Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Tere diam menatap martabak di tangannya. Setiap kata Arga barusan terngiang-ngiang di telinganya.
“Anggap ini makan kita yang terakhir…”
“Aku cuma bikin Mba makin berat jalani hidup…”
Tiba-tiba hatinya terasa sesak. Tanpa sadar, Tere menatap Arga lebih lama.
Arga berusaha tersenyum, menahan getir. Ia suapkan martabak ke mulutnya, pura-pura santai, padahal hatinya remuk.
Tere menarik napas dalam. Tangannya sedikit gemetar. Lalu ia meletakkan ponsel di sampingnya—untuk pertama kalinya malam itu.
“Arga…” panggilnya pelan. Suaranya serak menahan emosi.
Arga berhenti mengunyah. Ia mendongak, kaget Tere memanggilnya.
“Iya, Mba?”
Pandangan matanya masih tulus. Tak ada marah, hanya sedih dan pasrah.
Tere menunduk.
“Maaf…” bisiknya.
Arga menggeleng pelan.
“Jangan minta maaf, Mba… Mba nggak salah apa-apa…”
Sunyi mengisi ruangan. Hanya detak jantung mereka yang terasa di dada masing-masing.
Perlahan Tere bergeser, mendekat. Ia lihat wajah Arga dari dekat, dan untuk pertama kalinya, ia sadar… Arga memang tampan. Wajahnya polos, tulus. Tak dibuat-buat.
“Kenapa kamu baik banget sama aku, Ga…? Padahal aku jahat sama kamu…”
Arga menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
“Soalnya aku… sayang sama Mba…” bisiknya jujur.
Hati Tere makin bergetar. Dadanya sesak. Ia tak sangka Arga berani mengucapkan itu langsung.
Tanpa sadar, ia ulurkan tangan, menyentuh tangan Arga yang dingin karena menahan perasaan.
“Arga… jangan bikin aku makin merasa bersalah…”
Arga tersenyum, walau pahit.
“Aku nggak mau bikin Mba bersalah… aku cuma mau Mba bahagia…”
Malam itu, untuk pertama kalinya Tere menatap Arga tanpa rasa benci, tanpa gengsi. Hanya ada rasa bersalah… dan secuil rasa yang tak ia mengerti mulai tumbuh di hatinya.
Di dalam rumah besar yang seharusnya penuh hangat kasih sayang, dua insan duduk diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Arga memandangi lantai, tangannya menggenggam erat amplop berisi gaji pertamanya yang tak sempat diterima Tere. Sementara Tere duduk di ujung sofa, menunduk menatap ponselnya, namun pikirannya kosong, bergulat dengan rasa bersalah yang perlahan menyelinap ke relung hatinya.
Waktu seakan berhenti. Hanya suara hujan yang mulai turun perlahan di luar sana menjadi saksi bisu kebekuan di antara mereka.
Tanpa mereka sadari, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan rumah. Lampu depannya menyorot Dari dalam mobil itu, seorang lelaki turun. Rio. Lelaki yang selama ini mengisi hati Tere.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Tere. Ia tersentak, lalu dengan cepat bangkit. Hatinya berdebar keras. Ia mengintip, lalu membuka pintu.
“Rio?” suaranya nyaris berbisik.
Rio tersenyum lebar, tapi matanya langsung tertuju pada sosok Arga yang masih duduk di dalam. Wajahnya berubah heran.
“Tere… itu siapa?” tanyanya, nadanya datar tapi penuh selidik.
Tere gugup. Ia menarik napas dalam. “Oh... dia cuma saudara jauh aku, Rio. Datang main ke sini. Nggak lama kok.”
Rio memicingkan mata, menatap Arga dari ujung kepala hingga kaki. Ada curiga di matanya. Tere tersenyum paksa, mencoba menutupi kebohongan. Wajahnya dibuat setenang mungkin seolah ucapannya benar.
Akhirnya Rio mengangguk kecil, tampak mulai percaya.
