NovelToon NovelToon
Kirana Gadis Indigo

Kirana Gadis Indigo

Status: tamat
Genre:Anak Genius / Cinta pada Pandangan Pertama / Tamat
Popularitas:16.6k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.

Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.

Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Kirana berdiri di depan kursi yang berada di tengah panggung ruang teater. Sorotan cahaya tunggal dari lampu atas menyorotinya, membuat segala sesuatu di sekeliling menjadi kabur dan gelap.

Bayangan itu... jelas sekali berdiri di belakangnya. Tinggi, tak berbentuk pasti, seperti asap hitam yang padat. Dan ketika Kirana menoleh cepat, tak ada siapa-siapa.

Namun suara itu masih ada.

"Kau akan jadi yang terakhir. Kunci yang belum dibuka. Penghubung yang ditunggu."

Kirana mundur perlahan, tapi kakinya goyah. Diriya dan Kezia langsung naik ke atas panggung menyambutnya.

"Kirana! Kamu gak apa-apa?!" seru Diriya sambil memegangi pundaknya.

Radit, Nila, dan Jalu mengejar dari belakang. Pak Darmin berdiri di sisi panggung, masih tersenyum tipis.

"Tenang saja... itu hanya efek tekanan. Banyak siswa unggulan merasa gugup saat pertama kali tampil di sini," katanya. Tapi matanya tak menyiratkan kekhawatiran sama sekali.

---

Malam itu, mereka semua berkumpul diam-diam di kamar Kirana.

"Kita gak bisa cuma jadi penonton lagi," ucap Nila.

Radit mengangguk. "Sesuatu di sekolah ini jelas bermain dengan kita. Kirana dikejar karena dia bisa 'mendengar'. Tapi kita juga ikut masuk dalam daftar."

Jalu membuka catatan peta yang mereka temukan sebelumnya.

"Masih ada dua titik merah di peta ini yang belum kita selidiki. Satu di ruang pendingin bekas kantin tua, satu lagi di bawah panggung teater."

"Besok kita ke ruang bawah panggung," ucap Kirana.

---

Esok malam.

Mereka menyelinap masuk ke ruang teater lewat pintu belakang. Jalu, dengan obeng dan senter, berhasil membuka lantai kayu panggung.

Tangga kecil batu tua muncul. Mereka turun satu per satu ke dalam lorong sempit dan lembap.

Di bawah sana, udara lebih dingin dari ruang pendingin. Bau jamur dan besi tua memenuhi udara.

Setelah berjalan beberapa meter, mereka tiba di sebuah ruangan kecil seperti gudang. Tapi di dalamnya...

ada papan kayu besar bertuliskan nama-nama siswa.

Satu per satu mereka membaca:

Dian T. Wibowo

Bagas S.

Elsa M.

...

Sampai ke nama terakhir:

Nomor 13: Rama N. — 13 September

Dan di bawahnya... Nomor 14: Kirana (belum diukir tanggalnya).

"Ini... udah direncanakan jauh sebelum kita datang," gumam Kezia.

Diriya menarik napas gemetar. "Kenapa cuma nama Kirana? Kenapa bukan kita juga?"

Kirana menatap kosong papan itu. "Karena aku kunci terakhir."

Radit melangkah ke sudut ruangan dan menemukan sebuah kotak besi. Di dalamnya ada pakaian sekolah berlumur darah... dan sebuah jurnal harian.

Saat dibuka, tertulis:

"Ritual ini butuh pengorbanan. Tapi satu jiwa tak bisa dikorbankan begitu saja. Ia harus membuka gerbang dengan kemauan sendiri. Jika tidak... semua akan bangkit. Semua."

Jalu terdiam. "Mereka... butuh Kirana untuk rela."

---

Tiba-tiba, pintu besi di belakang mereka tertutup sendiri.

Lampu senter berkedip.

Dan dari lorong gelap di belakang, terdengar suara langkah kaki. Pelan. Berirama. Seret... hentak... seret... hentak...

Dan satu suara berat bergema:

"Bangku itu... belum terisi."

Langkah kaki itu semakin mendekat. Suaranya bergema di lorong sempit seperti gema dalam sumur tua. Kirana menelan ludah. Di sekelilingnya, kelima sahabatnya berdiri membeku, sorot mata mereka tak berani berpaling dari kegelapan.

Senter Jalu tiba-tiba mati total. Suasana mendadak pekat, dan hanya suara napas mereka yang terdengar... dan langkah itu.

Seret. Hentak. Seret. Hentak.

Kemudian hening.

Satu suara terdengar, seperti bisikan langsung ke dalam kepala Kirana:

"Jika kau tidak memilih... mereka yang akan diambil."

Kirana menjerit. Saat itu juga lampu senter menyala kembali, dan cahaya jatuh tepat ke arah sosok berdiri di ujung lorong.

