NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 33: Kelelahan di Tepi Jurang Langit

Angin di puncak gunung berhembus kencang, membawa aroma besi dan kabut yang lembap. Liang Chen berdiri di atas batu besar, tubuhnya masih menahan sisa kelelahan dari pelatihan semalam.

Kesunyian Malam tergenggam di tangan kanannya, bilah hitam itu bergetar pelan, seolah ikut merasakan tekanan udara yang pekat di sekitar mereka. Di hadapannya, Guru Kui Xing duduk bersila di atas batu lain,

labu arak tergantung di tangan kiri, matanya setengah terpejam seperti orang yang sedang mabuk ringan. Namun Liang Chen tahu, setiap gerakan kecil gurunya bukanlah kebetulan.

“Gerakan pertama sudah menumbangkan bintang,” kata Guru Kui Xing perlahan, suaranya berat namun tenang. “Sekarang, waktunya membuat bintang itu berputar dan menyeret ekor naga di langit. Gerakan kedua, Ekor Naga.”

Liang Chen menelan ludah. Ia sudah melihat sekilas gerakan itu malam sebelumnya, ketika gurunya menunjukkan sepotong ilmunya.

Dalam sekejap, tebasan melingkar itu membelah udara, membentuk spiral merah yang hampir menyerupai naga yang berputar di langit malam. Ia teringat bunyinya, seperti lolongan makhluk purba yang haus darah, tapi terbungkus dalam kendali yang sempurna.

Guru Kui Xing bangkit perlahan. Ia menatap langit abu-abu yang diselimuti kabut, lalu mengangkat pedangnya. Gerakannya nyaris tidak terdengar. Dalam sekejap, angin terbelah,

dan tanah di sekitarnya membentuk lingkaran debu yang sempurna. Liang Chen hanya bisa menatap tanpa berkedip. Tidak ada ledakan, tidak ada kekacauan. Namun aura di sekitarnya menekan dada, seolah ribuan naga sedang menahan napas.

“Gerakan ini menuntut dua hal,” lanjut sang guru. “Kekuatan yang terkompresi dan kendali yang sempurna.

Kau harus menyalurkan Energi Pembantaian ke seluruh tubuhmu, lalu memaksanya berputar di sepanjang bilah pedangmu. Jika terlalu lambat, kau akan hancur. Jika terlalu cepat, kau akan kehilangan kendali dan merobek dirimu sendiri.”

Liang Chen mengangguk pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya. Ia tahu, kata “kehilangan kendali” di mulut Guru Kui Xing bukan sekadar peringatan. Dalam Jalan Asura, kehilangan kendali bisa berarti tubuh dan jiwa hancur bersamaan. Ia menarik napas panjang, lalu menutup matanya.

Energi Pembantaian mengalir di dalam tubuhnya, panas seperti besi cair. Liang Chen mengingat kembali seluruh pelajaran gurunya: rasa sakit adalah palu, amarah adalah api. Ia mengalirkan energi itu ke tangan kanan, lalu ke bilah pedang. Begitu Kesunyian Malam bersinar samar, ia mulai berputar.

Udara di sekitarnya langsung bergetar. Energi itu menolak untuk dituntun, seperti naga yang baru dibangunkan dari tidur panjang. Liang Chen menahan guncangan di dadanya.

Pedangnya bergetar keras, aura merahnya mulai liar. Ia memaksanya melingkar, mencoba meniru gerakan guru. Namun yang ia dapat hanyalah pusaran energi yang kacau dan menyambar tanah di dekatnya. Batu-batu pecah berhamburan, dan Liang Chen terlempar ke belakang, terhuyung, nyaris jatuh dari tebing.

Guru Kui Xing tidak bergerak sedikit pun. “Kau tidak mendengarkan amarahmu,” katanya datar. “Kau mencoba melawannya. Padahal kau harus menuntunnya.”

Liang Chen memegang dadanya yang nyeri. Nafasnya tersengal, tapi matanya tetap tajam. “Kalau aku menuruti amarahku, aku akan mengamuk.”

“Tidak. Jika kau menuruti amarahmu tanpa tujuan, barulah kau mengamuk,” jawab sang guru pelan. “Ekor Naga tidak membunuh tanpa arah. Ia menari, bukan mengamuk. Kau harus menjadi pusat pusarannya, bukan terseret olehnya.”

Kata-kata itu terpatri di kepala Liang Chen. Ia kembali berdiri, memejamkan mata, lalu mengatur napasnya lagi.

Setiap denyut darahnya terasa seperti gelombang kecil yang menabrak dinding besi tubuhnya. Ia mengalirkan amarah itu ke pergelangan tangannya, memadatkannya ke bilah pedang, dan berputar.

