Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!
Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.
Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.
Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
“Kau tidak marah?” tanya Selir Lin.
“Marah untuk apa? Supnya enak. Sayang kalau dibuang. Kalau kalian tak keberatan, boleh hamba minta satu mangkuk lagi?”
Suasana mendadak hening. Lalu, beberapa pelayan menunduk menahan tawa. Bahkan salah satu selir yang duduk di pojok ruangan menutup mulutnya dengan kipas sambil tersenyum geli.
Sikap Mei Lin yang tidak mudah tersulut, serta kemampuannya mengubah suasana tegang menjadi ringan, membuat rencana Selir Hua gagal total.
Sore Harinya, di Istana Kaisar
Kaisar Liang Xu sedang membaca laporan negara ketika kepala pelayan datang membawa berita.
“Yang Mulia, kami mendapat laporan bahwa Selir Mei Lin mengalami insiden saat menghadiri jamuan sore.”
Kaisar menoleh. “Insiden?”
“Sup jamur tertumpah ke pangkuannya. Namun beliau tidak marah. Bahkan meminta semangkuk lagi.”
Kaisar menahan senyum. “Benar-benar aneh…”
“Apakah Yang Mulia akan memanggil tabib?” tanya kepala pelayan.
“Tidak perlu. Tapi sampaikan padanya... bahwa esok pagi, ia diundang sarapan kembali. Kali ini di taman peony, bukan di dalam ruangan.” perintah Kaisar Liang Xu
Kepala pelayan membungkuk. “Baik, Paduka.”
Kaisar kembali menatap laporan di tangannya, namun bibirnya melengkung samar.
“Seorang selir yang tidak haus kekuasaan, tidak takut noda, dan masih sempat memikirkan rasa sup… sepertinya benar-benar langka.” gumam Kaisar Liang Xu
Di Paviliun Anggrek Putih
Mei Lin tengah mengganti pakaiannya sambil berseru ringan.
“Lian, apakah kita punya sisa bubur dari kemarin?” tanya Mei Lin
Lian menghela napas. “Nyonya, Anda diundang sarapan lagi oleh Kaisar besok pagi.”
Mei Lin tercengang. “Apa? Lagi? Apa beliau tidak bosan makan bubur terus?”
Lian menatapnya dengan wajah lelah. “Nyonya... mungkin justru itu sebabnya beliau menyukai Anda.”
Mei Lin mengerutkan kening. “Apa karena buburnya?”
Lian menatap langit-langit. “Kalau bukan karena buburnya... ya mungkin karena kepalanya.”
“Siapa yang kepalanya?” tanya Mei Lin
“Tidak, tidak... bukan apa-apa.” jawab Lian cepat
(Mungkin maksudnya kepala Nyonya yang sedikit... berbeda.)
Dan hari itu pun berlalu, dengan pelan namun penuh keanehan manis yang mengubah warna istana sedikit demi sedikit...
Pagi itu, Kaisar Liang Xu menyaksikan pergerakan pelayan di taman peony dengan penuh perhatian. Matahari pagi bersinar lembut, menciptakan suasana yang tenang namun penuh ketegangan tak terlihat. Di tengah taman, tanaman peony mekar sempurna, memberikan aroma harum yang menyelimuti udara.
Di salah satu sudut taman, Selir Mei Lin duduk santai di atas tikar bambu yang dihiasi bunga-bunga kecil. Pemandangannya tak ubahnya sebuah lukisan hidup—bunga mekar, burung-burung berkicau, dan angin yang sejuk.
Namun, ada satu hal yang tak biasa. Seorang selir baru muncul dengan anggun di tengah taman. Selir itu mengenakan pakaian berwarna merah cerah dengan motif burung phoenix, sangat mencolok di antara warna hijau peony. Ini adalah Selir Xue, selir asing dari kerajaan tetangga yang baru saja datang ke istana. Dikenal dengan kecantikan yang luar biasa dan keanggunannya yang tak terbantahkan, Xue bukanlah seseorang yang mudah untuk diabaikan.
“Ah, jadi ini tempat yang sering dikunjungi oleh Selir Mei Lin?” tanya Selir Xue sambil melangkah ke arah Mei Lin. “Bagus sekali. Tapi sayang, bunga-bunga ini tak akan bisa mengalahkan kecantikan para selir di sini.”
Mei Lin menatapnya tanpa terburu-buru. “Mungkin. Tapi bukankah bunga itu lebih abadi daripada kita? Mereka mekar dengan cara mereka sendiri.”
Selir Xue tersenyum. “Benar sekali, Selir Mei Lin. Tapi kita semua tahu bahwa meskipun bunga indah, yang mengatur taman ini tetaplah pemiliknya, bukan?”
