NovelToon NovelToon
Pernikahan Balas Dendam

Pernikahan Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:273
Nilai: 5
Nama Author: arinnjay

Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 : Kamu dan Aku, Selamanya

Malam turun dengan tenang di kota yang mulai beristirahat. Lampu-lampu jalan perlahan menyala, memantulkan cahaya lembut di aspal yang masih sedikit basah sisa hujan siang tadi. Di rumah aman yang kini menjadi tempat berlindung bagi Damian dan Arumi, kehidupan berjalan dalam ritme yang damai. Tak ada lagi ketegangan seperti dulu. Tak ada lagi bisikan dendam yang mengusik malam.

Damian berdiri di dapur kecil, mengenakan apron biru tua yang kebesaran di tubuhnya yang tinggi. Tangannya sibuk mengaduk sup yang sedang ia masak, sementara sesekali matanya melirik ke arah pintu yang terbuka ke ruang tamu.

Di sana, Arumi duduk di sofa sambil memeluk buku dan menyelipkan kakinya ke bawah tubuhnya, terlihat begitu nyaman. Rambutnya digerai seadanya, dan ia mengenakan sweater milik Damian yang terlalu besar, tapi justru membuatnya terlihat manis.

“Kamu yakin nggak mau bantuin?” Damian bertanya dari dapur, nada suaranya main-main.

Arumi menjawab tanpa mengangkat wajah dari bukunya. “Aku bantu dengan cara gak ganggu. Masakannya pasti lebih enak kalau kamu fokus, kok.”

Damian tertawa pelan. “Alasan klasik buat nggak bantu.”

“Tapi jujur,” lanjut Arumi, akhirnya menoleh dan tersenyum, “aku suka lihat kamu masak. Kamu kelihatan beda.”

“Beda gimana?”

“Kayak... kamu lagi bikin sesuatu yang penting. Kayak kamu lagi ngebangun rumah lewat hal-hal kecil.”

Perkataan itu membuat Damian diam sejenak. Ia menatap panci di depannya, lalu ke arah Arumi. Ada kehangatan yang merayap di dada—rasa syukur, karena dalam hidup yang pernah kacau, ia menemukan seseorang yang bisa melihat kedalaman dari hal-hal kecil.

Beberapa menit kemudian, makan malam pun siap. Mereka duduk berdua di meja kecil, hanya ada dua mangkuk sup, roti panggang, dan dua gelas air putih.

Mereka makan dalam diam yang nyaman. Sesekali tertawa kecil ketika Arumi mengomentari gaya potongan wortel Damian yang “nggak niat” atau ketika Damian pura-pura tersinggung dan menyendok supnya dengan gaya dramatis.

Setelah makan, mereka duduk di balkon, membawa dua gelas teh hangat. Angin malam membelai pelan rambut mereka, dan bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu.

Damian menyandarkan punggungnya ke dinding, lalu meraih tangan Arumi, menggenggamnya erat. Arumi menoleh, dan Damian memberinya senyum kecil.

“Kamu bahagia, Aru?” tanyanya pelan.

Arumi mengangguk. “Iya. Tapi kadang... aku masih ngerasa ini semua terlalu baik buat jadi nyata.”

Damian menarik napas panjang, lalu meletakkan gelasnya. Ia berbalik menghadap Arumi, menatap gadis itu dengan serius.

“Kamu tahu, aku juga pernah mikir begitu. Tapi setiap pagi aku bangun dan lihat kamu ada di sampingku... rasanya aku pengen percaya kalau ini nyata. Dan akan terus nyata, selama kita sama-sama mau jagain ini.”

Arumi menunduk sejenak, lalu kembali menatap Damian. “Aku takut kehilangan. Takut kalau semua ini cuma fase.”

Damian menggeleng. “Kalau ini fase, aku pengen ini fase yang gak pernah habis.”

Ia lalu menarik Arumi ke dalam pelukannya. Arumi diam, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan Damian. Dalam pelukan itu, ia merasa aman—seaman pelukan pertama yang ia terima dari orang yang tak mencoba menyelamatkannya, tapi memilih bertahan bersamanya.

Damian mengecup puncak kepala Arumi, pelan dan lembut. “Kamu tahu nggak? Di hidupku yang penuh kekacauan, kamu datang kayak jeda. Tapi bukan jeda yang bikin lupa. Kamu kayak... titik balik.”

Arumi menarik diri sedikit, menatap Damian dari jarak dekat. “Dan kamu titik balik aku. Kamu ajarin aku kalau cinta itu bukan soal sempurna, tapi soal memilih setiap hari, bahkan di hari terburuk sekalipun.”

Damian tersenyum, lalu mendekat dan mencium bibir Arumi. Ciuman itu singkat, tapi penuh makna. Saat bibir mereka bertemu, waktu seakan melambat. Tak ada yang perlu dijelaskan, karena dalam diam, mereka mengerti satu hal: mereka memilih satu sama lain, sepenuhnya.

