"Harusnya dulu aku sadar diri, bahwa aku sama sekali nggak pantas untuk kamu. Dengan begitu, mungkin aku nggak akan terluka seperti sekarang ini" ~Anindhiya Salsabila
Tindakan bodoh yang Anin lakukan satu tahun yang lalu adalah menerima lamaran dari cowok populer di sekolahnya begitu saja. Padahal mereka sama sekali tidak pernah dekat, dan mungkin bisa dikatakan tidak saling mengenal.
Anin bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Hingga cowok dingin itu sama sekali tidak pernah mengajak Anin berbicara setelah meminta Anin untuk menjadi istrinya. Mereka hanya seperti orang asing yang tinggal di atap yang sama.
--------------------------------------------------------------------------
Bagaimana mungkin aku hidup satu atap dengan seorang pria yang bahkan tidak pernah mengajakku berbicara? Bagaimana mungkin aku hidup dengan seorang suami yang bahkan tidak pernah menganggapku ada?
Ya, aku adalah seorang gadis yang tidak dicintai oleh suamiku. Seorang gadis yang masih berusia sembilan belas tahun. Aku bahkan tidak tau, kenapa dulu dia melamarku, menjadikan aku istrinya, kemudian mengabaikanku begitu saja.
Terkadang aku lelah, aku ingin menyerah. Tapi entah kenapa seuatu hal memaksaku untuk bertahan. Aku bahkan tidak tau, sampai kapan semua ini akan menimpaku. Aku tidak tau, sampai kapan ini semua akan berakhir.
~ Anindhiya Salsabila~
Mau tau gimana kisah Anindhiya? Yuk cuss baca.
Jangan lupa like, komen dan vote ya. Jangan lupa follow ig Author juga @Afrialusiana
Makasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afria Lusiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26
Anin merasa tidak enak pada El.
"Hm. Kayanya mulai hari ini gue nggak bisa pulang bareng lo lagi deh El" Ucap Anin ragu.
"Kenapa?" tanya El bingung. Apa El punya salah? tapi dia rasa tidak.
"Iya. Gue disuruh Stevan pulang sama dia terus mulai hari ini. Berangkat ke kampus juga" Jelas Anin ragu-ragu.
Bukannya marah, El justru tersenyum senang.
"Lo serius Nin?" Tanya El antusias.
Anin mengangguk. "Tadi sih katanya gitu. Tapi nggak tau juga kalo besok tuh anak berubah fikiran"
"Fix, ini kesempatan bagus. Semoga setelah ini Stevan bisa membuka hatinya buat lo. Dan perlahan lo bakal tau apa maksud dari sifat dingin Stevan selama ini"
"Jangan kebanyakan halu deh El. Dia cuma ngajak pulang doang yang gue pun nggak tau maksudnya apa, bukan nyatain cinta juga" Ucap Anin tersenyum miring.
"Ya bagus dong Nin. Setidaknya sekarang hubungan lo sama Stevan itu udah mulai ada perubahan. Dia udah ngomong sama lo, udah mau ngajak lo pulang bareng, perlahan tapi pasti lo pasti bakal nemu jawabannya dan gue yakin setelahnya lo pasti bakalan hidup bahagia" El tersenyum kemudian memluk Anin, memberi semangat dan motivasi pada sahabatnya itu.
"Aishhh dasar lo" Celetuk Anin melihat tingkah El. Tapi kalau Anin fikir-fikir, ucapan El memang ada benarnya juga. Akhir-akhir ini Stevan memang lebih banyak mengalami perubahan.
Seperti yang dikatakan El, dan Stevan tidak lagi memunggunginya saat tertidur. Bahkan akhir-akhir ini Stevan tidak segan-segan untuk memeluk Anin dan dekat-dekat dengan Anin.
"Jadi gimana? gue pulang duluan nih?" Tanya El.
"Hm. Lo tolong anterin gue ke Fakultas Kedokteran aja gapapa kan?"
"Yaelah. Santuy aja kali pake nanya segala. Ya nggak papa lah."
