Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang terdengar dari Balik Pintu
Zee melangkah pelan, tatapannya kosong. Alih-alih ke ruang UKS, kakinya membelok ke toilet perempuan—tempat yang cukup sepi untuk menenggelamkan diri dari semua keramaian. Zee berdiri membatu di dalam bilik, membiarkan pikirannya yang kusut berputar tanpa arah.Benang-benang yang tak tersambung, potongan teka-teki yang menumpuk—semuanya berjejal dalam kepalanya.
Saat ia tenggelam dalam lamunannya, suara langkah masuk terdengar-sekelompok siswa datang sambil berceloteh ringan. Zee tak berniat mendengar, sampai satu kalimat mereka menyita perhatiannya.
"Untung guru gak masuk, jadi kita bisa kabur dari kelas," ucap Lili—ketua geng Scarlet.
"Pak Ronald sakit, katanya. Jadi emang gak ngajar," sahut Olivia, sembari memulas lip balm ke bibirnya dengan gerakan malas.
Tiba-tiba Klara masuk menyusul. "Guys, kalian tahu gak? Zia itu... bunuh diri. Lompat dari rooftop," bisik klara pelan, seolah tak percaya sendiri dengan kata-katanya.
"Ya ampun, Klara... Datang-datang langsung ngomongin bunuh diri. Gue jadi merinding," sahut olivia dengan nada panik.
"Serius lo?" tanya Lili, sorot matanya tajam dan penuh selidik.
"Serius. Gue lihat semalam di grup sekolah. Emang lo berdua gak baca?" Klara balik bertanya, heran.
"Gue sibuk nonton pacar gue di drama Korea, ya mana sempet baca," Olivia terkekeh membayangkan aktor favoritnya.
Klara dan Lili hanya meliriknya malas.
"Eh, dia tuh yang pernah pengin masuk geng kita, kan?" tanya Lili tiba-tiba.
"Iya, kita memang nolak. Tapi lebih tepatnya, lo sih," jawab Klara santai.
"Li, lo belum pernah cerita kenapa lo nolak Zia masuk geng kita?" tanya Olivia yang baru sadar.
"Iya juga ya, kita waktu itu sibuk lomba. Gimana sih, Li? Kenapa?" Klara ikut bertanya.
Lili menghela napas. Nada suaranya kini berubah sedikit dingin.
"Gue gak sreg sama dia. Dia memang cantik, pintar, kelihatan ramah... tapi ada sesuatu yang terasa gak tulus... Gue pernah dengar dia pengin masuk geng kita cuma buat ngejar popularitas. Bukan karena pengin temenan."
Klara dan Olivia saling pandang, mulai tertarik.
"Lagi pula, gue juga gak suka cara dia nolak sepupu gue. Sepupu gue tuh emang anak beasiswa dan pendiem, tapi dia punya hati juga. Tapi Zia... Zia ngerendahin dia mentah-mentah. Katanya, dia gak pantas dekat sama dia, cuma karena status," jelas Lili, matanya menajam.
"Serius lo?" Olivia tampak kaget.
"Serius. Dan itu buktiin, image dia di depan orang... cuman topeng. Di sekolah, dia keliatan ramah sama anak-anak beasiswa. Tapi ternyata, di balik itu..."
"Berarti lo udah ambil keputusan yang tepat nolak dia," ujar Klara pelan.
"Semoga aja dia tenang di sana..." sambungnya lagi. Mereka bertiga terdiam sejenak.
"Oh yah, gimana dengan murid baru itu?" tanya Olivia sambil membenarkan rambutnya.
"Gue udah ketemu dia. Kamarnya 344, deket banget sama kamar gue," jawab Lili santai.
"Sama kayak yang lo bilang, dia dingin dan datar."
"Terus gimana?" tanya Klara penasaran.
Lili mengangkat bahunya. "Belum bisa gue nilai. Tapi auranya... agak beda."
••
Zee membeku di balik pintu bilik. Tubuhnya seperti membatu-tak bergerak, hanya matanya yang menatap nanar ke celah sempit di bawah pintu. Nafasnya tertahan, dan jantungnya seolah lupa berdetak.
Awalnya ia hanya ingin menyendiri, menenangkan isi kepala yang terasa sesak. Tapi kini... suara-suara mereka masuk satu per satu. Tajam. Menusuk. Meski bukan untuknya, tetap terasa menyayat.
Nama Zia.
Nama sepupu.
Popularitas.
Penolakan.
Beasiswa.
Kata-kata itu bergema di udara, menembus ke telinganya dan tinggal di sana—tajam, membekas.
Zee mengepalkan tangannya perlahan, rahangnya mengencang. Hatinya berdegup cepat, tapi wajahnya tetap diam, nyaris tak bernyawa.
"Apa yang barusan gue dengar..."
Tak ada air mata. Hanya keheningan panjang yang terasa lebih bising daripada keramaian barusan.
Zee memejamkan mata. Kepalanya penuh. Zia yang ia kenal... tak seperti yang meraka katakan. Tapi... benarkah dia mengenal Zia seutuhnya?
Pertanyaan itu membuatnya terdiam lebih lama.
Genggamannya menguat. Bukan ledakan-tapi tekanan. Emosinya terkunci rapat di dada yang makin sesak. Setiap kalimat yang tadi terlontar... menambah lapisan baru dalam misteri Zia.
Ia menyandarkan kepala ke dinding bilik, menatap langit-langit kosong dengan tatapan yang semakin keras.
“Gue bakal bongkar semuanya. Satu per satu. Sampai nggak ada yang bisa disembunyiin lagi.”