NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Penyesalan Suami / Era Kolonial / Mengubah Takdir
Popularitas:48.9k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

33. De Gordel van Smaragd

"Itu pertanyaan yang bagus, Nyonya Pariyem," ucap Marius akhirnya dengan suara pelan. "Pertanyaan yang juga sering saya tanyakan pada diri sendiri setiap malam."

Dia mengangkat wajah, menatap Pariyem dengan tatapan sedih. "Tidak semua orang Eropa yang datang ke Hindia ini adalah orang kaya, Nyonya. Banyak yang mengira semua Belanda di sini itu tuan tanah, pemilik pabrik, pedagang besar dengan uang berlimpah. Tapi kenyataannya," dia menggeleng pelan, "sebagian besar dari kami adalah orang yang mengadu nasib."

Pariyem mengerutkan dahi. "Mengadu nasib?"

"Ya." Marius bangkit dari kursi, berjalan ke jendela, membelakangi Pariyem. Seperti lebih mudah berbicara tanpa menunjukkan kesedihannya. "Di Eropa sana, Hindia Belanda ini dijuluki De Gordel van Smaragd—Zamrud Katulistiwa. Tempat impian. Tempat di mana orang bisa cepat kaya. Di mana tanah subur, rempah-rempah berlimpah, emas dan perak ada di mana-mana."

Suaranya berubah pahit. "Itu adalah propaganda pemerintah. Untuk menarik orang-orang Eropa datang ke sini. Karena mereka butuh tenaga kerja. Butuh pegawai untuk mengisi pos-pos pemerintahan di wilayah jajahan yang sangat luas ini."

Dia berbalik, menatap gambar peta Hindia Belanda dalam bingkai kuningan. "Orang-orang yang punya modal, seperti Tuan van der Spoel, mereka buka perkebunan, pabrik gula, perusahaan dagang, Export-import. Mereka yang jadi kaya raya. Tapi orang seperti saya?" dia tertawa sedih, "Kami tidak punya modal. Yang kami punya hanya badan dan sedikit pendidikan. Jadi kami bekerja untuk pemerintah kolonial, menjadi pegawai."

Marius kembali ke kursinya, duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, seperti beban di bahunya semakin berat. "Saya datang ke sini saat usia delapan belas tahun. Masih sangat muda. Masih bodoh. Masih percaya pada propaganda tentang Zamrud Katulistiwa."

Tatapannya menerawang jauh, seperti melihat masa lalu. "Bekerja sebagai juru tulis di kantor Residen Semarang. Gaji kecil. Kamar kecil. Kerja dari pagi sampai malam mencatat dokumen-dokumen dalam bahasa Belanda dan Melayu. Sampai tangan keram, mata perih, punggung sakit."

Dia diam lagi, mata hijaunya berkaca-kaca. "Tapi saya tekun. Belajar bahasa lokal; Jawa, Melayu, Sunda. Belajar adat istiadat. Belajar hukum kolonial. Perlahan naik jabatan, dari juru tulis menjadi klerk, dari klerk menjadi kontrolir muda, dari kontrolir menjadi asisten residen. Proses yang sangat panjang, Nyonya.

Mata indah dibingkai bulu mata tebal itu mengerjap pelan sebelum melanjutkan, “Saya memulai semuanya dari karier paling bawah karena saya tidak punya keluarga yang punya jabatan tinggi. Tidak punya koneksi. Jika punya, akan lain cerita. Saya juga tidak punya uang untuk menyogok atasan. Yang saya punya hanya ketekunan dan kemampuan beradaptasi."

Pariyem mengangguk pelan, mulai paham. Ternyata Marius bukan bangsawan Belanda yang lahir dengan sendok perak di mulut. Dia juga berjuang dari bawah, seperti dirinya.

"Di Eropa saat itu,” mata hijaunya menerawang lagi, “keadaan sangat sulit. Perang di mana-mana; Perang Napoleon baru selesai, ekonomi hancur, pengangguran merajalela. Banyak orang kelaparan. Jadi ketika ada tawaran bekerja di Hindia dengan gaji yang … meski kecil, tapi itu jauh lebih baik dari di Eropa, banyak yang ambil kesempatan itu."

Suaranya turun, seperti suara seseorang yang sudah lelah dengan berbagai drama kehidupan. "Orang-orang Eropa bisa sampai di sini ... tidak mudah. Berbulan-bulan di kapal. Melewati lautan yang ganas. Badai yang mengerikan. Tidak sedikit kapal yang karam; diterjang ombak, tenggelam, semua penumpang mati. Dikuburkan di laut. Atau mati sakit di tengah perjalanan—disentri, malaria, demam yang tidak jelas."

Dia menatap tangannya sendiri. "Sekarang lebih mudah. Sejak Terusan Suez dibangun tahun 1869, perjalanan dari Eropa ke Hindia jadi lebih cepat; hanya sekitar enam minggu. Dulu? Bisa enam bulan atau lebih. Mengelilingi Afrika. Melalui Tanjung Harapan yang sangat berbahaya. Saya beruntung melakukan perjalanan setelah terusan itu dibangun.”

Pariyem mendengarkan dengan saksama. Mulai melihat Marius bukan hanya sebagai pejabat Belanda yang berkuasa, tapi sebagai manusia yang juga punya pergumulan sendiri.

