NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 – Jeritan di Sawah Tabing

Sawah Tabing terletak di pinggir barat Kampuang Binuang. Luas, lapang, dan sebagian besar ditanami padi ladang yang belum waktunya panen. Saat pagi, kabut selalu menggantung di atasnya, membuat tempat itu tampak seperti hamparan putih yang menyimpan rahasia.

Pagi itu, Pak Ujang dan anaknya, Darlan, pergi lebih awal untuk melihat kondisi tanaman. Tapi belum sampai ke tengah sawah, Darlan berhenti. Tangannya gemetar.

“Ayah... itu...”

Di tengah sawah, berdiri sosok perempuan dengan rambut menjuntai menutupi wajah, mengenakan kain basah berwarna coklat kehitaman. Ia berdiri diam, menghadap gunung, punggungnya menghadap mereka. Lalu... tubuhnya bergetar.

“Jangan didekati!” seru Pak Ujang sambil menarik anaknya.

Tapi saat mereka hendak berbalik, perempuan itu memutar badan. Wajahnya tak ada. Hanya kulit rata, seperti dibungkus kain tipis.

Mereka berlari terbirit-birit, dan berita itu menyebar cepat di kampung.

Di rumah Bahri, keempat pemuda itu—Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup—sudah duduk melingkar. Mak Tundun memandangi mereka dengan wajah serius.

“Aku tahu sosok itu. Namanya Inyiak Rawang. Dulu ia seorang dukun perempuan, pandai mengobati, tapi juga mengutuk. Waktu kampung menuduh dia penyebab gagal panen, dia dikucilkan. Warga membakar pondoknya. Ia tak mati. Ia... menghilang.”

“Kenapa muncul di sawah, Mak?” tanya Ajo.

“Karena dulu pondoknya di batas sawah Tabing. Dia meninggal dalam kesepian. Arwahnya mungkin terikat di sana.”

Ucup menggigil. “Wajahnya kayak... disembunyikan. Seperti nggak boleh dikenal.”

Mak Tundun mengambil benang hitam dari peti kecil dan mengikatkannya ke tangan Bahri. “Kalau kalian mau ke sana, bawa ini. Jangan bicara sembarangan. Jangan menyebut nama siapa-siapa. Dan... jangan tengok ke belakang kalau terdengar suara.”

Mereka tiba di sawah Tabing saat matahari mulai tinggi. Namun sinarnya seolah tak menembus kabut yang menggantung. Di tengah ladang, tampak bekas pijakan kaki mengarah ke satu gubuk kecil yang setengah roboh.

Bahri melangkah duluan, diikuti Reno dan Ajo. Ucup memegangi buntelan sirih dan garam.

Suara angin menggesek batang padi. Suara desis lirih terdengar dari segala arah.

“Ada yang bisik... ada yang nyanyi,” bisik Ajo.

Reno menunjuk ke gubuk. Sosok perempuan itu muncul kembali. Kali ini, ia berdiri di atas atap yang roboh. Tangan kirinya terangkat, dan dari balik kainnya, terdengar suara tangis menyayat.

Ucup tak tahan. Ia menjatuhkan buntelan sirih dan menutup telinganya. “Suara itu... bikin kepala pecah!”

Bahri menggenggam kendi kecil, menyiram air sirih ke tanah.

“Inyiak Rawang, kalau kau butuh tempat, kami siapkan. Tapi jangan ganggu yang hidup.”

Sosok itu menoleh. Masih tanpa wajah. Tapi dari getaran tubuhnya, tampak kemarahan dan kesedihan yang mendalam.

Reno mengangkat kain putih dan menebarkannya ke arah sosok itu. Angin langsung berhenti. Sosok perempuan itu bergerak pelan, turun dari gubuk, dan mendekat.

Ia berhenti di depan Bahri, lalu mengulurkan tangan. Bahri menyentuhnya, dan seketika pandangannya kabur.

Ia melihat kilasan masa lalu: perempuan itu mengobati anak kecil, menanam padi sendiri, lalu dicaci, dilempari batu, dibakar... namun tetap hidup.

Saat kembali sadar, Bahri meneteskan air mata. “Dia tidak jahat. Dia hanya ditinggalkan.”

Mereka mendirikan tugu kecil di ujung sawah. Meletakkan seikat bunga dan mengaji bersama warga. Setelah itu, suara tangis berhenti. Kabut perlahan menghilang. Ladang kembali terang.

Malam itu, di surau, mereka berkumpul.

Ajo: “Berarti kita udah bantu lima roh sejauh ini?”

Ucup: “Lima, tapi rasanya baru sedikit. Setiap tempat ada ceritanya.”

Reno: “Dan semuanya... seperti berkaitan. Semuanya tentang yang ditinggalkan, yang dilupakan.”

Bahri: “Karena Palasik tak hanya datang dari darah. Tapi dari luka... dari ketakutan... dan dari kesepian.”

