Terpaksa Menikahi Tuan Konglomerat

Terpaksa Menikahi Tuan Konglomerat

TMTK - BAG 1

...Cinta, bagiku seperti sebuah fantasi yang takkan pernah menjadi nyata. Menginginkan, tapi tidak diinginkan. Menjadikannya sebuah prioritas, tapi balasan diabaikan. Berjuang sendiri tanpa tahu sampai kapan semua akan menjadi nyata? Entahlah… yang pasti meski raga serta jiwa ini terasa sakit. Aku akan tetap berjuang untuk mendapat wujud dari sebuah pengakuan cinta?...

...***...

“Satu milyar! Nominal tersebut akan saya berikan sebagai uang muka dengan syarat, anda mau membujuk putri anda untuk menikah dengan saya.”

“M- menikah? A-apa… ini tidak terlalu terburu-buru, Nak Boy? Naira masih sangat muda. Ia baru saja tamat SMK. Umurnya juga baru menginjak angka 18 tahun dan,—”

“Dan apa? Bukankah umur segitu sudah bisa aku tanam benihku untuk memiliki keturunan? Aku tidak mau banyak berdebat. Anda bisa mendapatkan nominal uang tersebut untuk melunasi segala hutang-hutang anda, jika anda mau memenuhi permintaan saya!” tegas Boy tak pandang bulu. Meski ia tahu jika pria paruh baya yang saat ini berdiri dihadapannya itu merupakan sahabat karib almarhum Ayahnya.

Pria tua itu bergeming. Bingung mengambil keputusan. Menyetujui itu berarti sama saja dengan menjual. Namun, jika tidak maka kehidupan anak gadisnya akan jatuh kepada seorang pria tua yang merupakan lintah darat di daerah tempat tinggalnya!

“Kenapa, masih bingung mengambil keputusan? Atau anda lebih rela menikahkan anak gadis anda dengan aki-aki tua lintah darat itu?” Boy kembali bersuara. Mencoba memanipulasi keadaan dengan cara mendesak. Sekaligus memprovokasi agar sahabat almarhum Ayahnya itu bisa segera mengambil keputusan. “Baiklah… kalau itu sudah menjadi keputusan anda, apa boleh buat? Yang terpenting saya sudah memberikan pilihan dengan siapa anda ingin merajut hubungan kekeluargaan. Saya tidak akan memaksa anda Pak Andi Mayora. Namun, ada satu hal yang harus anda ingat. Di dunia ini tidak ada yang mudah, apalagi gratis. Semua itu ada timbal baliknya, agar sama-sama mendapatkan keuntungan.”

“Beri saya waktu.”

“Satu menit dari sekarang. Jadwal saya penuh. Saya tidak bisa lama-lama. Lagipula masih banyak gadis-gadis di luar sana yang dengan sukarela mau menjadi istri saya. Namun, saya lebih memberikan perhatian terhadap putri anda karena anda merupakan sahabat dekat almarhum Papa saya.” desis Boy tidak ingin berlama-lama—yang mana hal tersebut membuat pria paruh baya yang pernah berjaya di masa mudanya itu terpaksa mengangguk tidak punya pilihan.

Baginya lebih baik menyerahkan Naira kepada duda yang merupakan putra semata wayang almarhum sahabatnya itu. Daripada membiarkan Naira jatuh ke tangan Eddy—sang rentenir jahat yang saat ini juga sedang mengincar putrinya untuk dijadikan alat pelunasan hutang-hutang yang Andi pinjam.

***

...FLASHBACK ON...

...MARELAN, 5 MEI....

Atau lebih tepatnya tiga hari sebelumnya.

Sorak sorai penuh kegembiraan memenuhi badan jalan. Belasan tapak melintas sambil sesekali menyemprotkan pilox pada kemeja putih tanpa noda itu. Mengganggu jalan. Memang. Tapi tidak ada yang peduli. Belasan remaja itu masih tetap pada pendirian mereka sendiri, menyeberang melintasi dengan gerakan cukup santai. Seolah sengaja mengabaikan macet lalu lintas karena pergerakan lamban mereka.

