Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keterkejutan Mama, Akting Sempurna
Pagi telah beranjak menjadi siang. Di rumah mewah itu, udara terasa dingin. Aidan baru saja selesai dari sesi pengawasan makan Anita , Aidan kini mencoba memaksakan dirinya kembali bekerja di ruang kerjanya yang terbuka. Ia merasa gelisah karena berada di rumah saat jam kerja.
Tiba-tiba, suara deru mobil mewah diikuti dengan suara pintu yang di ketuk membuat Aidan kaget, lalu dia langsung membuka pintu rumahnya dan kaget . Mama Aidan masuk, tampak lelah setelah perjalanan, ditemani oleh Sela, adik kandung Aidan.
Mama Aidan langsung terkejut melihat pemandangan yang tak pernah ia saksikan: Putra sulungnya, seorang CEO, berada di rumah di tengah hari.
"Aidan? Ya Tuhan! Kenapa kamu di rumah jam segini?" Mama Aidan melangkah maju, sorot matanya penuh pertanyaan.
Aidan berdiri, wajahnya mengeras. "Kenapa waktunya tidak tepat." batin Aidan dan langsung merubah expresi wajahnya. "Aku bekerja dari rumah, Ma. Ada urusan pribadi mendadak," jawab Aidan, nadanya dingin dan defensif.
Mama Aidan menggeleng, ekspresinya dipenuhi kecemasan yang mendalam.
"Jangan berbohong, Aidan. Mama pulang lebih cepat dari luar kota, karena Papa menyuruh Mama segera kembali setelah mendapat telepon dari Maya," jelas Mama. "Mama khawatir karena Nita tidak ada kabar, dan dia terpukul dengan kematian kedua orang tuanya."
Aidan langsung diam dan panik lalu Aidan langsung merubah expresi wajahnya lagi. "Iya mah Anita memang sangat terpukul saat mengetahui kedua orang tuanya meninggal secara bersamaan dan kami memang sengaja tidak memberi tahu mama." ucap Aidan
"Ya sudah kalau seperti itu Mama mau melihat keadaan Anita." ucap mama Aidan lagi ditemani Sela adik Aidan
Aidan mencoba menghalangi, tetapi terlambat. Mama langsung naik ke atas tangga dan menuju kamar milik Anita, yang dulu ditiduri bersama Aidan.
Mama langsung membuka pintu kamar Anita dan diikuti oleh kedua adik Aidan dan juga Aidan yang pada akhirnya juga ikut masuk ke kamar.
Mama terkesiap. Ia sudah tahu Anita memiliki kawat di rahangnya, tetapi yang membuat Mama syok adalah wajah pucat mematikan Anita.
"Ya Tuhan, Nak!" bisik Mama, bergegas ke sisi ranjang. Ia memegang tangan Anita. "Nita, apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu semakin pucat begini? Apakah rahang kamu belum sembuh, Nita? Mama sudah coba hubungi ponsel kamu, tapi tidak aktif. Kenapa kamu tidak bicara pada Mama?"
Aidan langsung maju, memalsukan alibi. "Anita hanya demam tinggi, Ma. Dan dia terjatuh beberapa hari lalu, rahangnya terkilir saat bekerja, itu sebabnya kawatnya harus diperkuat."
Sela melangkah ke ranjang. Ia terkejut. Melihat Kakaknya iparnya terbaring lemah dengan kondisi fisik yang mengenaskan, Sela tahu ada kebohongan besar yang ditutup-tutupi. Ia meraih tangan Anita.
"Kak Nita," bisik Sela, suaranya dipenuhi kasih sayang seorang adik. "Aku akan jaga Kakak di sini. Kakak jangan khawatir." Anita hanya bisa menatap Sela dan Mama, matanya dipenuhi air mata terima kasih yang tertahan.
Mama Aidan menoleh pada Aidan, air matanya berlinang karena khawatir. "Sudah, Mama yang akan merawat Nita di sini. Mama akan tinggal beberapa hari sampai kamu pulih, Nak."
Anita, yang mendengar itu, menggeleng lemah, berusaha keras untuk berbicara dengan suara parau yang menyakitkan.
"Jangan, Ma..." bisik Anita, mencoba tersenyum meyakinkan. "Aku sudah lebih baik. Mama.."
"Untung mama kemarin tidak ada di kota ini." batin Anita
Ucapan "Mama beruntung tidak ada di sini" adalah pengakuan rahasia yang diselubungi. Anita sangat bersyukur Mama tidak menyaksikan kondisi kritisnya yang disebabkan oleh keguguran.
"Dan aku... aku harus segera kembali ke toko," lanjut Anita, suaranya sedikit meninggi karena tekad. "Aku punya... tanggung jawab yang harus diselesaikan."
Mama kaget. "Tanggung jawab apa, Nita? Kamu sedang sakit seperti ini! Utamakan kesehatanmu dulu!"
Pertanyaan Mama yang mengkhawatirkan itu menusuk Anita, mengingatkannya pada betapa berbahayanya rahasia yang ia sembunyikan. Aidan mengepalkan tangannya di belakang punggungnya. Rasa takut yang dingin menyergapnya. Tanggung jawab! Anita hampir keceplosan mengungkap utang itu.
Anita, yang melihat kepanikan di mata Aidan, tiba-tiba menjadi lebih gugup. Ia hampir mengucapkan kata 'utang'.
"Aku punya tanggung jawab toko," Anita mengulang, kini menatap Aidan. "Karena... toko itu kan..."
Aidan tahu ini adalah saatnya. Ia harus berakting sekarang, atau semuanya tamat.
Aidan melangkah maju dengan cepat. Ia meletakkan tangan di bahu Anita dengan gestur suami yang sok baik dan pengertian, senyum palsu tersungging di bibirnya.
"Mama, dengarkan," sela Aidan dengan nada yang sangat lembut dan tenang, sambil meremas bahu Anita—sebuah kode keras agar Anita diam. "Nita memang wanita yang sangat bertanggung jawab. Aku tahu kamu khawatir, tapi toko itu adalah hadiahku untuknya. Tentu saja dia merasa bertanggung jawab untuk mengurus pemberianku. Dia tidak mau mengecewakanku."
Aidan menoleh pada Mama, tatapan mata yang dipenuhi kepura-puraan. "Aku sudah bilang, aku akan urus keperluannya. Mama dan Sela tidak perlu tinggal disini, karena aku memang sudah cuti beberapa hari untuk menjaga istri aku."
Mama Aidan, yang terkejut melihat kelembutan dan perhatian yang tak terduga dari Aidan, sedikit melunak. Ia tidak pernah menyangka Aidan akan menyebut toko itu "hadiah". Akting Aidan begitu meyakinkan sehingga Mama mulai berpikir, Mungkin pernikahan mereka tidak seburuk yang terlihat.
"Baiklah, jika kamu berkata begitu, Aidan," kata Mama, sedikit lega. "Tapi Mama dan Sela akan tetap di sini sampai sore. Kami akan bantu memasak dan memastikan kamu benar-benar istirahat, Nita. Setelah itu, kamu bisa kembali ke kantormu, Aidan."
Aidan terpaksa mengangguk. Ia berhasil memadamkan api pengakuan Anita, tetapi kini ia harus berhadapan dengan Mama dan Sela, dua saksi baru atas penderitaan Anita.