”Elden, jangan cium!” bentak Moza.
”Suruh sapa bantah aku, Sayang, mm?” sahut Elden dingin.
"ELDENNN!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Felina Qwix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Overthinking
Keesokan paginya—
Moza memakai bandana di atas kepalanya, Elden pun tersenyum melihat ke arah istrinya.
"Kenapa lihat?" sinis Moza.
"Gak papa, Sayang," sahut Elden.
"Sekarang ujian sekolah, kalo sampe kamu ngelanggar perjanjian kita, gak usah kamu deket deket aku, apalagi sampe-"
"Iya, Sayang." Potong Elden mengiyakan, yah hanya sebatas itu jawaban Elden, pria itu tahu kalau Moza sampai dengar dia akan ikut balapan, bisa gawat. Tapi, untuk apa juga Elden berbicara ini. Dia harus fokus ujian untuk sekarang.
"Oke, ayo jalan. Kan harus masuk pagi loh." Moza pergi ke depan, sementara Elden menyusulnya. Pria itu lantas membiarkan Moza masuk ke dalam mobilnya terlebih dahulu. Meski, sebenarnya Elden ingin nanti Moza tidak salah paham akan dirinya, setidaknya membaca surat miliknya.
Tepat jam —06.45
Elden tiba di sekolah Liston, sepanjang perjalanan tadi bersama Moza, Elden tak berbicara apapun kepada gadisnya. Dia sebenarnya bimbang, juga sangat bingung tapi dia harus membantu teman-teman genknya. Dan saat ia turun dari mobil, Niel menghampiri Elden.
"Kenapa lo gak lagi peduli!" sinisnya.
Nimbuz juga hadir. "Gue kira lo peduli kita kayak zaman dulu, taunya gak lag ya? Apa sebatas ini persahabatan kita?" Sinis teman-temannya Elden. Moza hanya melihat apa yang kedua teman Elden katakan, setidaknya dari raut wajah mereka yang sinis ke arah suaminya. Saat keduanya pergi, Moza mendekat ke arah Elden.
"Kok mereka bisa sinis ke kamu, El? Ada masalah apa?" tanya Moza.
"Gak ada. Ayo masuk ke kelas."
Elden menjawab dingin pada gadisnya, Moza hanya bisa menghela napasnya pelan.
Gadis itu tahu, prianya tak semudah itu bisa membuka masalah yang ia tanggung. Tapi, Moza jadi overthinking.
Saat di kelas, Moza melambaikan tangannya kepada Elden, tapi pria itu tak merespon dan pergi begitu saja. Tatapannya kosong, terasa berat, sepertinya memang ada sesuatu.
Jia yang ada di samping Moza langsung menepuk bahu Moza.
"Za, gue mau curhat boleh gak sih?" ucap Jia, seolah tak tahu kondisi Moza yang tiba-tiba saja badmood karena semakin sesak akan sikap Elden.
"Za?" Lagi, Jia mengulang perkataannya.
"Eh ya, ada apa sih?" tanya Moza yang akhirnya berujung ketus.
Jia memamerkan ceruk lehernya kepada Moza.
"Lo habis ngapain sih? Lo gi-gituan ya sama Zon?"
"Gak! Enak aja! Kemarin, eh semalam listrik mati di markas, gue kepeleset, terus gue jatuh kan, ke gerombolan semut yang bawa kecoak. Kesel banget gue!" Cerita Jia. Moza pun menghela napasnya sembari menyipitkan matanya.
"Yakin, lo?"
"Iya, lagian mana ada Zon ciuman sama gue? Dia polos, iya kalo Elden, tatapannya aja udah alpha banget," ucap Jia yang meledek Moza.
"Hehe, iya." Jawab Moza seadanya, kepalanya masih terus memikirkan sikap teman-temannya Elden tadi di parkiran. Jia yang merasa Moza tak terlalu merespon jadi kesal sendiri.
"Lo mikirin ujian?"
"Gak kok,"
"Lo tau gak? Devano digebukin tempo hari sama Elden dan ini katanya Zon. Plus dia juga dikeluarkan dari Liston."
Deg.
Moza terkejut. "Loh, dia kan sepupunya Eld-" Moza menutup mulutnya, dia keceplosan. Meski, faktanya Moza tidak tahu fakta tentang Cindy dibalik itu.
"A-apa? Sepupu? Kok Lo tau?"
"Enggak kok, gue bercanda." Moza langsung panik sendiri, gadis itu nyaris diam tanpa sebab.
Tapi, Jia sudah kadung penasaran. "Za, ceritakan dong? Lo tau apa soal Devano? Mirna soalnya juga dikeluarin dari sekolah, tau!" ungkapnya. Saat Moza hendak menceritakan semuanya, bel masuk justru berbunyi.