Bukan manusia. Bukan pula arwah biasa. Sosok itu tanpa wajah, hanya permukaan licin gelap mengilat, tubuhnya kurus memanjang, dan tangannya menggenggam seutas pita merah berlumur darah.

Seketika Radit menarik Kirana mundur. "Kita harus keluar dari sini!"

Jalu dan Kezia berusaha membuka pintu besi yang tadi tertutup sendiri. Diriya menahan air mata sambil membaca ulang jurnal yang ditemukan Radit:

"Saat pintu gerbang jiwa terbuka, hanya yang bersedia yang bisa selamat. Jika tidak, pengganti akan dipilih dari ikatan terdekat."

"Maksudnya... kita?" Nila berkata gemetar.

Pintu berhasil terbuka. Mereka semua berlari keluar dari ruang bawah tanah, tak menoleh sedikit pun ke belakang. Suara langkah sosok itu terus mengikuti... hingga mereka berhasil menutup kembali lantai panggung.

Begitu tertutup, seluruh ruang teater kembali hening. Tak ada tanda-tanda keanehan. Seolah semua hanya mimpi.

---

Kamar Kirana, malam hari

"Mereka nggak cuma butuh aku. Mereka ngancam pakai kalian," kata Kirana sambil duduk di ujung ranjang. Rambutnya kusut, matanya sembab.

Radit duduk di lantai bersandar ke ranjang. "Kita gak akan biarin kamu sendiri. Kalau memang ada cara lain buat menghentikan ini, kita cari sama-sama."

"Iya," ucap Jalu. "Tapi kita harus tahu lebih banyak. Ritual ini bukan hal baru."

Diriya membuka peta sekolah dan menunjuk satu titik terakhir.

"Ruang pendingin di bekas kantin tua. Itu satu-satunya titik yang belum kita telusuri. Mungkin jawaban aslinya ada di sana."

Kezia menambahkan, "Dan... aku nemu nama-nama siswa dari generasi sebelum kita. Sebagian punya nama belakang yang sama kayak kepala sekolah sekarang."

Semua menatapnya.

"Maksudmu...?"

"Aku curiga, ini tradisi keluarga. Pengorbanan ini... bukan sekadar kecelakaan, tapi warisan."

---

Keesokan malamnya, mereka menyelinap ke area kantin lama.

Gedung itu sudah setengah runtuh. Atapnya bolong, lumut tumbuh di mana-mana, dan bau basi menyengat dari ruang penyimpanan.

Di dalam ruang pendingin, mereka menemukan lantai besi berkarat yang ternyata bisa dibuka. Di bawahnya, lorong spiral batu.

Kirana turun lebih dulu, diikuti yang lain.

Di dasar lorong, mereka menemukan altar batu. Di atasnya, ada 13 potongan kertas dengan tulisan tangan berbeda-beda:

"Aku menyerahkan diriku agar yang lain selamat." "Aku dipilih." "Ini akhirku."

Lalu satu potongan terakhir...

Kosong. Tapi darah segar masih menodainya.

Di dinding altar, terukir nama-nama yang sama dengan yang mereka lihat di papan nama bawah teater. Tapi kali ini, dengan tanggal dan simbol yang mirip segel kuno.

Di tengah altar itu, berdiri patung kecil berwujud anak sekolah tanpa wajah... dengan tangan terjulur seperti meminta.

---

Langit malam di atas SMA Purnama Jaya berubah menjadi kelam. Awan berkumpul, petir menyambar, dan lonceng sekolah berdentang... padahal sudah berkarat bertahun-tahun.

Dari kejauhan, terdengar suara...

"Kau menolak... maka kau harus menggantikan."

Setelah malam yang mengguncangkan itu, mereka berenam tak lagi memandang sekolah ini sebagai tempat pendidikan. SMA Purnama Jaya sekarang adalah medan pertempuran antara kehendak manusia dan kuasa kegelapan yang diwariskan turun-temurun.

Mereka tak langsung kembali ke asrama malam itu. Kirana memimpin langkah menuju perpustakaan lama. Diriya membawa salinan nama-nama dari altar, sementara Kezia membawa potongan kertas berdarah yang kosong—yang diyakini menjadi 'slot' terakhir.

"Kita butuh nama-nama yang bisa dihubungkan," kata Kirana. "Kalau kepala sekolah bagian dari ini, kita cari hubungan keluarganya."

Di pojok paling belakang perpustakaan, Jalu menarik satu laci katalog kuno yang nyaris tak tersentuh. Isinya adalah dokumen alumni dan keluarga para pendiri sekolah.

Kezia menunjuk satu nama: Surya Darmin.

"Dia ini ayah dari Pak Darmin. Juga ketua dewan yayasan dari tahun 1998 sampai 2004. Tahun-tahun ketika siswa pertama menghilang."

