NovelToon NovelToon
Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:995
Nilai: 5
Nama Author: DUOELFA

Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.

"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.

Aku memandang putri sulungku tersebut.

"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SEKOLAH IMPIAN ZAHRANA

Aku salah besar karena mengira Zahrana baik-baik saja selama ini. Kukira dengan ia memiliki kepintaran, memiliki prestasi, mengikuti ekstrakurikuler bela diri, di sekolah, ia bisa terlepas dari jeratan bullying. Tapi ternyata tidak. Sementara untuk melindunginya sebagai ibu, aku merasa tak bisa berbuat banyak. Untuk berjalan jauh saja, aku tak memiliki kendaraan sama sekali.

"Kamu tidur dulu, nduk. Nanti kalau sudah agak enakan, kita cerita lagi," ucapku pada Zahrana sambil menyelimuti tubuhnya. Selimut kiriman ibu dari negeri Jiran, empat tahun yang lalu.

Aku keluar dari kamar Zahrana. Kulihat kedua adiknya, Mumtaz dan Arsenio sedang tidur di ruang tengah yang tempat televisinya sudah kosong karena kugadaikan setahun lalu yang hingga saat ini belum bisa kutebus. Praktis, tak ada hiburan apapun untuk kedua anakku ini selain maina usang yang berada di keranjang. 

Aku berjalan ke kamar, meraih gawaiku dan kembali berjalan menuju ke arah gudang. Kulihat disana ada gawang, kusen jendela, daun pintu buatan almarhum ayahku disana, untuk rencana sebagai ganti ruang tamu. Aku melihatnya sesaat, tak terasa guliran air mataku menetes.

"Kamu ingin pintu rumahmu model kupu tarung kan Nduk? Ini sudah bapak buatkan. Bapak tenang sekarang. Bapak sudah menggantikan genteng rumah, sudah membuatkan pintu dan jendela. Bapak rasanya tenang sekali meninggalkanmu dirumah," ucap almarmarhum bapak setahun sebelum beliau tiada. Sungguh, aku tak memiliki firasat apapun saat itu.

Aku sebenarnya tak ingin menjual peninggalan bapak tersebut, tapi keadaanku yang seperti ini, aku merasa tak memungkinkan untuk melakukan renovasi. Aku memoto kayu tersebut dan kutawarkan pada Hasna, temanku yang terkenal kaya tapi ia begitu perhitungan sekali. Aku mendengar kabar bahwa ia akan merenovasi rumahnya. Aku sudah menawarkan kusen ini ke siapapun, tapi belum ada yang mau menawar sama sekali. Saat ini aku sangat membutuhkan uang untuk persiapan sekolah lanjutan Zahrana.

Assalamu'alaikum

Hasna, bagaimana kabarmu?

Maaf mengganggu

Apakah kamu berkenan membeli kusen dan gawang ini?

Aku sangat membutuhkan uang untuk pendidikan anak sulungku

terima kasih

Wa'alaikumussalam

Tak lupa bagian bawah kukirim foto gawang, jendela serta kusen yang tadi telah kufoto.

Aku juga mencari nomer Fida, temanku yang tak begitu akrab, tapi ia baik padaku. Aku juga mengiriminya wa karena aku sangat membutuhkan bantuannya.

Assalamu'alaikum

Fida, bagaimana kabarmu?

Maaf merepotkan

Fid, bila ada informasi pinjaman uang, aku mohon dikabari ya?

Aku butuh sekali untuk biaya sekolah anakku

Terima kasih

Wassalamu'alaikum

Aku segera kembali ke dalam rumah, takut bila Arsenio bangun dan mencariku. Aku melihat ke kamar Zahrana, ia masih tertidur dengan pulas. Aku tak berani mengganggunya agar istirahatnya bisa lebih lama.

Aku telah mempersiapkan semua jauh-jauh hari tentang sekolah dengan bertanya pada orang tua siswa yang diterima sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta agar aku bisa melihat dan membedakan serta mengukur kemampuanku, apakah aku mampu atau tidak mampu menyekolahkan anakku disana. 

Aku telah bertanya pada ibu siswa yang telah diterima di sekolah favorit di daerah kota tentang berapa biaya masuk di sana, serta sekolah madrasah negeri dekat rumah, sekolah negeri serta sekolah madrasah swasta yang letaknya tak jauh dari rumah, berjarak hanya enam kilo dari rumah serta sekolah gratis yang berada di desa sebelah pada ibu-ibu yang lain baik secara langsung saat tak sengaja bertemu maupun lewat wa.

Aku menanyakan pada ibu Rachel, mbak Emi yang saat ini sekolah di sekolah madrasah swasta tak terlalu jauh dari rumah. Biayanya murah, tidak sampai satu juta rupiah. Pembiayaan juga boleh diangsur sesuai dengan kemampuan orang tua.

