Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.
Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.
Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.
Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.
Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3: Lelaki di Singgasana Es
Tubuh Oiko tergeletak di mulut gua. Angin salju mengamuk, menggulung rambutnya yang membeku, membalut seragam sekolahnya dengan lapisan salju tebal. Nafasnya berembun, tubuhnya menggigil. Perlahan, matanya terbuka—kabur, berat, seperti baru terlahir kembali dari mimpi buruk yang tak berujung.
“Ugh…”
Suara geraman pelan itu lepas dari bibirnya yang pucat. Ia mencoba mengangkat tubuhnya, namun hanya bisa merangkak. Darah di kakinya membeku, menghitam di sela pakaian koyak. Napasnya berat, setiap gerakan seperti menusuk tulang.
Ia merangkak masuk ke dalam gua. Dingin tetap menusuk, namun setidaknya tidak sekeras badai di luar.
Langkah demi langkah, lutut menyeret tanah beku, tangan menggigil memegang lantai es. Pandangannya gelap. Namun sesuatu… menarik perhatiannya.
Cahaya biru samar dari ujung gua.
“...Apa itu…?”
Ia memaksa tubuhnya terus maju. Nafasnya nyaris putus, tapi ia tetap bergerak. Sampai akhirnya, ia melihatnya—seorang pria duduk di atas singgasana es. Dikelilingi kristal-kristal runcing dan cahaya magis yang mengambang di udara. Matanya tajam, tak berkedip. Rambutnya perak, jubahnya panjang menyapu lantai, dan aura misterius mengalir dari setiap gerakannya.
Oiko terpaku.
‘Siapa dia…?’
‘Akankah dia menolongku…?’
Hanya itu yang ada di pikirannya.
Namun pria itu tidak berbicara. Ia hanya mengangkat tangannya. Suatu kekuatan sihir terbangun. Di udara, sebuah tombak es terbentuk—indah tapi mematikan.
Oiko menegang.
Dan tanpa peringatan… pria itu mengarahkan jari ke bawah.
ZRAAKKK!
Tombak itu meluncur dan menancap di kaki kiri Oiko.
“AAARRRGHH!!”
Jeritannya menggema dalam gua. Rasa sakit itu—terasa nyata, seperti seluruh tubuhnya terkoyak. Darah beku memercik. Rasa dingin menjalar cepat dari luka ke tulangnya. Kakinya perlahan membeku… kaku… dan diam.
Namun Oiko tidak lari. Ia tidak bahkan menyumpah.
Ia justru tertawa pelan… getir… mata basah.
“...Heh… Bunuh saja aku... Jangan siksa aku…”
Wajahnya tersenyum… miris. Pandangan kosong ke atas singgasana.
“Kalau memang aku tak layak hidup di dunia ini… selesaikan saja sekarang…”
Pria itu masih tak bergeming. Namun aura di sekelilingnya makin berat.
Ia kembali mengangkat tangan.
Kali ini tombak es kedua terbentuk.
“Tidak…”
Oiko membisik pelan, namun tubuhnya sudah pasrah. Tangannya terkulai di lantai. Ia hanya bisa menatapnya datang.
DARRK!
Tombak kedua menghantam tangan kanan Oiko—tepat di atas lengan bawah. Darah memuncrat. Es langsung membekukan luka sebelum darah bisa mengalir lebih jauh. Rasa sakit itu bukan sekadar fisik—tapi menusuk hati dan jiwa.
Oiko meraung keras. Namun tidak dalam kemarahan.
“…Kenapa…” gumamnya, sambil menangis tertahan.
“Kenapa aku… selalu jadi yang paling terluka…?”
Suara isaknya bercampur dengan deru angin luar.
Ia tidak lagi mencoba bangkit. Hanya diam… menangis… dalam tubuh yang perlahan membeku.
Namun dari atas singgasana… Pria itu akhirnya membuka mulutnya.
Suara yang dingin namun dalam.
“Jika kau bisa bertahan tiga hari di sini… dengan luka-luka itu… maka aku akan mengakui keberadaanmu.”
...
Oiko menggertakkan gigi.
Tiga hari…? Dalam kondisi seperti ini…?
Seketika, suara pria itu menggema kembali:
“Namun jika kau mati… maka memang itulah takdirmu.”
...
...
...
...
...
...
Ia kemudian diam.
Kembali duduk dalam kesunyian es. Mata tertutup seolah tak peduli lagi.
Tubuh Oiko gemetar, terbaring dalam genangan darah yang membeku… napasnya makin lemah…
Namun… di balik rasa sakit itu… satu hal menyala:
Tekad.