Kali ini gerakannya lebih tenang. Energi merah menyala samar di sepanjang bilah, membentuk garis melingkar yang nyaris sempurna.

Udara di sekitar berdesis, dan meskipun tanah berguncang, Liang Chen tetap tegak. Namun, di akhir putaran, lututnya goyah. Energinya terkuras terlalu cepat. Ia jatuh berlutut, napasnya berat seperti habis menempuh medan perang.

Guru Kui Xing menatapnya sekilas, lalu meneguk arak.

“Kau baru setengahnya. Tubuhmu belum siap menahan rotasi penuh. Kita lanjutkan besok pagi.” Ia berbalik, lalu menambahkan, “Tidurlah dengan luka itu. Biarkan rasa sakit mengajarkanmu apa yang belum bisa aku ucapkan.”

Liang Chen menunduk, menggenggam pedangnya erat. Kesunyian Malam terasa hangat, seolah ikut merasakan tekad tuannya. Ia tersenyum kecil, meskipun darah menetes dari bibirnya. “Baik, Guru,” katanya lirih.

Di balik awan, seberkas cahaya merah menembus kabut. Ia seperti bintang yang jatuh perlahan, menarik ekor panjangnya di langit gelap. Liang Chen menatapnya, dan tahu: esok, ia akan membuat bintangnya sendiri.

Pagi berikutnya, kabut belum sepenuhnya sirna ketika Liang Chen kembali ke tepi jurang. Tubuhnya masih terasa berat. Luka kecil di bahu belum pulih, namun ia tak meminta waktu istirahat. Air yang menetes dari tebing membasahi rambut dan bahunya, seolah gunung itu sendiri sedang mengujinya.

Guru Kui Xing berdiri agak jauh, menatap ke lembah tanpa ekspresi. “Mulai,” katanya singkat.

Liang Chen mengangguk. Ia mengangkat Kesunyian Malam dan menarik napas panjang. Energi Pembantaian mengalir dari dadanya ke tangan, kemudian ke bilah hitam itu. Suara bergetar mulai terdengar, pelan tapi menusuk, seperti bisikan di antara dua dunia.

Ia mulai berputar.

Tebasan pertama terlalu lambat. Udara menolak mengikuti arah putaran pedangnya, membuat lingkaran energi tak sempurna. Tebasan kedua lebih cepat, namun tubuhnya belum sanggup menahan tekanan di lutut dan pinggang. Otot-ototnya berteriak. Darah hangat merembes dari ujung jari.

Namun Liang Chen terus memaksa.

Setiap ayunan menciptakan pusaran kecil di udara, lalu menghilang seperti bayangan. Ia tahu belum mendekati hasil yang benar, tapi di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang mulai berubah.

Energi Pembantaian yang dulu liar kini terasa lebih berat, seperti logam panas yang sedang ditempa. Ia bisa merasakannya mengikuti gerakan tubuhnya, bukan lagi melawannya.

Lalu tiba-tiba, ledakan kecil terdengar.

Aura merah di sekelilingnya meledak liar, menghantam udara seperti cambuk petir. Liang Chen terhuyung, darah menyembur dari mulutnya. Ia berlutut, gemetar, tangan kirinya menekan tanah agar tidak jatuh sepenuhnya.

“Cukup!” suara Guru Kui Xing menggema. Dalam sekejap, sosok tua itu muncul di sampingnya. Satu hentakan ringan di pundak membuat energi di tubuh Liang Chen mereda. Udara panas yang tadi menggila perlahan padam.

Liang Chen mendongak, wajahnya pucat, matanya masih terbakar. “Aku bisa... lagi satu kali...” suaranya serak.

Guru Kui Xing menggeleng pelan. “Kau akan menghancurkan meridianmu jika memaksa. Kau belum punya cukup darah untuk menahan satu putaran penuh dari gerakan ini.” Ia melempar sebutir pil hijau kecil. “Telan. Biarkan tubuhmu memulihkan diri.”

Liang Chen menatap pil itu, ragu sejenak, lalu menelannya tanpa kata. Rasa pahit menyebar di lidahnya, disusul rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Napasnya melambat, tapi matanya tetap terbuka, tidak mau menyerah.

“Gerakan ini mengonsumsi terlalu banyak energi,” ujar Guru Kui Xing. “Bahkan aku hanya bisa melakukannya tiga kali sebelum seluruh tubuhku mati rasa. Bukan karena kekuatan, tapi karena kelelahan.”

Liang Chen mengangkat kepalanya. “Jadi... bahkan Guru pun...”

“Ya,” jawabnya datar. “Ilmu ini bukan hanya tentang kekuatan. Ia menuntut stamina, disiplin, dan kehendak untuk terus bergerak meski tubuhmu sudah tak sanggup. Itulah makna Ekor Naga, gerakan yang tidak berhenti walau tubuhmu sudah menyerah.”