Radit membuka lembaran lain. "Ini... akta pendirian yayasan. Salah satu donatur awal bernama Widuri Kirana."

Semuanya menoleh ke Kirana.

"Itu... nama nenekku. Tapi aku nggak pernah tahu dia terlibat sekolah ini. Kami gak dekat. Mama aja gak pernah cerita."

Nila menunjuk catatan sumbangan: "Lihat. Tahun 2004, sumbangan besar datang dari Yayasan Widuri. Setelah itu, program unggulan dimulai. Tahun itulah siswa-siswa 'dipilih' pertama kali."

---

Kirana terduduk. Kepalanya berat.

"Jadi... keluargaku juga terlibat?"

"Mungkin bukan kamu," ucap Diriya cepat. "Tapi darahmu... adalah kunci."

Jalu berdiri. "Kalau gitu, makin masuk akal kenapa kamu ditarget. Mereka nggak cuma butuh pengganti. Mereka butuh 'garis' yang sama dengan para pendiri."

---

Tengah malam, mereka kembali ke kamar. Tapi ketika membuka pintu kamar Kirana, mereka semua terpaku.

Di dalam kamar, di atas ranjang Kirana, duduk sesosok anak perempuan berpakaian seragam putih abu. Rambut panjang, wajah pucat, matanya tak ada—hanya rongga gelap dalam.

"Namaku Rama," ucapnya dengan suara datar.

Semua mundur.

"Aku yang terakhir sebelum kamu. Aku mencoba kabur. Aku memberontak. Tapi pada akhirnya, aku melihat semuanya."

Kirana mendekat. "Apa yang kamu lihat?"

Rama memiringkan kepala. "Sekolah ini bukan sumbernya. Tapi penampung. Sumbernya... ada di bawah akar pohon tua. Di bukit belakang sekolah."

Rama berdiri. Tangan kirinya menunjuk ke luar jendela.

"Jika kamu membakar sumbernya, rantai akan putus. Tapi satu dari kalian harus tetap tinggal untuk mengunci. Dan pengunci... tidak bisa kembali."

---

Rama lenyap. Hanya meninggalkan bekas debu halus di atas sprei. Tak ada jejak lain.

"Kita harus ke pohon itu. Besok malam. Saat gerhana bulan," kata Kirana.

Radit mencengkeram lengan Kirana.

"Apa pun yang terjadi... jangan jadi pengunci. Aku yang akan lakukan itu."

Kirana menggeleng. "Belum saatnya kita putuskan siapa. Yang penting, kita harus tahu pasti apa yang akan kita hadapi."

---

Malam berikutnya, langit mulai berubah. Gerhana bulan akan datang. Dan mereka berenam tahu: Langkah selanjutnya adalah akhir—atau awal dari sesuatu yang lebih buruk.

Bersambung

1
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒃𝒂𝒈𝒖𝒔 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂 👍👍👍👏👏👏😍😍😍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒌𝒂𝒏 👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒍𝒂𝒏𝒈𝒈𝒆𝒏𝒈 𝒕𝒓𝒖𝒔😁😁
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑲𝒆𝒛𝒊𝒂 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒑𝒂𝒔𝒕𝒊 𝒃𝒊𝒔𝒂
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒃𝒌𝒏𝒏𝒚𝒂 𝑩𝒂𝒈𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒉 𝒈𝒂𝒃𝒖𝒏𝒈 𝒚𝒂 🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒔𝒉 𝒅𝒊 𝒖𝒋𝒊
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓" 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂𝒕
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒍𝒖𝒍𝒖𝒔 𝒖𝒋𝒊𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒃𝒂𝒉 𝒍𝒃𝒉 𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒍𝒈 👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒅 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒎𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒕𝒊 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑲𝒊𝒓𝒂𝒏𝒂 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂" 𝒚𝒈 𝒕𝒍𝒉 𝒕𝒊𝒂𝒅𝒂
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒅 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒃𝒍𝒎 𝒎𝒂𝒕𝒊 𝒈𝒊𝒕𝒖 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒖 👏👏👍👍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒅 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒆𝒏𝒂𝒎 𝒕𝒓𝒖𝒔 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒆𝒕𝒖𝒂𝒍𝒂𝒏𝒈
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒑𝒂 𝑹𝒂𝒅𝒊𝒕 𝒔𝒖𝒌𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝑲𝒊𝒓𝒂𝒏𝒂 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒅 𝒅𝒆𝒕𝒆𝒌𝒕𝒊𝒇 𝒉𝒂𝒏𝒕𝒖 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒏𝒈𝒏 𝒃𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒓 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒈 𝒈𝒂𝒌 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂𝒕
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒑𝒂 𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒕𝒖 𝒅𝒓 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒚𝒂 🤔🤔🤦‍♀️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!