Marius menghela napas panjang. "Saya juga muak dengan sistem ini, Nyonya. Sangat muak. Melihat rakyat diperas, ditindas, diperlakukan seperti hewan ... itu menyakitkan. Tapi mau berbuat apa?"

Suaranya turun menjadi bisikan. "Tidak sedikit pejabat Belanda yang diracun karena mencoba mengkritik bangsawan lokal terlalu keras. Atau dipecat. Atau diasingkan ke pos terpencil yang penuh penyakit sampai mati."

Tatapannya beralih ke pintu dengan sorot sedih. "Saya punya anak-anak, Nyonya. Mereka masih kecil. Masih butuh ayah. Saya tidak bisa terang-terangan melawan sistem. Tidak bisa jadi martir yang bodoh."

Tangannya mengepal di atas meja. "Tapi saya akan mengusahakan agar orang seperti Kusumawati tidak bisa leluasa lagi. Dengan cara saya sendiri. Cara yang tidak akan membuat saya kehilangan nyawa atau jabatan."

Dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap mata Pariyem dengan tatapan tajam. "Dan Anda adalah kuncinya."

Pariyem tersentak. "Saya?" suaranya keluar gemetar. "Saya bisa berbuat apa, Tuan? Saya hanya ... perempuan jelata. Selir yang bahkan sudah diusir—"

"Anda bisa berbuat banyak." Marius memotong dengan suara yang rendah tapi penuh keyakinan. "Dengarkan saya baik-baik."

Dia mencondongkan tubuh lebih dekat lagi. Suaranya menjadi pelan, hampir tidak terdengar, seolah takut ada yang menguping.

"Tidak ada yang bisa melawan Kusumawati kecuali putranya sendiri. Dan Anda sudah mencuri hati putranya. Anda ada di atas angin, Nyonya Pariyem."

Mata Pariyem hanya berkedip. Mulut sedikit terbuka. Bingung tapi ada harapan baru yang mulai tumbuh di dada.

"Bagaimana caranya, Tuan?" bisiknya.

Marius tersenyum, senyum yang tipis tapi berbahaya. "Adu domba ibu dan anaknya itu."

Napas Pariyem tertahan sejenak.

Pria tampan ini ternyata ... sangat berbahaya. Ia sendiri bahkan tidak terpikir akan mengadu domba. Tidak pernah terlintas di kepala.

"A-adu domba, Tuan?" ulangnya dengan suara bergetar.

"Ya. Pecah belah. Divide et impera. politik pecah belah." Marius bersandar, menatapnya dengan tatapan yang sangat tenang seolah membicarakan hal yang biasa saja. "Strategi kuno yang selalu berhasil. Kalau kekuasaan terlalu kokoh, seperti Kusumawati yang sekarang membentuk aliansi dengan pernikahan politik putranya dengan putri orang-orang yang berpengaruh di masyarakat, kita perlu memecah belah kekuatan itu dari dalam."

Ia tersenyum licik. "Tuan Bupati mencintai Anda. Dia bahkan melawan ibunya demi Anda. Itu kelemahan yang bisa dimanfaatkan."

"Tapi …," Pariyem menelan ludah dengan susah payah, "bagaimana caranya?"

"Buat dia semakin membenci ibunya. Buat dia semakin sadar bahwa ibunya adalah sumber masalah. Buat dia ... memilih Anda daripada ibunya."

Pariyem terhenyak, tak yakin bisa melakukan itu.

1
Juniar Yasir
TK tau mw koment ap🤣 yg jls critanya mkin seru.
Juniar Yasir
TK tau mw koment ap🤣 yg jls critanya mkin seru.
Meliandriyani Sumardi
salam kenal kak,baru ketemu sama cerita ini
Hayisa Aaroon: salam kenal Kakak 😊🙏 terimakasih
total 1 replies
🌺 Tati 🐙
kesampingkan dulu perasaanmu Yem inget tujuan utamamu
oca
jeleb banget ah kalimatnya
Ratna Juwita Ningsih
suka sama bacaan tentang jaman penjajahan Belanda dulu... 👍🏼👍🏼👍🏼
Umi Masitoh
😍😍😍
Al
matursuwun ndoro
Hayisa Aaroon: sami-sami 😊❤️
total 1 replies
Eniik
❤❤❤
Kustri
ojo kesengsem sik yem💪
lengserke mertuamu
Al
ndoro....sehat tho
Hayisa Aaroon: Alhamdulillah sehat Ndoro 😊
total 1 replies
SENJA
ciyeee udah jago maen drama 😁😆
Ricis
keren Pariyem, bner² kelimpungan dah pk Bupati 😂
Ricis
gadis yg malang, kasihan sekali kalau smpai harus hancur masa depannya dgn pemuda lain 😱
Ricis
masak iya ibunya ga mengenali 🤔
Hayisa Aaroon: lampunya dimatiin kan 😅 siluetnya mirip
total 1 replies
Ricis
mantab Yem, buat pak Bupati smkin tergila² 😀
Umi Masitoh
😍😍😍
🌺 Tati 🐙
Yem oh Pariyem
Hana Nisa Nisa
ditunggu upnya ndoro
Fitriatul Laili
pei ling dimata sudarsono tetep iyem😃
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!