🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permulaan lagi
🌹VOTE🌹
"Saya terima nikahnya Vanesa Bragasatya putri bapak untuk saya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Vanesa memejamkan matanya tatkala dua orang saksi di sana mengatakan sah.
Bukan pernikahan mewah seperti yang dia dambakan, melainkan hanya ijab qabul. Dan lebih sialnya lagi, itu dilakukan di lapas tempat ayahnya berada. Vanesa bahkan enggan menatap ayahnya setelah dirinya terbebas dari penjara.
Secepat itu Judi melakukannya, membuat Vanesa yakin kalau pria itu sebanding dengan Alan.
Ketika kegiatan ijab qabul selesai, dan ayahnya hendak kembali ke lapas, dia memandang mata Vanesa sejenak. Tapi perempuan itu memalingkan wajahnya dan menarik tangan Judi, "Ayo pergi."
Hanya seperti itu pernikahan mereka, tidak ada gaun pengantin, riasa cantik atau pun tamu yang berdatangan.
Saat naik ke mobil, Vanesa mengibaskan tangannya. "Jadi, kapan kita resepsian?"
"Nanti kalau Oma gue udah sembuh."
"Jangan bilang nanti gue di sana mesti ngerawat Oma lu."
"Well, semua ada harganya."
"Sialllaaan lu, Judi!" Teriak Vanesa kesal. "Lu mau gue ngerawat nenek nenek gitu di sana? Hello, gue maunya seneng seneng, lu kira gue babby sitter."
"Diem," ucap Judi yang mulai kesal. "Suka atau enggak, gue suami lu sekarang. Sah secara agama dan negara, jadi lu harus manut sama gue."
Vanesa terkekeh geli. "Manut? Umur lu aja di bawah gue."
"Tapi kekayaan gue diatas lu, Oon."
Vanesa mengumpat pelan, dia memfokuskan pandangannya ke depan. "Beliin gue hape, gue perlu hubungi seseorang buat bawain barang barang gue."
"Semuanya udah gue atur, pengacara gue yang handle semuanya."
"Wow, lu kaya bener ya."
Judi diam dan fokus berkendara.
Malam ini hujan deras disertai angin dan petir yang kuat.
"Kapan kita berangkat?"
"Besok pagi."
"Sekarang ke hotel dulu dong?"
Judi diam sebagai jawaban.
"Mau wik wik?"
"Apaan wik wik?" Tanya Judi kesal, pasalnya saat menanyakan itu, Vanesa menyentuh pahanya.
"Wik wik masa lu gak tau, dasar bocah emang."
"Eh denger ya, umur lu sama gue cuma beda dua kelas aja."
"Beda dua kelas, tapi umur lu lebih muda empat taun. Lu sekolah disogok ya bisa loncat gitu?"
"Gue pinter, gak kayak lu."
"Gue juga pinter," ucap Vanesa tidak mau kalah. "Buktinya gue bisa dapetin lu yang muda sama kaya. Bener gak?"
"Dasar Mak Lampir."
"Umur lu berapa?"
Judi diam.
"Umur lu berapa?"
"Dua puluh empat, itu bulan depannya lagi."
Seketika Vanesa tertawa terbahak. "Baru dua tiga lu? Gila, umur gue udah dua delapan, lu tau?"
"Sial banget kan gue? Udah dapet Mak Lampir, tua lagi."
"Bilang apa lu?!"
Judi tidak menanggapi saat dirinya sampai di hotel. Diikuti Vanesa di belakangnya, Judi melangkah lebih dulu.
"Tungguin gue, Judi."
Meskipun umurnya jauh lebih muda, tapi Judi memiliki perawakan yang tinggi sehingga Vanesa kesulitan mengimbanginya.
"Woy, tungguin."
Dan saat sampai di kamar yang menghadap langung ke kota Jakarta, Vanesa terkesima. Dia mengerutkan keningnya saat Judi ikut masuk.
"Lu sekamar sama gue?"
"Iya," ucap Judi tanpa ragu sambil membuka pakaiannya.
"Kenapa? Lu kan banyak duit, sewa aja kamar lain. Ngapain juga sekamar sama gue?"
"Karena gue suami lu."
Vanesa berdecak, dia menyilangkan tangannya di dada. "Gak bakalan tahan lama juga status itu kan?"
"Enggak, gue bakal jadi suami lu sampe lu tua, sampe lu jelek, sampe lu peot bahkan sampe lu mati. Biar lu gak ganggu Inanti sama Alan lagi."
"Segitu cintanya lu sama Inanti?"
"Lagi haid nggak?" Judi malah mengalihkan pembicaraan.
Vanesa mengerutkan keningnya saat Judi menanyakan itu, pikirnya pria itu akan mengajaknya tidur bersama.
"Engga, kenapa? Lu mau wik wik?"
"Ambil wudhu, ayo sholat. Belum sholat isya kan?"
"Abis sholat lu mau ngajak gue wik wik?"
