Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sore itu, Umar berdiri menunggu di gerbang sekolah dengan tangan sesekali merapikan kerah bajunya. Begitu Nay keluar, senyum kecil langsung merekah di wajahnya, mengusir lelah yang menyelinap sejak pagi. Tanpa banyak bicara, mereka berdua berjalan menyusuri trotoar menuju mall terdekat. Umar tahu hari ini mereka harus membeli banyak kebutuhan rumah tangga, apalagi gaji baru saja masuk. Sebelum beranjak, dia menyelipkan pesan singkat ke ponsel Nay, memberitahu bahwa sebagian uang sudah ditransfer ke rekeningnya.
“Buat jajan atau apa saja yang kamu butuhkan,” pikirnya.
Namun untuk belanja besar, dia yang akan memegang kendali. Mata Umar terus menatap Nay yang berjalan pelan di sampingnya. Perutnya yang mulai membesar masih belum terlihat, tapi kehadiran buah cinta mereka sudah terbayang jelas di pelupuk mata.
“Baru sebulan, tapi rasanya dunia berubah,” batin Umar, dadanya berdebar campur haru dan bangga. Ia ingin Nay selalu bahagia, nyaman, dan merasa cukup dalam segala hal. Tiba-tiba Umar melirik ke wajah Nay, terlihat sedikit letih, tapi dia masih tersenyum tipis. Umar mengulurkan tangan, menggenggam erat jemarinya.
“Santai saja, kita jalan bareng kok.”
Umar menatap wajah Nay yang sedang menunduk, matanya tampak melamun jauh. Dalam hati dia bertanya-tanya,
"Apa yang sedang kau pikirkan, Nay?" tapi suara itu tak pernah keluar dari mulutnya.
Kehadirannya di samping Nay selama ini selalu jadi alasan Umar untuk bekerja lebih keras, menghapus lelah demi masa depan mereka. Kini, dengan kabar bahagia tentang bayi yang tumbuh di dalam perut Nay, beban itu berubah bentuk menjadi tanggung jawab yang mereka sambut dengan penuh keikhlasan.
Umar menghela napas pelan, merasakan hangatnya harapan sekaligus kekhawatiran. Tantangan pasti akan datang menghampiri, tapi saat ini, yang ia inginkan hanya melihat Nay tersenyum dan memastikan kehidupan kecil mereka sudah mulai bahagia dalam rahim ibu.
Umar mendorong troli belanja dengan pelan di antara keramaian mall, matanya sesekali mengawasi Nay yang sibuk memilih bahan kebutuhan rumah. Ia tahu betul bagaimana istrinya selalu teliti merencanakan setiap barang yang dibeli, menghindari pemborosan.
Namun kali ini, tanpa sepengetahuan Nay, tangan Umar diam-diam memasukkan segenggam buah segar dan sayuran hijau ke dalam troli. Hatinya ingin memastikan Nay, yang tengah mengandung, tetap sehat. Tak berhenti di situ, Umar juga menaruh beberapa kotak susu khusus ibu hamil di troli. Ia tahu Nay kurang suka, bahkan sering menolak.
“Mas, aku kurang suka susu. Gak usah dibeli banyak-banyak gitu. Mubazir nanti kalau gak aku minum,” keluh Nay sambil merenyutkan bibir, ekspresinya menolak dan enggan. Tapi Umar hanya tersenyum lembut, menggenggam tangannya dengan penuh perhatian. Baginya, kesehatan Nay dan calon bayinya lebih berharga daripada rasa enggan sesaat itu.
Umar menarik napas dalam, matanya menatap cermin dengan raut kesal yang sulit disembunyikan. Hatinya bergolak dia benci dipaksa, merasa seperti keinginannya sendiri tak pernah didengar. Namun saat itu, yang terpenting hanyalah kebahagiaan Nay dan bayi yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Umar menekan senyum lebar, berusaha meyakinkan dirinya. Tangannya memilih satu kotak susu rasa coklat di rak, sesuai permintaan Nay.
“Setidaknya satu aja, ya,” gumamnya pelan, suara itu penuh harap dan lembut. Sebuah kompromi kecil, tapi baginya, itu cara terbaik menunjukkan betapa ia ingin menjaga mereka berdua.
Langkah Umar tiba-tiba terhenti saat mata menangkap sosok yang tak asing di tengah riuh mall: Citra. Wanita itu berdiri bersama seorang teman, tapi yang paling mengunci pandangan Umar adalah sorot matanya tajam, seolah menembus ke dalam dirinya. Hening sesaat, lalu Citra melangkah mendekat tanpa ragu.
Di samping Umar, Nay tetap tenang, senyumnya mengembang tipis, kontras dengan dada Umar yang berdegup cepat, campur aduk cemas dan was-was.
“Halo, Mas Umar, Nay? Lagi belanja, ya?”
Suaranya manis, tapi ada rasa getir terselip dalam ucapannya. Matanya berkilat, sulit disembunyikan. Umar menoleh ke Nay yang membalas dengan senyum ramah, suaranya ringan,
“Halo, Kak Citra! Kakak juga lagi belanja, ya?” Tapi dalam hatinya, Umar masih terus merasakan ketegangan yang menggumpal.