Liang Chen menunduk. Ia mengingat kata-kata itu dalam diam. Setiap kali napasnya terasa berat, setiap kali lututnya bergetar, kalimat gurunya menggema di dalam kepala.

Malamnya, ia duduk di tepi jurang, membiarkan angin dingin memukul wajahnya. Di bawah sana, kabut bergulung seperti laut yang tidak berujung. Ia mengangkat Kesunyian Malam dan menatap pantulan bintang samar di bilahnya. Tangannya masih gemetar, tapi matanya tenang.

“Aku harus bisa,” gumamnya pelan.

Ketika angin membawa suara binatang malam, Liang Chen berdiri. Ia memutar pedangnya sekali, dua kali, tiga kali. Energi merah menyala tipis, lalu padam lagi. Namun kali ini, meski lututnya goyah dan darah menetes dari bibir, ia tidak jatuh.

Guru Kui Xing, yang diam-diam mengamati dari jauh, meneguk araknya pelan. “Bagus,” katanya lirih. “Kau mulai memahami arti kelelahan. Pedang sejati bukan yang menebas paling banyak, tapi yang tetap berdiri setelah semua tebasan berakhir.”

Hujan turun malam itu. Tidak deras, tapi cukup untuk membasahi batu-batu di sekitar jurang. Liang Chen masih berdiri di sana, di tempat yang sama sejak sore. Hujan menyentuh wajahnya, menelusuri luka-luka kecil di leher dan bahu, mengalir perlahan seperti tinta merah yang larut.

Ia mengangkat Kesunyian Malam untuk kesekian kalinya. Setiap gerakan kini terasa berat, bukan karena pedangnya, tetapi karena tubuhnya sendiri menolak perintahnya. Lututnya sudah gemetar, napasnya seperti terbakar dari dalam. Namun matanya masih menyala.

Bisikan Asura muncul lagi di dalam pikirannya, lembut tapi beracun. “Berhenti, Liang Chen. Istirahatlah. Tubuhmu akan pecah. Serahkan padaku, biar aku yang mengayunkan pedang itu.”

Suara itu menembus pikirannya seperti racun yang manis. Ia mendengar napasnya sendiri tersengal, lalu terdengar tawa lirih di dalam kepalanya. Liang Chen menggigit lidahnya. Rasa darah membuatnya sadar.

“Aku bukan milikmu,” gumamnya, pelan tapi tegas. “Kau hanya kekuatan yang kubutuhkan.”

Ia melangkah maju. Tetesan hujan membentuk lingkaran kecil di tanah di sekelilingnya. Tubuhnya menunduk sedikit, satu tangan menahan gagang pedang, tangan lain menyeimbangkan diri di udara.

Energi Pembantaian mengalir lagi, kali ini tidak meledak. Ia menahannya di dalam, menekan, menahan, memadatkannya seperti baja yang dibakar.

Lalu, ia berputar.

Suara angin terbelah. Pusaran energi merah terbentuk di sekelilingnya, lebih stabil dari sebelumnya. Gerakan itu masih kasar, tapi mulai terbentuk, sebuah lingkaran merah samar yang mengitari tubuhnya sebelum memudar bersama kilatan air hujan. Liang Chen terhuyung, hampir jatuh, tapi tetap berdiri.

Guru Kui Xing menatap dari bawah pohon, menolak berteduh. “Kau menolak menyerah bahkan pada tubuhmu sendiri,” katanya pelan, tidak yakin itu pujian atau peringatan.

Pagi datang dengan kabut pekat. Liang Chen masih di sana, tidur bersandar di batu dengan pedang di pangkuan. Saat matahari pertama muncul, ia membuka mata tanpa keluhan. Gerakannya lambat, tapi ada ketenangan baru di wajahnya. Ia bangkit dan mengulang latihan.

Setiap gerakan menjadi lebih tajam. Setiap putaran pedang semakin cepat. Tanah di sekelilingnya mulai terbelah oleh tekanan udara yang dihasilkan. Energi Pembantaian di tubuhnya kini seperti arus deras yang berputar dalam kendali, bukan lagi badai liar.

“Sekali lagi,” katanya pada dirinya sendiri.

Ia menarik napas panjang, mengangkat pedang, lalu memutarnya penuh. Saat bilah Kesunyian Malam berputar, cahaya merahnya menyalakan kabut seolah ada lingkaran api melingkar di sekitarnya. Gerakannya begitu cepat hingga bentuk tubuhnya nyaris kabur.

Ketika ia berhenti, keheningan menyelimuti gunung. Tidak ada suara angin, tidak ada suara air. Hanya sisa energi merah yang menari seperti kelopak api di udara sebelum padam perlahan.

