“Hhmmm… wangi,” lirih seorang pria tua usai menceruk leher gadis yang ada di depannya.
Menatap lamat. Diam-diam mengagumi iras cantik mempesona milik gadis ranum tersebut. Tersenyum miring, sembari membayangkan hal indah yang selanjutnya akan ia lakukan ketika sudah berhasil membuat gadis itu sadar.
Membelai rambut. Ujung helai lurus itu kemudian di pilin, memainkannya. Tak lupa juga ikut ia endus, menikmati sensasi aroma segar yang menguar. Cukup menguji adrenalin, mendegupkan detak jantung dua kali lipat dari biasanya.
“Kau sangat cantik, Naira. Sudah sejak dulu aku menunggu saat-saat seperti ini bisa bersamamu.” Lelaki tua itu kembali berujar, lirih dengan suara serak, akibat tekanan batin yang kian membuncah. Tak sabar ingin melahap habis makan malamnya yang kali ini sudah ditunggu sejak lama.
Apa yang selanjutnya akan terjadi pada Naira? Penasaran ingin tahu cerita selengkapnya? Kalau begitu yuk ikuti segera kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Ikhsan menatap sepasang netra Naira lamat. Memajukan wajah sampai akhirnya berjarak sangat dekat. Membuat Naira tertegun, sulit bernafas juga bergerak. Lalu kemudian,—
***
Dreett … dreeettt ….
Ponsel Naira bergetar. Otomatis membatalkan niatan Ikhsan yang barusan ingin mengecup bibir kekasihnya. Atensi Naira tercuri, langsung mencari keberadaan benda canggih yang ia simpan pada tas selempang yang ia pakai. Segera meraih gawai canggih tersebut, kemudian melihat ke arah layar—satu pesan masuk dari nomor yang sama sekali tak ia kenal.
Gadis muda itu segera membukanya. Dan ternyata isinya adalah,-
[Pulang sekarang juga!]
Tiga kalimat bernada perintah yang cukup mengguncang Naira. Reflek bangkit dari duduknya dengan raut wajah gelisah.
“Ada apa, Nai?” Ikhsan bertanya lugu. Sungguh tidak tahu tentang apa yang saat ini sedang dihadapi oleh keksaihnya itu.
Langsung dijawab Naira,- “t- tidak apa-apa. Tidak apa-apa, kok. P- perutku sakit. Aku … pamit ke toilet sebentar.”
Lalu Naira langsung berpaling pergi meninggalkan Ikhsan ditengah gempitanya film horor yang saat ini sedang berlangsung.
***
Syuurrr….
Naira membasuh wajahnya dengan guyuran air pada kedua telapak tangannya. Gadis muda itu kemudian mencoba mengatur napas sembari kini menatap pada cermin yang berada tepat pada wastafel yang ada di depannya.
“Gimana ini?” Gadis itu berpikir keras. Apa yang harus ia jelaskan nanti kepada suaminya?
Pergi beralasan ingin pulang ke rumah menemui Andi dan Fatimah. Nyatanya malah pergi dengan Ikhsan.
“Apa jangan-jangan ia juga sudah tahu?” gelisah Naira. Sungguh tidak bisa membayangkan tentang apa yang selanjutnya terjadi pada dirinya sepulang nanti.
“Nggak-nggak … nggak! Mana mungkin pria kasar itu tahu? Selama ini hubunganku dengan Ikhsan diketahui oleh teman-teman hanya sebatas teman.” Naira kembali menatap dirinya di depan cermin berkecamuk belenggu pemikiran yang coba ia tenangkan dengan pemikiran positif.
Boy tidak akan tahu. Ya, pasti om-om sia lan itu tidak akan tahu! Selama ini tidak ada hubungan romantis yang Naira dan Ikhsan pertontonkan pada khalayak umum—yang otomatis membuat hubungan keduanya terjalin aman.
Slaap!
Pinggang Naira tiba-tiba saja terengkuh. Gadis itu panik. Lantas melihat ke arah si pemegang yang berjarak cukup dekat dengannya.
“A- anda?” ucapnya terkesiap.
Naira membeliakkan matanya. Lelaki itu ternyata belum benar-benar pergi! Boy masih berada di sana, dan sekarang menarik Naira ke dalam pelukannya.
Sementara itu.
Perasaan resah menyelimuti Ikhsan. Sudah hampir lima belas menit, tapi Naira belum kunjung kembali.
Bangkit dari tempatnya. Tayangan film yang masih belum selesai itu ia tinggalkan begitu saja. Bergegas menuju ke kamar mandi, guna menjemput Naira.
Ini tidak biasa. Dan entah mengapa ada perasaan khawatir yang saat ini menyelimuti hati Ikhsan. Terlebih usai tadi benaknya mengingat akan sosok pria yang memegang pergelangan tangan Naira, membuat lelaki muda itu berpikir mungkinkah saat ini Naira sedang terjebak dengan lelaki itu di sana?
Ikhsan memperlaju gerak langkahnya. Hingga kini tiba di depan sebuah toilet yang memang dikhususkan untuk perempuan. Pria muda itu berdiri tak jauh dari sana, dengan anggapan mungkin Naira masih di dalam?
Namun nyatanya tunggu punya tunggu, Naira sama sekali tak menampakkan batang hidungnya membuat Ikhsan semakin resah.
“Apa aku susul saja ya ke dalam? Mungkin ia ada di sana?”