Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 ACICD - Menyelamatkan Narell
Ruby menghela napas tipis, lalu meluruskan punggungnya. Namun, ketika dia melangkah mundur tiba-tiba sebuah benda keras menghantam belakang kepalanya.
DUG!!!
Ruby sempat menoleh setengah, tapi pukulan kedua datang dari sisi lain, sehingga membuat lututnya goyah.
Sebelum tubuh Ruby jatuh, seorang pria dan seorang wanita menangkap tubuhnya kasar, menyeretnya masuk ke dalam ruangan.
Botak menoleh terkejut begitu Roger dan Wenna membanting tubuh Ruby ke lantai. Sementara itu, bola mata Narell membulat penuh saat melihat wajah wanita itu.
Itu kan Tuntie Wwuby…
"Dia wanita yang di pom bensin tadi, kan?" tanya si botak.
"Iya, untung aku ngeliat dia tadi," kata Wenna.
"Ambil tali, terus ikat tangan dan kakinya!" titah Roger.
Wenna dengan riasan tebal yang sudah luntur di wajahnya, langsung meraih tas yang masih tersampir di bahu Ruby. Dia mengobrak-abrik isinya. Alat perekam suara, mic clip kecil, buku catatan kecil, parfum travel size, bedak, lipstick, headphone, id card dan dompet tipis.
"Tidak ada barang penting," desis Wenna membuka dompet Ruby. Di sisi lain, Roger meraih id card wanita cantik itu.
"Dia wartawan," decaknya.
"Kita tidak boleh biarin dia pergi, bisa gawat kalau dia menyebarkan berita soal penculikan ini.”
"Pantas saja dia mengikuti kita, pasti dia mau mendapatkan berita," kata Roger mendengus, melepaskan ID card ke lantai berdebu.
"Kita fokus ke uang 10 M yang sudah dalam perjalanan ke sini, setelah itu kita urus wanita ini," ujar Wenna, dia melemparkan barang-barang Ruby ke lantai.
Si botak melingkarkan tali ke tangan dan juga kaki Ruby lalu menoleh pada Narell yang tampak ketakutan. "Tenang aja, bocah, setelah uangnya kami dapatkan kami akan melepaskan kamu. Sekarang lanjut makannya."
"I-iyaahhh, uncleee..." sahut Narell pelan.
Selanjutnya, Roger dan Wenna keluar, meninggalkan si botak yang berjaga di depan pintu. Dia duduk di kursi lipat lalu mengeluarkan hapenya untuk bermain game.
Beberapa waktu kemudian, Ruby membuka matanya perlahan-lahan. Sebenarnya dia tidak pingsan, tadi cuma pura-pura, bahkan dia sudah menyadari kehadiran Wenna dan Roger sebelum mereka menyerangnya.
Pikir Ruby, kalau dia menyerang mereka langsung, Narell akan melihatnya. Sehingga dia memilih skenario dirinya juga diculik saja baru menyelamatkan Narell.
Dia lalu menjulurkan kedua tangannya yang terikat untuk menyentuh sisi betis Narell. Anak kecil itu spontan menoleh dan Ruby langsung memberikan isyarat agar Narell tidak berisik.
Hussssshhh…
Narell mengangkat tangannya yang terikat ke mulut dan mengangguk paham. Anak pintar.
"Tuntie Wwuby juga dicuyikk yaa kayak Ayel," bisik Narell.
Ruby menganggukkan kepala pelan, lalu perlahan-lahan bangkit dan duduk sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Tampaknya si botak itu sangat fokus dengan game online di hapenya.
Ruby kemudian menata napas dan mendekatkan diri pada Narell. "Tuntie Ruby mau cari cara untuk lawan penjahatnya…"
Mata Narell berbinar cerah. "Really?"
Ruby menganggukkan kepala. "Tapi, Tuntie bisa nggak tutup mata Narell?"
Narell dengan cepat mengangguk. "Bisa dong Tuntie Wuby…" anak tampan itu tersenyum manis.
Meski tangannya terikat, Ruby berusaha menarik belt kain halus yang melingkar di perutnya. Lantas dia menutupi mata Narell menggunakan kain itu.
"Narell tunggu, yah."
"Okeeyyy, Tuntie Wuby…"
Selanjutnya, Ruby menarik bootsnya dan mengeluarkan senjata tersembunyinya. Sebuah bolpoin yang berisi benda tajam. Dengan lihai dia membuka ikatan di kaki lalu tangannya.
Setelah mengenakan bootsnya kembali, Ruby memungut semua barangnya yang tercecer masuk ke dalam tas. Gerakannya cepat dan halus, sampai si botak tidak sadar Ruby sudah ada di belakangnya.
Lalu –
Bruk!!!
Si botak terjatuh ke samping, ambruk di lantai setelah Ruby menyerang titik lemahnya. Lanjut, wanita itu menarik kaki si botak masuk dan mengikat tangan juga kaki pria itu.