Senyum semringah terpancar dari setiap iras muda milik para remaja itu. Hari terakhir menggunakan seragam putih abu-abu telah tiba. Seakan terbebas, seperti benar-benar merdeka dari rutinitas pagi yang menurut mereka cukup membosankan.

“Ah… akhirnya aku bisa bangun siang sesukaku!” ucap seorang siswa.

“Akhirnya aku bisa mengenakan pakaian sesukaku,” timpal siswi lainnya membayangkan indahnya saat nanti menjalani kehidupan kuliah.

“Sekarang aku sudah tidak lagi menjadi beban kedua orangtuaku. Bisa langsung cari kerja, dapat gaji umr, lalu kpr rumah. Setelah itu aku bisa segera menikahi pacarku!” celetuk siswa lainnya tak kalah girang, sembari membayangkan indahnya hidup setelah mendapat sebuah pekerjaan dengan nominal gaji yang diinginkannya.

Hidup memang tidak mudah. Perjalanan tidak akan menjadi lancar hanya karena sudah menamatkan pendidikan SMK. Masih panjang perjalanan berliku, berduri, berkerikil, serta berdebu. Tidak semudah yang para anak muda itu bayangkan, berjalan mulus sesuai dengan keinginan mereka.

Di tengah keriuhan para siswa yang saat ini masih berpesta dengan coretan tinta juga warna. Dua orang remaja dari kawanan pelajar baru lulus tersebut tampak melipir menghindari keramaian. Melangkah ke sebuah warung pinggir jalan yang tampak sepi. Kemudian menghempaskan bokong mereka di sana. Usai tadi salah satu di antara keduanya menghampiri sang pedang kecil untuk dibuatkan minuman.

“Teh Manis dingin, aku sudah memesannya. Satu untukmu, dan satunya lagi untukku.” Siswa berlesung pipi itu berbicara sembari merekahkan senyumnya. Tak akan lelah meski keringat tampak mengguyur dahi, akibat barusan berpanas-panas di bawah terik matahari.

“Ini… uangnya. Kali ini aku akan membayar punyaku,” kata seorang siswi cantik sembari menyodorkan satu lembar pecahan lima ribu rupiah.

“Nggak usah, Nai… biar aku saja yang bayar. Uang saku ku masih banyak. Kau simpan saja uangmu, ditabung. Bukankah kau ingin membeli sepeda motor matic seperti yang dimiliki oleh Via?”

“Tapi San… aku tidak enak. Setiap hari kau selalu menalangi uang jajanku dan itu sungguh membuatku merasa malu.”

“Malu? Malu kenapa? Bukankah kau itu pacarku? Jadi sudah seharusnya ‘bukan seorang pria memberikan apapun yang ia punya—terlebih itu hanya sekedar jajan.”

“Tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Uangmu habis. Sementara uangku—”

“Sudahlah Nai… selama bersamaku kau tidak perlu khawatir. Uang saku ‘ku sepuluh kali lipat lebih banyak dari milikmu. Jadi jika itu hanya untuk semangkuk bakso, juga segelas teh dingin untukmu, itu semua sama sekali tidak akan menguras uang saku ‘ku.” Ikhsan menyela. Sengaja. Tidak ingin mendengar kalimat penolakan lagi dari mulut kekasihnya yang sudah ia pacari selama kurang lebih satu tahun itu.

Hingga akhirnya gadis cantik berkulit kuning langsat itu tidak lagi mampu menolak. Hanya bisa pasrah menerima segala keinginan kekasihnya yang untuk kesekian kalinya mentraktir ia makanan dan minuman tersebut.

Mie instan cup yang sudah diseduh dengan air panas kini tersaji di depan mereka. Disusul teh manis dingin kesukaan Naira. Langsung disesap oleh keduanya, sembari menikmati hangat mie instan cup dengan toping bola-bola menyerupai bakso.