Teeet.
Jadi, obrolan itu terpisah begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Tapi, Jia malah sangat penasaran. Apalagi menyangkut keluarga Pitch. Bukannya katanya hanya Elden keturunan satu satunya? Kenapa ada yang lain? Apa gosip itu sungguhan? Apa Devano...?
Jia menyimpannya sendirian. Tak lama, Moza baru ingat soal teman masa kecilnya, Alredo yang ia ajak melakukan panggilan suara saat Elden menyewa lacur beberapa lalu.
Moza pun segera mencari nomor Alredo, tapi tidak ada jawaban alias berbunyi senyap, ketika Moza mencoba menghubungi nomor tersebut, tak lama setelahnya Moza mencoba mengingat nomor Alredo di hape lamanya, tapi hape itu sudah ada di tangan Elden. Moza menghela napasnya pelan, dia akhirnya meletakkan ponsel itu di tasnya. Ujian sudah tiba, Moza harus fokus mengerjakan soal-soal itu kali ini.
***
Saat jam Istirahat—
Moza hendak ke kelasnya Elden, tapi di sana pria itu juga tidak ada, saat Moza pergi ke markas Jehuda, Elden juga tidak ada di sana.
Seketika Moza jadi tambah panik, pertama ekspresi teman-temannya Elden tadi pagi, kedua apa Elden tau soal pesan Alredo di ponselnya?
Tapi, pada saat itu Jia lagi-lagi datang menepuk bahu Moza. "Nanti malam ada balapan! Ini tuh cinta masa kecil lo, si Alredo dari Genk Moppo bakalan hajar Niel sama Nimbuz, kalo mereka kalah lagi!" Cerocos Jia lagi.
"A-apa?"
"Iya, Genk Jehuda kemarin kalah sama Moppo. Kalo nanti malam kalah, asli Niel sama Nimbuz bakalan mati dihajar atau mereka bakalan kehilangan mobil mewah mereka," papar Jia. Moza tak berbicara apapun, apa ini ada hubungannya dengan Elden dan air wajah teman-temannya tadi? Pasti ada kan?
"Za, kenapa lo diem?" Panggil Jia sekali lagi. Moza pun menghela napasnya berat, dia agak terkejut. "Eh, enggak. Gak papa kok gue."
Jia mencebik. "Lo mah selalu aja, Za."
"Kok lo tau Redo join Genk Moppo?" tanya Moza singkat.
"Taulah. Semalam yang habis listrik mati, Jehuda itu mau berantem tau, gegara Elden gak balas pesannya Nimbuz sama Niel soal diajak balapan!" Papar Jia. Moza hanya mendengarkan, tapi sebenarnya dia sendiri tidak percaya, jika Elden tidak akan bergabung dengan ajang balapan itu, mana mungkin?
Pasti Elden akan mementingkan balapan. Tapi, kenapa ekspresi teman-temannya tadi justru jengkel? Apa Elden sungguh tak mengindahkan apa yang teman teman genknya katakan sesuai ucapan Jia?
Moza tak mau berpikir panjang, gadis itu terkejut ketika hasil ujian sekolah jam pertama sudah diumumkan di depan Mading digital. Dan nilai terbesar di kelas IPA adalah Elden. Sontak, Moza terkejut, sesuai janjinya Elden akan belajar dengan serius hari ini bahkan sampai selesai ujian. Nilai pria itu 96,5 sementara nilainya Moza hanya 96 saja.
Hal ini, membuat Moza percaya kalau Elden akan bertekad merubah dirinya jadi lebih baik, jadi bisa saja kan soal balapan, Elden pasti mengabaikan hal itu? Bukan tidak mungkin ’kan?
Saat Moza berdiri di sana, Niel malah tiba tiba saja datang.
"Kenapa sih, Za, dengan adanya lo, Elden jadi gak ada kompaknya sama kita-kita? Apa nyawa kita gak ada berharganya di mata dia?" Sinis Niel tiba-tiba. Moza pun gemetar.
"M-maksudnya?"
"Alredo Bastian, dia mantan pacar lo pas masih kecil 'kan? Kenapa dia harus cari masalah sama kita? Mentang-mentang kemarin malam gue kalah, dia nantang kita kali nanti malam kita kalah lagi, markas bakalan dibakar, terus nyawa gue, Zon sama Nimbuz jadi taruhannya. Paham lo!"
"Jadi, apa Elden gak ikut?" tanya Moza gugup.
"Lo emang egois! Dari pertanyaan lo aja, gue gak respek banget!" ketus Niel yang lantas pergi begitu saja.
lah kok bisa jadi jovano itu loh /Hammer/