Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Di Bawah Meja
Restoran itu remang dan elegan. Cahaya keemasan dari lampu gantung memantul di dinding marmer, menciptakan bayangan lembut yang menenangkan—dan menyimpan misteri.
Ghea melangkah masuk di samping David, pria yang terlalu percaya diri untuk seseorang yang hidup dari warisan mertuanya.
Sebuah meja bundar dengan empat kursi telah disiapkan. Di sana, Tessa, sang sekretaris, sudah berdiri—dengan rok mini di atas lutut dan blus ketat yang terlalu berani untuk disebut profesional.
Ghea menatapnya tajam. Perempuan yang diam-diam merebut suaminya.
"Dia ini mau kerja atau ikut kontes jalan di atas catwalk? Atau memang sengaja menjajakan tubuhnya—pada David, atau pada klien, siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki? Murahan. Dan David... lebih suka yang seperti itu rupanya. Perempuan yang mengumbar tubuh dan tak tahu malu."
Ghea menarik napas dalam, menelan amarahnya bulat-bulat.
"Sudahlah. Ini malam bisnis. Aku hanya perlu tersenyum. Fokus, Ghea. Jangan hancur hanya karena satu pelakor tak tahu diri. Ini bukan tentang dia."
David melambaikan tangan pada pelayan, memesan wine terbaik dengan gaya seorang pria yang merasa dirinya penting. Tessa duduk di sebelahnya dengan dalih mencatat laporan—meski tubuhnya terlalu miring, terlalu dekat, terlalu sadar akan keberadaannya sendiri.
Suara langkah terdengar. Sepatu kulit menginjak lantai berlapis karpet mahal. Tegas. Terukur. Memiliki ritme milik seseorang yang tahu ia akan menjadi pusat perhatian, dan memang pantas mendapatkannya.
Ghea menoleh secara refleks. Dan saat itu—jantungnya berhenti berdetak sedetik.
Itu Leon.
Tapi bukan pria dengan potongan rambut koma hair dari klub malam. Bukan pria yang menyamar sebagai kurir sambil menyodorkan bunga dan senyum nakal. Bukan pula pria berkemeja putih dengan beberapa kancing terbuka, menampakkan dada bidang dan lengan tergulung yang membingkai ototnya—sosok yang muncul di restoran dengan aura menggoda.
Ini Leon dalam versi yang asing. Dingin. Tajam. Terlalu tampan untuk disebut nyata. Rambutnya disisir rapi ke belakang, mengenakan jas hitam pekat dengan kemeja abu tua yang mempertegas garis rahangnya. Tak ada senyum. Tak ada kerling genit. Hanya sorot mata yang tak memberi ruang untuk bercanda.
"Selamat malam, Tuan." David berdiri lebih dulu, menyambut dengan tangan terulur, tak sadar bahwa pria di hadapannya adalah pria yang akan menghancurkan semua ilusi kebahagiaannya. "Terima kasih sudah meluangkan waktu. Saya David, dan ini istri saya, Ghea.”
Lelaki itu menyambut jabatan tangan David dengan tenang. Satu anggukan singkat. "Selamat malam. Saya Leon, perwakilan dari Mahardika Group."
Suaranya dalam, berat, seperti bisikan yang tidak perlu ditinggikan untuk memberi tekanan. Bukan sekadar percaya diri—ia berbicara seperti pria yang tahu, kehadirannya cukup untuk mengisi ruangan. Tatapannya hanya sepintas ke arah David—kemudian jatuh, seperti gravitasi, pada Ghea.
Ia sedikit menunduk. “Senang bertemu dengan Anda, Nyonya.”
Ghea membeku. Ingin berbicara. Tapi lidahnya kelu.
"Ini bukan Leon yang kukenal. Ini... singa dalam jas. Wajah yang pernah kulihat mendekat sambil berbisik hal-hal yang membuatku kehilangan akal, kini hadir dengan ketenangan yang bisa menusuk."
"Kenapa dia di sini? Kenapa dengan cara seperti ini? Bukankah awalnya dia hanya... kesalahan yang nyaris kubayar mahal? Lelaki muda yang tiba-tiba kupilih untuk rencana gila—lalu kubatalkan."
"Tapi dia menolak mundur. Katanya, kesepakatan tetap kesepakatan. Dan sejak saat itu… dia muncul lagi dan lagi. Menggodaku, mengusikku, membuatku kehilangan arah. Tapi malam ini... dia datang bukan sebagai godaan. Tapi ancaman."
"Siapa dia sebenarnya?"
Leon duduk perlahan, setelah David mempersilakan. Gerakannya tenang, penuh kendali. Tidak terburu-buru. Tidak kikuk.
Dan Ghea tahu—dalam detik itu, semuanya akan berubah.
Tessa yang duduk di sebelah David, sejak Leon masuk, pena di tangannya tak bergerak satu milimeter pun.
"Ya Tuhan... siapa dia?"
Matanya menelusuri pria itu dari ujung rambut ke ujung sepatu. Rambut rapi disisir ke belakang. Jas hitam yang jelas bukan buatan massal. Dada bidang. Rahang tajam. "Bukan cuma tampan—ini definisi dominasi."
Ia memperbaiki posisi duduknya, menyilangkan kaki pelan, lalu menyibakkan rambutnya ke belakang dengan gerakan yang nyaris lambat. Refleks. Insting seorang perempuan yang tahu kapan harus menunjukkan daya tarik.
"Fix. Husbu. Yang muncul dari live-action mimpi."
(Husbu: sebutan untuk pria fiktif idaman.)
"Tapi yang ini... nyata. Dan duduk di hadapanku."