Liang Chen menatap pedangnya. Ujung bilahnya bergetar ringan, tapi tidak retak. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, namun tidak lagi menakutkan. Sakit itu menjadi bagian dari ritme hidupnya.

Guru Kui Xing melangkah mendekat. “Kau berhasil,” katanya tenang. “Gerakan Kedua—Ekor Naga. Serangan dan pertahanan dalam satu ayunan. Tapi ingat, teknik ini hanya sempurna bila dilakukan dalam pertempuran nyata.”

Liang Chen menunduk hormat. “Aku mengerti, Guru.”

“Tidak, kau belum mengerti sepenuhnya.” Suara Guru Kui Xing terdengar berat. Ia menatap Liang Chen dalam-dalam. “Teknik ini menuntut harga. Setiap kali kau memakainya, sebagian dari kekuatan hidupmu akan terkikis. Itu sebabnya aku tidak memakainya lagi.”

Liang Chen menatap wajah tua itu. Hujan telah berhenti, tapi rambut Guru Kui Xing masih basah. Ada sesuatu di matanya—bukan hanya kebijaksanaan, tapi juga rasa lelah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin itu beban dari bertahun-tahun mengajarkan jalan terlarang.

“Kalau begitu,” kata Liang Chen pelan, “aku akan menggunakannya hanya saat perlu. Tapi aku tidak akan takut pada harganya.”

Guru Kui Xing terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Begitulah seharusnya. Ketika kau memahami harga kekuatanmu, kau sudah setengah jalan menuju penguasaannya.”

Hari-hari berikutnya diisi dengan pengulangan tanpa henti. Liang Chen melatih Gerakan Bintang Jatuh dan Ekor Naga bergantian. Terkadang ia berlatih di bawah hujan, terkadang di bawah sinar matahari yang menyengat. Setiap malam ia tertidur dengan pedang di pelukannya, tubuhnya penuh luka baru, tapi matanya semakin jernih.

Setelah beberapa minggu, udara di sekitar pondok kecil itu berubah. Setiap kali Liang Chen mengayunkan pedang, Energi Pembantaian yang keluar bukan lagi aura liar, tapi kekuatan yang padat, mengalir rapi seperti sungai dalam wadah batu. Ia sudah mencapai batas puncak Pondasi Besi.

Guru Kui Xing menyadari itu. Suatu sore, ia memanggil Liang Chen ke tepi jurang yang sama, tempat mereka memulai pelatihan.

“Lihat ke bawah,” katanya.

Liang Chen menatap ke lembah yang diselimuti kabut. Dari sana terdengar suara angin dan binatang-binatang malam. Dunia di bawah tampak asing, luas, dan berbahaya.

“Sudah saatnya kau meninggalkan gunung ini,” ucap Guru Kui Xing. “Ilmu Pedang Pembantai Bintang tidak bisa tumbuh hanya dengan menebas udara. Ia harus merasakan darah dunia.”

Liang Chen menggenggam Kesunyian Malam. “Apakah aku siap?”

“Tidak ada yang siap,” jawab Guru Kui Xing. “Tapi kau sudah cukup kuat untuk bertahan.”

Ia mengeluarkan beberapa Pil Panjang Umur Rendah dan beberapa Batu Spiritual dari lengan jubahnya. “Ini bekalmu. Jangan buang-buang energi pada musuh kecil, dan jangan bunuh mereka yang tidak berdosa. Jalan Asura bukan jalan pembantaian buta.”

Liang Chen menerima benda-benda itu dengan kedua tangan. Angin bertiup pelan, mengibarkan ujung jubahnya. Dalam diam, ia menatap wajah gurunya satu kali lagi—mencoba mengingat setiap garis, setiap kerutan yang diukir oleh waktu.

“Terima kasih, Guru,” katanya akhirnya.

Guru Kui Xing mengangkat botol araknya dan meneguk sedikit. “Pergilah, Liang Chen. Bawa pedangmu ke dunia yang pantas menerimanya.”

Liang Chen berbalik, langkahnya mantap menuju jalan batu menurun di sisi gunung. Kabut mulai menelan sosoknya sedikit demi sedikit, sampai akhirnya hanya suara langkah dan gema angin yang tersisa.

Guru Kui Xing menatap kosong ke arah muridnya pergi, lalu berbisik pelan, “Bintang Jatuh telah menyalakan langit, dan Ekor Naga telah menyapu bayangan. Sekarang, mari kita lihat apakah bintang itu akan bersinar... atau terbakar.”

Di kejauhan, Liang Chen berhenti sejenak. Ia mengangkat pedangnya ke langit. Bilah Kesunyian Malam memantulkan cahaya merah tipis dari mentari senja—seolah bintang yang tersesat sedang berusaha bersinar di dunia fana.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!