El menarik tangan Anin menuju parkiran. Setelah mereka duduk di dalam sana, El melajukan mobilnya menuju gedung Fakultas Kedokteran yang sebenarnya lumayan jauh jika di tempuh berjalan kaki.
"Makasih Gabriel cantik" Ucap Anin setelah turun dari mobil.
"Sama sama Nyonya Stevan" Goda El.
"Apaan sih lo" Sahut Anin malu.
***
Sudah satu jam Anin menunggu Stevan di taman yang ada di Fakultas Kedokteran. Saat ini Anin sedang duduk di salah satu kursi yang tersedia di bawah pohon yang ada di taman sembari memainkan ponsel miliknya.
Lama-lama Anin merasa bosan juga. Ngantuk juga iya. Sedari tadi Anin hanya melirik beberapa mahasiswa yang ada di sekir sana. Stevan benar-benar sudah gila menyuruh Anin untuk menunggu dirinya seorang diri di sini.
Karena matanya terasa semakin berat, Anin memutuskan untuk bersedekap di meja tembok yang ada di bawah pohon. Menikmati angis sepoi-zepoi yang sesekali menerbangkan rambut indahnya.
"Ini lo minum dulu" Tiba-tiba saja sebotol minuman terletak di depan Anin. Anin mmebuka mata, kemudian mendongak menegakkan kepalanya kembali.
"Stevan?" Lirih Anin.
Stevan tidak menjawab. Pria itu kini ikut mendudukkan tubuhnya di samping Anin.
"Dari mana kamu tau aku ada di sini?" Tanya Anin.
Stevan masih tidak menjawab. Dia hanya diam sembari memperhatikan sekitar.
"Kamu nggak ada kelas? bukannya pulang jam lima?" Anin tidak berhenti bertanya meskipun Stevan tidak menjawabnya.
"Lagi istirahat." Akhirnya Stevan menjawab meskipun singkat.
"Lo udah makan?" Tanya Stevan menoleh ke arah Anin.
"Udah tadi"
"Mau makan lagi?" Tanya Stevan.
"Enggak. Mau pulang, ngantuk"
"Jam lima" Ucap Stevan kemudian dia berdiri dan berlalu meninggalkan Anin kembali di sana sendirian.
Anin menghembuskan nafas pasrah. Detik kemudian, tangan Anin kembali ia lipat di tembok untuk bersedekap di meja batu yang ada di bawah pohon tersebut. Ngantuk, itulah yang saat ini Anin rasakan.
Lima belas menit dari kepergian Stevan, tiba-tiba saja Anin tergelonjak kaget saat seseorang menarik rambutnya kasar.
"Arkkhhhh. Lepasin" Ucap Anin memberontak.
Anin ingin meminta tolong, namun dengan cepat orang tersebut menutup mulut Anin dan juga mata Anin dengan kain yang sepertinya memang sudah dia persiapkan.
Entah keberuntungan apa yang sedang berpihak pada orang yang saat ini mengganggu Anin. Suasana di taman tersebut benar-benar sepi. Membuat orang tersebut dengan mulus melancarkan aksinya.
"Hmmmmmpt"
"Hmmmmmpt"
Anin mencoba berteriak namun tidak bisa karena mulutnya sudah di sumpal dengan kain.
Dengan gampang, orang tersebut menarik Anin hingga menuju sebuah sebuah gudang yang tidak pernah dipakai lagi di kampus tersebut. Tempat itu gelap. Anin bahkan tidak tau sekarang dia ada di mana. Yang Anin tau tempat ini sangatlah gelap.
Nafas Anin kini terasa sesak. Sebenarnya Anin sama sekali tidak bisa ada di tempat gelap seperti ini. Anin pobia gelap dan itu memang sudah dia alami sedari kecil. Jantung Anin kini berdetak kencang. Nafasnya kian terasa sesak, keringat dingin kini bercucuran di kening Anin dan tubuhnya juga bergetar hebat.
...Jangan lupa like, komen, dan vote yah. Makasih :)...
tinggalin saja laki kek gt, harga diri lah.. terlalu lemah
boleh tanya kah mbak gimana buat novel biar cepet dan konsisiten