Setelah momen itu, mereka duduk lagi berdampingan. Damian meraih selimut kecil yang tergeletak di sofa balkon dan menutupi mereka berdua.

“Besok ada diskusi buku di toko, kan?” tanya Damian.

“Iya, tentang novel-novel coming-of-age. Aku excited banget, soalnya yang daftar banyak anak muda. Aku pengen tempat itu jadi rumah buat siapa pun yang butuh tempat aman.”

Damian mengangguk. “Aku suka banget lihat kamu kerja di toko. Kamu bikin tempat itu bukan cuma jualan buku, tapi jadi ruang buat cerita orang-orang.”

Arumi menoleh, matanya berbinar. “Dan kamu yang bikin aku berani mulai semua itu.”

**

Keesokan harinya, toko buku kecil mereka dipenuhi tawa dan diskusi. Damian duduk di pojok, memperhatikan Arumi berbicara dengan penuh semangat. Ia kagum, lagi dan lagi.

Setelah acara selesai dan toko mulai sepi, Arumi menghampirinya. “Hari ini seru, ya?”

Damian mengangguk. “Aku jatuh cinta lagi sama kamu. Berkali-kali.”

Arumi mengangkat alis. “Hari ini doang?”

“Setiap hari, tapi hari ini spesial.”

Mereka tertawa bersama, dan tanpa ragu, Damian menarik Arumi ke pelukannya. Di antara rak-rak buku, mereka berpelukan. Cukup lama untuk merasakan degup jantung satu sama lain. Damian mengecup dahi Arumi. “Kamu tempat aku pulang.”

**

Malam harinya, mereka duduk di ruang tamu sambil menonton film lama yang lucu tapi cheesy. Damian sesekali mencuri pandang ke arah Arumi yang tertawa lepas. Hatinya hangat.

Setelah film selesai, Damian mematikan lampu dan mereka duduk di bawah selimut, saling menatap. Damian meraih tangan Arumi dan mengangkatnya ke bibirnya, menciumnya pelan.

“Kamu tahu kenapa aku gak pernah nyerah ke kamu?” bisik Damian.

“Kenapa?”

“Karena kamu satu-satunya orang yang bikin aku mau jadi versi terbaik dari diriku sendiri.”

Arumi menatapnya lekat. “Dan kamu satu-satunya orang yang bikin aku ngerasa cukup, apa adanya.”

Mereka kembali berciuman. Kali ini sedikit lebih lama, lebih dalam. Tapi tetap lembut. Pelan. Seperti janji tak terucap yang dibangun dalam keheningan.

Damian mengelus pipi Arumi. “Aku cinta kamu. Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu nyata.”

Arumi membalas dengan tatapan penuh cinta. “Aku juga cinta kamu. Dan aku nggak takut lagi, selama kamu di sini.”

**

Beberapa hari setelahnya, Damian membawa Arumi ke sebuah tempat rahasia—sebuah rumah kayu tua yang sudah direnovasi di pinggir kota, dengan taman kecil dan pohon yang rindang.

“Aku pengen kita punya tempat ini,” kata Damian. “Buat masa depan kita. Nggak perlu mewah, tapi cukup buat kita tumbuh.”

Arumi menatap rumah itu, lalu menatap Damian. “Kamu yakin?”

Damian mengangguk. “Selama kamu masih mau bareng aku.”

Arumi memeluknya erat. “Selalu.”

Di tengah taman kecil, mereka berciuman lagi—di bawah cahaya sore yang lembut, dengan daun-daun yang bergoyang pelan, dan udara yang wangi oleh harapan.

**

Malam itu, mereka tidur berpelukan. Damian memeluk Arumi dari belakang, kepalanya bersandar di pundaknya. “Kalau nanti kita berantem, jangan pergi ya. Kita obrolin, kita selesain.”

Arumi menggenggam tangan Damian yang melingkar di pinggangnya. “Aku nggak akan pergi. Aku nggak lagi lari. Kita hadapin bareng, kayak yang selama ini kita lakuin.”

Damian tersenyum dalam gelap. “Kamu rumahku, Arumi. Satu-satunya yang aku butuh.”

Dan dalam keheningan malam, dua jiwa yang dulu penuh luka kini tertidur dalam pelukan, saling menjaga, saling menyembuhkan.

**

Pagi datang dengan aroma kopi dan sinar matahari yang menembus tirai. Damian lebih dulu bangun dan menatap wajah Arumi yang masih terlelap. Ia mengecup pipi Arumi pelan.

“Satu hari lagi buat jatuh cinta lagi ke kamu,” bisiknya.

Dan seperti itulah hari demi hari mereka lalui. Bukan tanpa rintangan, tapi dengan hati yang saling memilih, saling menerima, dan saling mencintai tanpa syarat.

Cinta mereka bukan dongeng.

Tapi kenyataan—yang mereka ciptakan, rawat, dan jaga, bersama.

...****************...

1
Araceli Rodriguez
Ngangenin deh ceritanya.
Cell
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
filzah
Karakter-karakternya sangat hidup, aku merasa seperti melihat mereka secara langsung.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!