"Ambil wudhu, Mak Lampir."
🌹🌹🌹
Bekasi masih mati lampu.
"Tutup pintunya, Nan. Banyak nyamuk," ucap Alan mengeluarkan ponselnya dan menyalakan senter hingga ruangan lebih menyala. "Nah, kan sekarang keliatan wajah cantik anak papa."
Inanti masih terpaku di sana melihat Alan yang menimang.
"Nan, nyamuk."
Dan saat itulah dia sadar, Inanti menutup pintu dan gorden. Perempuan itu memasang wajah juteknya. "Mau apa ke sini?"
"Gak mau apa apa sana pulang."
Alan terkekeh, lalu dia memberikan Nadia yang membuat Inanti terkejut. Dan saat beralih tangan, Nadia kembali menangis kencang. Sedetik setelah itu Alan kembali menggendongnya. "Nadia gak mau jauh jauh sama papanya, Nan. Kamu lihat kan."
Inanti masih berdiri mematung kesal.
"Masuk rumah orang itu harus minta izin."
"Nadia udah izinin kok."
"Tapi saya belum."
"Udah, Nan. Jangan teriak teriak, nanti tetangga pada dateng. Mana hujan petir lagi, nanti orang kira lagi pesugihan."
Pesugihan? Dan Inanti merasa Alan begitu menyebalkan sekarang ini. Namun, melihat Nadia yang tertidur di pangkuannya, membuat Inanti tidak bisa menyeret pria itu keluar dari sana.
Namun, dia ketakutan akan hal yang terjadi di masa lalu. Bersama Alan dalam satu ruangan, dirinya menjerit kuat kesakitan. Dan Inanti tidak ingin hal itu terulang lagi.
Apalagi ketika Alan menidurkan Nadia di kasur, kemudian mendekat pada dirinya. Inanti mundur seketika, sampai punggungnya menyentuh pintu.
"Mundur gak, mundur! Atau saya gigit kamu."
Alan terkekeh. "Gigit aja, Nan. Ridho kok digigit sama kamu."
"Mundur ih! Saya jambak ya rambut kamu. Jangan mendekat, berhenti! Alan!"
Berbeda dari kenyataannya, Inanti pikit Alan akan melakukan sesuatu yang buruk. Tapi kenyataannya dia malah menggenggam tangan Inanti kemudian berucap, "Kamar mandi di mana?"
"Ih! Di sana, awas mundur! Sana!"
Dan ketika Alan masuk ke kamar mandi, Inanti berdiri di luarnya untuk mengatakan kekesalannya. "Pokoknya saya gak mau tau, kamu harus pergi dari sini sekarang juga. Saya gak mau liat muka kamu."
"Kamu kan gak liat, Nan. Saya lagi di kamar mandi."
Inanti jengkel. "Abis di kamar mandi pulang, pergi sana!"
"Pulang? Ini rumah saya, Nan. Kamu mau ngusir saya ke mana?"
"Enak aja ini rumah situ, ini rumah bibi saya."
"Lah, kan rumah suami adalah tempat di mana istrinya berada. Kamu kan rumah saya."
Inanti menelan ludahnya kasar, meskipun ayahnya berpesan untuk tidak melawan. Tapi sesuatu dalam diri Inanti ingin melakukannya, dia ingin mempertahankan diri supaya tidak ada yang merendahkannya lagi.
"Kenapa kamu pikir situ masih suami saya?" Guman Inanti yang membuat Alan keluar seketika, dan itu membuat Inanti terkejut.
"Kamu perlu bukti kalau saya masih suami kamu, Nan?"
Dan mata Inanti kembali melotot saat Alan mendekat. "Jangan mendekat, jangan noel noel, jangan sentuh saya lagi. Saya lagi di dapur, saya lempar kamu panci."
Alan kembali tertawa. "Ya ampun, punya bini lucu banget."
Kemudian Alan berbalik arah sambil menguap. "Nyamuk, Nan. Ada obat nyamuk bakar gak?"
Dan entah kenapa Inanti menurut saja untuk menyalakan itu.
"Nah, kan nyenyak. Sini tidur."
"Kamu mau tidur di sini?"
Alan diam dan memilih memeluk Nadia.
"Pulang sana."
"Ya ke rumah kamu lah, yang gede itu, yang ada kolamnya."
"Gak ada yang gede itu, gak ada. Udah jangan berisik, udah malem, nanti tetangga kira ada dedemit di sini."
"Gak sopan kamu ya!"
"Tuh kan, Nadia nangis denger kamu teriak teriak." Alan kembali menimang, tapi Nadia malah membuka mata. "Bagun, Nan. Mau ***** kali. Dede mau ***** ya? Sini, Nan. Haus kayaknya nih."
Yang benar saja? Dirinya menyusui Nadia di depan Alan? Pria itu benar benar memutuskan urat malunya, membuat Inanti super kesal.
🌹🌹🌹
Tbc.