“...Aku tidak akan mati di sini…”
“...Tidak sebelum kau, Veron… tunduk padaku…”
Oiko masih tergolek di atas lantai gua yang membeku, tubuhnya gemetar, tertutup campuran darah dan serpihan es yang menempel seperti kulit kedua. Nafasnya tersendat-sendat, dadanya naik turun dengan rasa sakit yang tak mampu dijelaskan oleh kata. Luka di kaki kirinya masih menganga—beku dan menghitam, sementara tangan kanannya kini hanyalah sisa tulang yang menyembul dari lengan yang patah dan hancur.
Di depan sana, duduklah sang pria di atas singgasana es. Sosok tinggi berbalut jubah kristal biru, seperti raja tanpa kerajaan, namun menyandang kekuasaan mutlak atas ruang dingin yang membunuh ini. Tatapannya tajam, namun kosong, seperti langit malam tanpa bintang. Ia memandang Oiko seperti sedang menonton seekor binatang yang sekarat—bukan dengan iba, tapi dengan rasa nikmat.
Lalu… ia tersenyum. Bukan senyum hangat, bukan senyum manusiawi. Tapi senyum bengkok yang perlahan melebar di wajahnya, seperti iblis yang tengah menikmati tarian terakhir mangsanya.
Tangannya—pucat, ramping, dan panjang—diangkat tinggi. Ujung jari-jarinya berkilau seolah menggenggam udara beku itu sendiri.
Gema aneh terdengar. Dinding gua bergetar pelan. Lalu dari atas, dari langit-langit yang tertutup kristal es, muncul bayangan-bayangan panjang dan runcing. Satu, dua, puluhan, lalu ratusan. Ribuan pedang terbuat dari es mulai terbentuk. Tajam. Mengkilap. Mengerikan.
Mata Oiko membelalak. Kepalanya perlahan menengadah meski seluruh tubuhnya memohon untuk diam. Ia melihat langit gua itu telah dipenuhi hujan kematian. Ribuan ujung pedang menggantung, siap menghantam tubuh ringkihnya kapan saja.
“Hah… ha… ha… haaaa…”
Tawa. Tawa panik yang muncul bukan karena bahagia, tapi karena otaknya sudah tidak mampu lagi menahan ketakutan. Tawa itu meluncur dari mulut Oiko, bercampur darah yang merembes dari sela bibirnya.
Dan pria itu… masih tersenyum.
Ia menurunkan tangannya perlahan. Jarinya hanya bergerak sedikit, seperti memberi aba-aba bagi alam semesta untuk membunuh.
Seketika itu juga… langit runtuh.
Pedang pertama menghantam bahu Oiko, menancap sampai tembus ke lantai batu.
“AAARRRGHHH!!!”
Jeritan itu memecah sunyi gua. Darah memercik liar, menghangat sejenak sebelum membeku di udara dan jatuh seperti kristal merah.
Pedang kedua—menembus pinggangnya.
Ketiga—paha kirinya.
Keempat—dada.
Kelima—perut.
Setiap detik, satu lagi jatuh. Setiap hantaman, dunia bergetar. Dan tubuh Oiko…
...dipenuhi luka.
Ia tidak bisa bergerak. Hanya bisa menjerit. Menjerit dan menjerit, hingga suara parau itu pun pecah seperti es retak. Tangisannya bercampur darah, air matanya membeku sebelum bisa jatuh ke pipi.
“Sakit… sakiiittt… kenapaa… aku… kenapaa aku… masih hidup…?” pikirnya dalam diam.
Lalu pedang kesepuluh menembus lengan kirinya, memaku tubuhnya ke lantai es.
Ia tak bisa lagi menahan rasa sakit itu. Tak bisa lari. Tak bisa mati. Hanya bisa menyaksikan tubuhnya dicabik-cabik oleh ribuan bilah es seperti boneka kain dalam badai duri.
“AAAAAAAAAAAAAARRRRGGGGGGGHHHHH!!!!”
Darah. Es. Rasa sakit. Ketakutan.
Itulah yang tersisa dari Oiko.
Namun pria itu… belum selesai.
Ia berdiri, langkahnya ringan tanpa suara. Jubahnya berkibar seperti tirai kematian. Ia mendekat… sedikit demi sedikit, membiarkan Oiko melihat wajahnya semakin jelas.
“Menyerahlah,” bisiknya.
Tapi Oiko, meski hampir hancur, meski tubuhnya hanya sisa-sisa daging dan darah, tetap menatapnya. Dengan satu mata yang masih bisa terbuka, ia menatap tajam… bukan dengan harapan… tapi dengan kebencian.
Dan di sanalah… di antara luka dan tangis, lahirlah sesuatu dalam dirinya.
Sesuatu yang belum pernah ada.
Kegelapan.
Dan kekuatan.