"Siti, Siti, kamu ini kok bingung sekali nyari sekolah. Anak masih kelas tujuh. Tak usahlah nyari sekolah yang negeri atau apa. Mencari sekolah yang swasta pun nggak apa. Yang penting sudah masuk wilayah kotamadya. Kalau kotamadya banyak potongan biaya, kurikulum juga sesuai kota, terus kalau mau melanjutkan ke sekolah negeri di kota, tidak perlu surat rekomendasi. Yang penting itu waktu nanti kelas sepuluh. Kalau bisa, cari sekolah yang negeri, yang bagus karena buat melanjutkan ke jenjang kuliah. Ketiga anakku semua kusekolahin disana Sit," ucap mbak Emi menjelaskan padaku yang kutanggapi hanya dengan senyuman.

Aku menanyakan biaya pada ibu Rama, siswa yang telah diterima di sekolah favorit kotamadya. Untuk biaya berhubung Rama memiliki golden tiket, ia hanya membayar enam juta rupiah. Bila tidak memiliki, mungkin harus membayar lebih. Sedangkan untuk biaya SPP, aku kurang tahu istilahnya sekarang ya, dua ratus lima puluh ribu per bulan. Aku menanyakan pada ibu yang lain untuk sekolah madrasah negeri dekat rumah. Untuk biaya berkisar tiga jutaan, per tahun nanti ada biaya daftar juga yang jumlah setara dengan uang masuk. Aku pernah pula bertanya pada sekolah negerti. Katanya hanya membayar satu juta lima ratus saja. Tapi saat aku tanyakan pada Zahrana, apakah ia berminat? Ia menjawab tidak karena ada teman lelaki yang sering menggodanya rencana mau melanjutkan sekolah ke sana.

Zahrana telah bangun dari tidurnya. Ia berjalan ke kamar mandi, berwudlu untuk melaksanakan salat 'Asar. Kemudian ia berjalan ke menghampiriku di kamar.

"Bu," ucap Zahrana.

"Iya," balasku.

"Bu, aku boleh atau tidak sekolah yang jauh dari rumah? Sekolah yang para siswanya tak seorang pun mengenalku. Aku ingin memulai hal yang baru di sana. Suasana baru, teman baru," jelas Zahrana yang membuat hatiku seakan remuk redam.

Saat ini aku sedang berpikir, apa bentuk bullyan yang para pembully lakukan terhadap Zahrana serta pengaruh bullying tersebut pada putriku sehingga ia seakan ingin menghindari para pembully tersebut? Zahrana seperti mencari informasi pembully tersebut mau melanjutkan ke sekolah mana saja dan seakan ia seperti langsung memberi tanda hitam pada sekolah tersebut agar ia tidak bertemu pada pembully. 

"Sepertinya lukamu begitu hebat Nduk, hingga kamu menghindari mereka semua? Maafkanlah ibumu ini yang kurang begitu peka pada kesakitanmu selama ini! Aku masih terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk dengan dua balitaku, Mumtaz dan Arsenio serta masalah rumah tanggaku bersama mas Anton. Aku seperti belum selesai dengan diriku sendiri. Aku masih sibuk meratapi diri seakan aku bukan istri yang baik karena tidak bisa melayani suami dengan paripurna, bukan istri penurut karena aku selalu menuntut mas Anton untuk bangun pagi dan berhenti dari hobinya game online. Aku yang kerapkali meragukan diriku sendiri, apa aku mampu hidup tanpa mas Anton dan pertanyaan lain yang kadang membuatku seakan tak mengenal diriku sendiri. Aku yang tidak terlalu fokus pada ketiga anakku karena proses perubahan dari tulang rusuk menjadi tulang punggung. Aku yang mengira sikap diammu adalah bukti bahwa kamu anak yang begitu penurut. Tapi  ternyata kamu menyembunyikan semua masalahmu seperti gunung es yang hanya terlihat di permukaan saja agar aku tak terlalu bersedih. Zahrana, ya Allah, putrinya ibu," ucapku dalam hati.

Aku seperti merutuki diriki sendiri karena terlalu fokus pada urusan ekonomi dan begitu abai pada pendampingan mereka.

"Maafkan ibu Zahrana," ucapku dalam hati.

1
ibuke DuoElfa
semangat
ibuke DuoElfa
selamat membaca
kozumei
Wow, luar biasa!
ibuke DuoElfa: Terima kasih kak
semoga suka dengan cerita saya
total 1 replies
Eira
Ingin baca lagi!
ibuke DuoElfa: sudah update 2 bab kak
masih proses review
semoga suka dengan cerita saya ya

selamat membaca
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!