Mei Lin tersenyum tipis. “Tentu saja. Dan itu sebabnya taman ini dipenuhi dengan kedamaian, bukan persaingan yang tak perlu.”
Xue tersenyum dingin. “Persaingan adalah hal yang wajar di istana, bukan?”
Mei Lin hanya mengangkat bahu, tidak merasa perlu melanjutkan percakapan. Namun di dalam hatinya, ia sudah mulai merasakan ketegangan yang semakin terasa di udara.
Di kejauhan, Kaisar Liang Xu berdiri di bawah pohon willow, menyaksikan interaksi antara Mei Lin dan Xue. Di sisi lain, para selir lain juga berkumpul dengan mata tertuju pada Selir Mei Lin, yang tampaknya tanpa disadari telah menarik perhatian Kaisar. Para pelayan mulai berbisik-bisik.
“Apakah Kaisar memperhatikannya?” tanya salah satu pelayan. “Sepertinya ia sangat tertarik pada Selir Mei Lin.”
“Tidak mungkin,” jawab pelayan lainnya. “Dia hanya seorang selir biasa, tidak memiliki pengaruh atau latar belakang yang kuat.”
Namun Kaisar tetap memperhatikan dengan penuh perhatian. Ia menyandarkan tubuhnya ke batang pohon dan membiarkan matanya tetap terkunci pada Mei Lin.
Beberapa saat kemudian, Selir Mei Lin diminta untuk menemui Kaisar. Di ruang pertemuan, Kaisar Liang Xu duduk di kursi tahtanya yang tinggi dan menjulang, namun kali ini ia terlihat sedikit lebih santai. Di hadapannya, Mei Lin berdiri dengan anggun, mengenakan gaun hijau muda yang terlihat sederhana, tetapi tetap menunjukkan keanggunan yang memikat.
“Selir Mei Lin,” kata Kaisar dengan nada lembut namun penuh makna. “Apakah kamu menikmati jamuan pagi tadi?”
Mei Lin membungkuk hormat. “Hamba sangat menikmatinya, Yang Mulia. Terima kasih telah mengundang hamba kembali.”
Kaisar tersenyum tipis. “Aku merasa kamu berbeda dari yang lain. Kamu tidak terburu-buru untuk menarik perhatian, tidak tergoda untuk menunjukkan kelebihanmu. Sepertinya kamu tahu betul bagaimana menjadi dirimu sendiri.”
Mei Lin mengangkat wajahnya sedikit. “Terkadang, Yang Mulia, hanya dengan menjadi diri sendiri, seseorang bisa lebih mudah diterima. Semua yang berlebihan akan membebani.”
Kaisar menatapnya dengan tajam. “Kata-katamu bijak. Tapi hati-hati, Selir Mei Lin, di istana ini, mereka yang tidak berusaha menunjukkan kelebihan mereka terkadang dianggap terlalu lemah.”
Mei Lin tersenyum. “Hamba tak takut dianggap lemah, Yang Mulia. Saya hanya berusaha bertahan dalam keheningan.”
Kaisar terdiam sejenak, menatap Mei Lin dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Ada sesuatu yang menarik tentangmu, Selir Mei Lin. Aku rasa… aku ingin mengenalmu lebih baik.”
Sementara itu, di luar ruang pertemuan, Selir Hua dan Selir Min bersembunyi di balik kolom istana, mengamati seluruh kejadian dengan mata tajam mereka. Mereka sudah tahu bahwa Mei Lin akan menarik perhatian Kaisar, dan itu membuat mereka cemas.
“Lihat, Hua-jie, Kaisar tampaknya semakin tertarik pada Selir Mei Lin,” ucap Selir Min dengan nada was-was. “Kita harus melakukan sesuatu.”
“Jangan terburu-buru,” jawab Hua dengan sikap tenang. “Kita harus bermain perlahan. Mungkin… kita bisa memanfaatkan kedatangan Selir Xue.”
Selir Min menatap Hua, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”
Hua tersenyum licik. “Xue adalah ancaman yang nyata. Kalau dia sudah datang, kita harus pastikan bahwa Mei Lin tidak akan mencuri perhatian Kaisar lebih jauh.”
Sementara intrik di dalam istana semakin berkembang, Mei Lin tetap melanjutkan kehidupannya dengan tenang. Ia tahu bahwa di dunia ini, siapa yang tidak mau bermain bisa saja menjadi pemain utama tanpa disadari.
Namun, kehadiran Selir Xue dan ancaman yang semakin besar di istana tidak bisa ia abaikan begitu saja. Seperti bunga peony yang indah namun rapuh, Mei Lin harus berhati-hati agar tidak tersingkirkan oleh mereka yang lebih ambisius.
Bersambung