Narell masih anteng duduk di sana dengan mata tertutup kain belt Ruby.
"Ayo, Narell," Ruby melepaskan tali yang melingkar di tangan kecil dan kaki Narell. Oh, sungguh kasihan, sampai ada bekas merah si kulit Narell.
"Iyahhh, Tuntie." Si bocah mengangkat kedua tangannya semangat. Ruby tersenyum kecil lalu menggendong Narell keluar.
Dia menyusuri lorong gelap dan berdebu lalu masuk ke salah satu ruangan dan menurunkan Narell pelan.
"Narell tunggu di sini, yah."
Narell mengangguk. "Okeyy, Tuntie… Tuntie Wuby syemangattt!"
"Thank you, Narell." Dia mengusap kepala anak itu lalu memasangkan headphone ke kepalanya. "Ayell, denger musik dulu, yah."
"Yeyyyyy, Ayel syukaa musyikkk."
"Mau dengerin baby shark doo doo doo, Tuntie…" kata Narell, matanya masih dibiarkan tertutup oleh Ruby.
"Oke," Ruby kemudian mengatur musik yang ada di hapenya dan membiarkan Narell untuk memegang benda pipih itu.
"Tuntie urus penjahatnya dulu, yah."
"Aye, aye, Tuntie…"
Ruby segera menyelinap keluar dan akan mencari tiga penculik lainnya. Dia harus melumpuhkan mereka.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, Leon terkejut melihat si botak tidak sadarkan diri. Dia segera memanggil Roger dan Wenna.
"Ada apa!?"
"Mereka hilang," Leon membuka ikatan si botak.
Rahang Roger mengeras. "Sial!"
"Bagaimana ini, katanya adik Kayrell sudah hampir sampai," ujar Wenna, panik.
"Cari mereka!" titah Roger mulai mengeluarkan pisau kecil.
Leon menampar si botak agar bangun. "Woyy! Sadar! Lu nyusahin aja sih!"
Si botak memijit tengkuknya dan memaksakan diri untuk bangkit, lalu menyusul ketiga rekannya.
Kepanikan pecah. Kursi terjungkal, pintu ditendang terbuka. Mereka menyisir bangunan dengan langkah kasar, hingga akhirnya mencapai ruangan tengah luas yang dulunya mungkin gudang besar. Kini penuh barang rongsokan, lembaran besi berkarat, peti kayu patah, rak-rak besi rebah. Debu melayang di udara.
Dari arah pintu besar yang roboh separuh, cahaya senja masuk memanjang, memberi warna oranye kusam pada ruangan itu.
Di tengah balok cahaya itu berdiri siluet tajam seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Ruby The Silent Belle. Tubuhnya tegak dan tenang, bayangannya memanjang di lantai berdebu.
"Kalian mencari saya?" Suaranya rendah, tenang… setengah menghina.
Ruby melangkah maju pelan-pelan, cahaya senja mengungkap wajahnya yang sedikit berkeringat, rambut acak, tapi meski begitu sorot matanya penuh determinasi tajam.
Keempat penculik itu spontan mengambil posisi bertarung. Roger dengan pisau lipat yang berkilat. Wenna menggenggam besi panjang. Leon memegang rantai. Si botak meraih batang kayu patah.
"Di mana anak itu!?" desak Roger. Itu asetnya untuk mendapatkan uang 10 M.
"Serahkan dia atau kami–!"
Ruby tidak menunggu ancaman selesai. Dalam sekejap dia melesat seperti bayangan tipis.
Pertarungan pun pecah. Satu lawan empat.
Bugh!
Bugh!
Dugh!
Bruk!
Brak!
Ruby menangkis setiap serangan yang datang padanya. Cepat dan tepat.
Meski pisau Roger mengenai bahunya dan menimbulkan garis tipis darah, Ruby nyaris tidak bereaksi. Dengan gerakan akurat, dia menendang lutut pria berbadan besar itu.
Saat rantai terayun ke arahnya, Ruby menunduk cepat, lalu memutar badan dan menghantam ulu hati Leon, membuat pria itu jatuh berlutut, memuntahkan napas.
Wenna menyerang lagi dari samping, tapi Ruby menangkap besi di tangan wanita bertindik itu dengan satu tangan, lalu memutarnya dan membanting Wenna ke tumpukan rongsokan yang berdebuk keras.
Si botak yang paling gugup, mencoba kabur saja, menjatuhkan balok kayu di tangannya. Ruby mengejar dengan langkah ringan lalu menangkap kerahnya dan menghantamkan siku ke pelipis si botak. Lelaki itu tumbang tanpa sempat berteriak.
Ruangan kini diisi oleh keheningan. Debu-debu sisa-sisa kekacauan masih melayang.
Ruby berdiri di tengah para penculik yang sudah tumbang itu. Keringat mengalir di pelipisnya, bahu Ruby luka, dada naik turun. Tapi matanya tetap tenang dan dingin, menatap keempat penculik itu satu per satu.
Dasar penculik amatiran.