Suaranya mengalir ceria tanpa ada sedikit pun goyah. Senyum manis itu nampak sempurna, tapi aku tahu Nay pasti merasakan ada yang beda dari suasana ini. Ketegangan seperti kabut tipis yang tersembunyi di balik kata-katanya, dan siapa yang tak bisa menangkapnya? Di sudut lain, Umar tampak menghindar. Kepala menunduk, tangannya sibuk merapikan troli seolah berharap kesibukan itu jadi tameng dari perbincangan yang kian terasa berat.
Troli yang didorong Umar pelan ke rak makanan ringan tak mampu menyembunyikan perhatiannya yang sesekali melirik ke arah Citra. Saat Citra menatap dalam-dalam ke troli, matanya terpaku pada kotak susu khusus ibu hamil. Sekilas ekspresi Citra berubah alis mengerut, bibir mengeras. Pertanyaan besar berputar di wajahnya, menggantung tanpa kata.
“Siapa yang hamil? Nay?” tanya yang tak terucap menghantui kepala Umar, membuat pikirannya semakin riuh dan tak tenang.
Umar tahu betul, Citra bukan tipe perempuan yang bisa diam begitu saja saat ada yang mengganjal di benaknya. Tapi sekarang, hatinya seperti terjepit. Dia berharap Citra memilih bungkam, menahan diri, walau sadar itu mustahil. Wajahnya menghindar, jari-jari menekuk-nekuk kain di pangkuan, mencoba menata kata-kata yang tak kunjung datang. Tuhan, kenapa harus sekarang? Kenapa harus saat semua sudah mulai renggang?
Di sisi lain, Citra melangkah pelan di samping Nay, pembicaraan mereka mengalir ringan. Senyum tipis terpasang di bibirnya, tapi matanya menyimpan campuran rasa penasaran dan was-was yang sulit disembunyikan.
"Siapa yang hamil, Nay?" tanyanya, suara berusaha terdengar biasa saja, padahal dalam dada berdebar tak karuan. Mengapa mereka membeli susu ibu hamil? Pikiran itu terus menggantung, menuntut jawaban.
Nay menoleh, senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. "Alhamdulillah, aku, Kak Citra." Suaranya ringan, penuh kebahagiaan, seolah membawa kabar itu tanpa beban. Citra menelan ludah, ada rasa haru sekaligus getir yang perlahan mengisi ruang hatinya.
Citra terdiam seketika, dadanya sesak saat melihat senyum bahagia Nay yang seolah memancarkan keberuntungan. "Dia hamil," pikir Citra dengan perasaan yang sulit diungkapkan, seperti ada duri kecil menusuk lembut tapi pasti di dalam hati. Tatapannya tak bisa lepas dari wajah Nay yang berseri-seri, menimbulkan rasa cemburu yang tiba-tiba mengganjal.
"Kenapa harus Nay dulu yang mendapat anugerah ini?" gumamnya pelan.
"Wah, syukurlah. Kalau nanti ada keluhan, jangan lupa hubungi aku, ya, Nay. Ingat, aku juga dokter," kata Citra sambil berusaha tersenyum dan menjaga nada suaranya tetap ramah. Namun, matanya tanpa sadar melirik ke arah Umar yang mendorong troli belanjaan di depan mereka. Punggungnya yang tegap seperti biasa justru membuat hati Citra terasa sesak semakin dalam. Ada jarak yang kian melebar, menganga antara dirinya dan dunia yang kini terasa asing.
Nay menjawab dengan suara ceria yang polos, "Baik, Kak! Nanti kalau ada apa-apa, biar aku hubungi Kak Citra, ya." Matanya berbinar, penuh semangat yang tulus. Rasanya bahagia sekali, seolah dunia sedang memberinya semua yang indah. Namun, dari sudut matanya, Nay menangkap perubahan suasana di dekat Umar. Pria itu diam saja, tapi bahu dan lengan yang kaku berkata lain.
Umar tampak tidak nyaman, seolah kehadiran Citra adalah bayangan yang mengganggu kebahagiaan kecil yang sedang ia nikmati bersama Nay. Hatinya teraduk, bertanya-tanya apakah hal ini salah besar. Apa Citra memang tak berhak bicara atau hadir di antara mereka? Padahal, Citra hanya ingin... dia hanya ingin merasa tak seasing ini dalam hidup mereka.
Umar dan Nay baru saja menenteng belanjaan ketika Umar tiba-tiba mengajak,
"Makan di restoran itu saja, yuk." Tapi langkahnya terasa berat, dadanya ikut sesak setiap kali mendekat. Dari sudut matanya, bayangan Citra muncul lagi selalu ada, diam-diam membuntuti. Umar menahan napas, berusaha menepis rasa cemas yang merayap.
"Kenapa dia nggak berhenti?" gumamnya dalam hati, matanya menyelinap ke arah Nay yang tersenyum ceria. Dia tak ingin merusak suasana Nay, tapi bayang Citra seperti bayang gelap yang menghalangi kedamaian. Apa sebenarnya yang Citra inginkan? Kenapa Umar tak bisa lepas dari bayangannya?