Rasanya benar-benar nikmat. Meski ditengah teriknya cuaca kala siang itu. Tapi hal tersebut sama sekali tidak mengurangi sedikitpun citarasa dari makanan instan tersebut.

“Ikhsan… setelah ini kau akan ke mana?” tanya Naira tiba-tia disela-sela tegukan kuahnya yang terakhir.

“Aku akan ke Jakarta,” kata Ikhsan dengan mimik yang terkesan santai.

“A-apa?!” Naira meringis. Merasa pedih. Karena pada akhirnya apa yang selama ini ia takuti benar-benar menjadi kenyataan.

Sementara itu Ikhsan sendiri tampak tersenyum. Curi pandang sebentar, sebelum akhirnya menyeruput habis kuah mie miliknya.

“Hei… kau ini kenapa? Kenapa wajahmu langsung berubah sedih seperti itu? Aku ini hanya pergi sebentar. Paling lama hanya 3 - 4 tahun saja. Dan nanti disela-sela masa libur kuliah aku akan kembali ke kota ini. Khusus untuk mengunjungimu,” kata Ikhsan.

Sungguh dari dalam lubuk hati sebenarnya ia juga memiliki kegelisahan yang sama seperti Naira. Tapi pemuda itu tidak mau menunjukkannya. Tidak ingin membuat kekasihnya semakin muram, sedih karena keputusannya.

Jujur, jika boleh memilih Ikhsan sendiri sebenarnya juga tidak ingin berjauhan dengan Naira. Terlebih antar pulau. Namun Ikhsan tidak memiliki pilihan lain selain mewujudkan keinginan kedua orangtua angkatnya yang selama ini telah membesarkannya, memfasilitasi segala kehidupannya serta pendidikannya.

Mereka ingin Ikhsan menempuh pendidikan bisnis di salah satu universitas ternama yang ada di Ibukota tersebut. Supaya kelak ketika keduanya telah tiada—Ikhsan bisa melanjutkan serta mengembangkan perusahaan kecil yang dirintis bersama oleh kedua orangtua angkatnya.

“Tapi San… 3 - 4 tahun itu bukan waktu yang singkat. Bagaimana jika nanti kau bosan dengan hubungan ini. Lalu menemukan kenyamanan lain di sana?” Entah apa yang ada di pikiran Naira saat ini. Padahal belakangan ia bahkan ikut andil dalam memberikan support untuk kekasihnya itu.

Tapi saat ini ketika semua hampir benar-benar terjadi, malah ia yang tidak rela?

Pikirannya semrawut. Ia kalut. Terlalu takut jika Ikhsan kepincut dengan gadis lain. Apalagi di kota yang notabene pasti akan banyak gadis cantik berpenampilan modern idaman para pria.

Ikhsan tertawa. Naira begitu menggemaskan. Terlihat begitu imut apalagi dalam posisi cemburu. Membuat pemuda itu tak tahan untuk mencubit kedua pipinya. Langsung direalisasikan tanpa pikir panjang. Sampai-sampai membuat Naira meringis dalam kekalutannya.

“Kau itu terlihat sangat menggemaskan saat kau sedang cemburu. Seperti ini,” kata Ikhsan menatap teduh kedua netra Naira. “Dan apa kau tahu sesuatu Naira?”

“Kau itu tidak ada tandingannya dengan gadis lain. Pacarku tetap yang paling cantik, paling baik, paling-paling segalanya dihatiku. Sehingga sampai kapanpun itu aku pastikan jika tidak akan ada gadis lain yang mampu menggantikanmu di hatiku.” Ikhsan kembali menimpali ucapannya. Bukan hanya ingin meyakinkan Naira. Menghibur suasana hati pacarnya. Melainkan semua itu memang benar berasal dari dalam lubuk hatinya yang mencintai Naira dengan segenap ketulusan.

Terpopuler

Comments

muna aprilia

muna aprilia

lnjut

2024-02-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!