“Oh… ya sudah kalau gitu. Aku ajak kamu makan malam ya. Yuk?”
Arga yang mendengar percakapan itu perlahan bangkit. Hatinya mencelos. Benar… hati Tere hanya untuk Rio. Bukan untukku. Dengan langkah perlahan, ia berjalan ke belakang dapur, pura-pura menuang air minum agar tak terlihat betapa hancurnya hatinya saat itu.
Di depan, Tere mengangguk. “Bentar ya, aku ganti baju dulu.”
Tere tergesa ke kamarnya. Ia memilih gaun santai warna krem dari bahan satin lembut, simpel namun elegan, dipadukan dengan cardigan tipis warna coklat muda. Tampak mewah namun kasual, sesuai dengan ajakan mendadak Rio. Wajahnya hanya diberi polesan tipis, karena terburu-buru.
Tak lama kemudian, Tere keluar dan bersama Rio mereka menuju mobil. Rio membukakan pintu, dan mobil hitam itu melaju menembus malam dengan hujan gerimis.
Di dalam mobil, Tere hanya diam. Tatapannya kosong menembus kaca jendela yang sedikit basah oleh hujan. Perasaan bersalah menghantui hatinya. Kenapa aku begini? Kenapa takdir justru mempertemukanku dengan Arga? Kenapa aku malah menyakitinya?
Sementara itu, Arga berjalan naik ke kamar Tere. Ia masuk dan memandangi sekeliling kamar itu lama. Setiap sudut ruangan ia tatap seolah ingin mengabadikannya dalam ingatan.
“Biarlah ini jadi kenangan terindahku… Pernah aku satu atap, satu kamar dengan perempuan yang kucintai. Walau cintaku hanya bertepuk sebelah tangan… walau hatiku remuk… aku tetap bahagia melihat dia bahagia… walau bukan denganku.”
Air matanya menetes, namun cepat ia usap.
Arga mengambil tas lusuhnya. Ia turun pelan-pelan. Sampai di pos satpam, ia berhenti.
“Den Arga? Malam-malam begini mau ke mana?” tanya Pak satpam yang sudah menganggap Arga seperti anak sendiri.
Arga tersenyum samar. “Saya mau tidur di kos aja, Pak. Biar nggak ganggu Nona…”
Pak satpam terdiam. Ia paham betul Nona Tere tak pernah menganggap Arga suami. Ada getir di hatinya melihat anak muda sebaik Arga harus mengalami ini.
“Jaga diri baik-baik ya, Den…”
Arga mengangguk. “Makasih, Pak.”
Langkah Arga menjauh, hujan mulai turun dengan derasnya. Jaket tipisnya basah kuyup, tapi ia tak peduli. Malam makin pekat. Lampu-lampu kota samar di kejauhan.
“Maafkan aku, Tere… Aku nggak pantas untukmu. Aku hanya menambah beban hidupmu. Biar aku pergi… Aku ikhlas…”
Deru hujan menutupi suara langkahnya yang gontai. Di Jalanan aspal . Tubuhnya menggigil.
Lalu…
BRAAAK!
Sebuah mobil melaju kencang dari tikungan. Sopirnya hilang kendali di jalan karena sorot lampu yang kurang terang menembus hujan. Tubuh Arga terpental, jatuh menghantam aspal basah. Darah mengalir, bercampur hujan.
Sopir itu panik, turun tergesa.
“Ya Allah… Mas… mas, bangun…!” katanya gemetar.
Dengan buru-buru ia angkat Arga, memasukkannya ke mobil, dan melaju ke rumah sakit.
Di sisi lain, Tere dalam mobil bersama Rio masih diam membisu. Hati nya lah yang kini gaduh. Ia terus membatin: Kenapa aku tega padanya? Kenapa aku biarkan Arga tersiksa?
Dan hujan terus mengguyur kota, menyembunyikan tangis seorang lelaki yang hatinya terluka, yang cintanya tulus, namun tak pernah bersambut.