Senyumnya hampir terbentuk—hampir—kalau saja ia tak sadar masih berada di sisi atasannya.
Leon menyodorkan sebuah kotak beludru hitam. Gerakannya anggun, presisi. Seperti segala hal yang ia lakukan telah diperhitungkan dengan teliti.
"CEO kami ingin memberikan sedikit penghargaan kepada calon mitranya. Kalung edisi terbatas. Hanya ada tiga di dunia. Dan salah satunya... untuk istri Anda."
David tertawa, suara tawanya ringan tapi tak sepenuh hati. “Wah, saya sangat tersanjung. Istri saya pasti senang sekali.”
Ia melirik sekilas ke arah Tessa, sekretarisnya, yang sejak tadi tampak terlalu fokus pada pria di seberang meja. Tatapan Tessa tak berpindah, pena masih diam di atas buku catatan. Tak satu pun kata ditulis.
David merasakan keganjilan itu, seperti perubahan suhu yang samar tapi tak bisa diabaikan. Sebuah kegelisahan mulai merayap di balik senyumnya. Aura Leon—dingin, rapi, dan nyaris tak tersentuh—tiba-tiba terasa terlalu dominan. Terlalu mengancam.
Ghea ingin tertawa juga. Tapi tawanya tertelan di tenggorokan—mati di dada sebelum sempat lahir. Tangannya sedikit gemetar saat menerima kotak itu. Di dalamnya, terbaring kalung berlian mungil dengan desain sederhana namun anggun. Sebuah kemewahan yang terasa terlalu personal… terlalu istimewa untuk sekadar ‘hadiah mitra bisnis.’
"Jadi ini maksudnya? Ini bukan kebetulan… ini rencana. Pesan itu—menyuruhku berdandan cantik karena katanya akan memberiku hadiah—ternyata ini yang dia maksud?"
Pandangan David tertuju pada Leon Leon —menilai, mungkin merasa terancam. Tapi alih-alih menoleh ke Ghea, pria itu justru melirik ke arah Tessa. Sorot matanya menyiratkan ketidaksukaan ketika melihat kekaguman yang tak bisa disembunyikan dari mata sekretarisnya.
Ghea menyadari semuanya. Ia duduk tenang, tapi matanya tajam seperti mata pisau. David tak sadar, ia sedang diawasi.
Saat tangan David perlahan merayap ke paha Tessa—gerakan kecil, seolah sekadar isyarat peringatan—si sekretaris malah membalas dengan menggosok perlahan betisnya pada kaki David, seperti isyarat balasan yang jauh lebih intim.
Ghea tetap diam. Ia menatap permukaan anggurnya, seakan menatap jurang. Menahan napas. Menggigit lidah.
"David, kau brengsek."
"Ternyata kau serendah ini. Dan sebegitu bodohnya aku telah mempercayaimu selama ini."
"Saat makan malam resmi. Klien di hadapanmu. Di meja yang seharusnya dipenuhi hormat dan kesopanan. Kau memilih menggoda wanita lain, sementara aku duduk di sampingmu—sebagai istri, tapi hanya jadi tamu dalam hidupmu sendiri. Tak perlu teriakan untuk tahu, malam ini... kaulah bentuk pengkhianatan paling memalukan."
Ia menutup kotak kalung perlahan. Ada tawa getir di sudut bibirnya—tawa perempuan yang tak lagi patah, tapi telah membatu.
Lalu, dari sisi lain meja, tangan Leon bergerak perlahan.
Tak ada yang melihat.
Tak ada yang tahu.
Sesuatu menyentuh pahanya—lembut, terukur, tapi berani. Sehangat bara. Seberani peringatan.
Ghea menoleh. Mata mereka bertemu. Leon tidak bicara. Tapi tatapannya menantang. Seolah berkata :
"Lihat mereka. Lihat siapa yang lebih rendah dari siapa."
Tangan itu tak bergerak liar. Tapi ada di sana. Menekan pelan. Memberi tahu bahwa ia sadar. Bahwa ia tahu. Dan bahwa ia tak akan diam saja melihat Ghea dihancurkan.
"Kita bisa mulai dengan distribusi di wilayah timur. Fokus kami adalah retail menengah ke atas."
Suara Leon begitu tenang, kontras dengan panas yang ditinggalkannya di kulit Ghea.
Ghea mematung. Emosinya campur aduk.
Hatinya hancur oleh David.
Tapi tubuhnya gemetar karena sentuhan pria yang seharusnya ia jauhi.
David terlalu sibuk mencuri pandang ke arah Tessa, tak sadar ada badai di bawah meja.
Leon mengalihkan pandangan ke arah Tessa. Tatapannya tajam, tapi senyumnya hangat. Sikap yang terlalu tenang untuk sekadar basa-basi.
"Saya dengar sekretaris Anda cukup kompeten, Tuan David. Mungkin... lain kali kita bisa makan malam berdua untuk membahas kemungkinan kerja sama yang lebih mendetail."
Tessa tersentak kecil, tapi cepat menguasai diri. Ia menegakkan tubuh, menyibak sedikit rambut ke belakang telinga sambil tersenyum manis.
"Itu akan menjadi kehormatan besar, Tuan Leon."
Nada suaranya lembut. Matanya berbinar, tak bisa menyembunyikan ketertarikan yang sudah ia tahan sejak tadi.
David menyipitkan mata. Bahunya menegang. Ia tertawa kecil, tapi tak bisa menyembunyikan nada getir di baliknya.
"Ah, Tessa memang sangat... efisien."
Leon hanya mengangguk, tetap tersenyum. Tapi di bawah meja, tangan kirinya bergerak.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.