinggang istrinya dan membuat Aya terkejut dan panik.

"Maksud kamu apa, Mas? Aku tidak bohong!" sahut Aya yang tidak bisa lari lagi dari pelukan sang suami. Wisnu semakin mendekati wajah istrinya sampai jarak keduanya cuma beberapa centimeter saja. Wisnu memperhatikan getaran bibir sang istri yang seolah ingin mengatakan sesuatu yang lain.

"Kamu bisa mengucapkan tidak, tapi mata dan bibirmu tidak bisa berbohong, Aya. Aku tahu kamu ingin aku berada di sini, bukan!" Kata-kata itu keluar sebelum akhirnya Wisnu mengecup bibir sang istri.

Bagaikan ombak yang menerjang hati Aya, berdebur dan membuat jiwanya tak karuan saat ujung bibir mereka saling bersentuhan. Entah kenapa ia membiarkan suaminya melakukan hal itu padanya. Aya mencengkram kerah kemeja Wisnu seakan itu adalah sebuah simbol jika dirinya bukan hanya terkejut namun juga menikmati kebersamaan mereka.

BERSAMBUNG