Dari jendela, angin malam berembus. Membawa aroma kayu basah dan suara gemerisik dari arah hutan.

Dan di kejauhan, di batas kampung... sesosok tubuh tanpa kepala melintas pelan.

Batu Nisan Tanpa Nama

Hari masih pagi ketika kabar menyebar cepat ke seluruh penjuru Kampuang Binuang. Seorang petani menemukan batu nisan tua di pinggir sungai kecil yang membelah ladang karet. Tak ada tulisan di nisan itu. Tak ada tanda siapa yang dikubur. Hanya gundukan tanah yang terasa lebih dingin dari tanah sekitarnya.

Pak Bakar, yang pertama kali melihatnya, gemetar saat bercerita.

“Aku mau cari kayu bakar, tiba-tiba lihat batu itu. Awalnya kukira batu biasa, tapi pas kusentuh... tanahnya ngisap jari. Kayak... hidup.”

Reno mendatangi Bahri sambil membawa sepotong kain yang ia ambil dari sekitar lokasi. “Ada sobekan kain putih di semak. Tapi warnanya udah menghitam, bau amis.”

Ucup bergidik. “Kain kafan?”

Ajo berbisik, “Bisa jadi... itu kubur tanpa pemakaman. Jenazah yang tak pernah dishalatkan. Yang ditinggal begitu saja.”

Mak Tundun mendatangi mereka di surau. Wajahnya muram.

“Aku tahu cerita ini. Dulu, di kampung kita, ada seorang perempuan dibuang karena dituduh menyimpan ilmu hitam. Ia mengandung anak dari seorang perantau, tapi tak diakui. Lalu ia mati dalam kandungan, dikubur sembunyi-sembunyi oleh dukun kampung. Tanpa nama. Tanpa tahlil.”

Bahri mengangguk perlahan. “Mungkin arwah itu masih menunggu namanya disebut.”

Mereka berjalan menuju pinggir sungai tempat batu nisan ditemukan. Udara di sana terasa lebih berat, daun-daun tak bergerak meski angin bertiup. Suara air pun seperti teredam.

Nisan itu berdiri miring, tertutup lumut, dan di sekelilingnya banyak tumbuhan liar seperti semak berduri dan rumput pahit.

Bahri menaburkan garam dan menancapkan dupa di tiga sudut. Ajo membawa air mawar, sementara Ucup menggenggam tasbih dengan tangan gemetar.

Tiba-tiba tanah bergetar pelan. Asap putih keluar dari celah nisan. Dan dari balik asap, muncul sosok perempuan tua dengan wajah kosong. Rambutnya menjuntai panjang, matanya tak memiliki bola mata.

Ia mengangkat tangan ke arah mereka, tak berbicara, tapi getaran suara terdengar di dalam dada.

"Namaku tak disebut... anakku tak lahir... aku ditelan bumi tanpa doa..."

Bahri mencoba berbicara. “Kami di sini untukmu. Sebutkan namamu, agar kami bisa berdoa.”

Tapi sosok itu hanya menggeleng. Tangannya menunjuk ke arah sungai.

Reno melangkah ke sungai dan menemukan sebuah batu lain, hampir tertutup lumpur. Ia mengangkatnya, dan di bawahnya ada potongan papan kecil dengan nama tertulis samar: Randu.

“Ini nama anaknya?”

Mak Tundun mengangguk. “Anaknya yang tak sempat lahir. Perempuan itu tak bisa tenang karena tak ada yang mengenang anaknya.”

Bahri mengambil papan itu dan menancapkannya di sebelah nisan. Kemudian ia mengumandangkan azan pelan. Suaranya menggema, meski udara tetap sunyi.

Saat azan selesai, sosok perempuan itu menunduk, perlahan-lahan tubuhnya menghilang seperti pasir diterbangkan angin.

Ucup mengusap wajah. “Kenapa ya, kisah-kisah mereka bikin sesak di dada? Padahal kita gak kenal siapa-siapa.”

Ajo menjawab, “Karena kita sadar... mereka dulu seperti kita. Tapi ditinggalkan.”

Malam itu, mereka menggelar doa tahlil di surau. Nama 'Randu' disebut, walau belum pasti siapa. Tapi di hati mereka, sudah cukup untuk menyebut dan mengakui bahwa pernah ada yang hidup... dan tersisih.

Bahri duduk merenung. “Satu demi satu kita bantu. Tapi Palasik belum menampakkan wujudnya. Ia menunggu saat yang tepat.”

Reno menimpali, “Mungkin ia bukan sekadar satu makhluk. Tapi gabungan dari semua ketakutan, dendam, dan luka yang tak disembuhkan.”

Ucup berdiri cepat. “Kalau gitu, kita siapin banyak doa dan minyak kelapa. Dan... persiapan mental!”

Ajo tertawa kecil. “Jangan lupa senter, Cup.”

Mereka tertawa bersama. Tapi di balik surau, suara perempuan menangis terdengar sekali lagi, sayup... lalu hilang.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!